Gletser di Himalaya Bakal Menyusut 80 Persen pada Abad Ini
Gletser di Himalaya diprediksi bakal menyusut hingga 80 persen di abad ini akibat pemanasan global. Sementara itu, gletser di Puncak Jaya, Papua, diprediksi bakal hilang sepenuhnya antara 2023 dan 2026.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gletser di Pegunungan Hindu Kush Himalaya saat ini mencair dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jika emisi gas rumah kaca tidak dikurangi secara tajam, volume gletser di kawasan tersebut bakal menyusut hingga 80 persen abad ini dan hal itu akan memicu bencana.
Laporan dari International Center for Integrated Mountain Development yang berbasis di Kathmandu pada Selasa (20/6/2023) menjadi alarm bahaya tentang dampak pemanasan global. Laporan ini juga memperingatkan bahwa banjir bandang dan longsoran akan semakin besar kemungkinannya di tahun-tahun mendatang. Selain itu, ketersediaan air tawar bagi hampir 2 miliar orang yang tinggal di 12 aliran sungai yang berhulu di pegunungan ini juga bakal terganggu.
Es dan salju di Pegunungan Hindu Kush Himalaya merupakan sumber air penting bagi sungai-sungai tersebut, yang mengalir melalui 16 negara di Asia dan menyediakan air bersih bagi 240 juta orang di pegunungan dan 1,65 miliar penduduk lainnya tinggal di daerah hilir.
”Orang-orang yang tinggal di pegunungan ini yang hampir tidak berkontribusi apa-apa terhadap pemanasan global berisiko tinggi akibat perubahan iklim. Upaya adaptasi saat ini sama sekali tidak mencukupi dan kami sangat prihatin bahwa tanpa dukungan yang lebih besar, komunitas ini tidak akan mampu mengatasinya,” kata Amina Maharjan, spesialis migrasi dan salah satu penulis laporan tersebut, sebagaimana dikutip AFP.
Berbagai laporan sebelumnya telah menemukan bahwa kriosfer—wilayah di bumi yang tertutup salju dan es—termasuk yang paling parah terkena dampak perubahan iklim. Penelitian terbaru menemukan bahwa gletser Gunung Everest, misalnya, telah kehilangan es selama 2.000 tahun hanya dalam 30 tahun terakhir.
Orang-orang yang tinggal di pegunungan ini yang hampir tidak berkontribusi apa-apa terhadap pemanasan global berisiko tinggi akibat perubahan iklim. Upaya adaptasi saat ini tidak mencukupi. Tanpa dukungan yang lebih besar, komunitas ini tidak akan mampu mengatasinya.
”Kami memetakan untuk pertama kalinya keterkaitan antara perubahan kriosfer dengan air, ekosistem, dan masyarakat di kawasan pegunungan ini,” kata Maharjan.
Semakin cepat menyusut
Di antara temuan utama dari laporan ini adalah bahwa gletser Himalaya menghilang 65 persen lebih cepat sejak 2010 dibandingkan dekade sebelumnya. Disebutkan, perubahan pada gletser, salju, dan permafrost di wilayah Hindu Kush Himalaya yang didorong oleh pemanasan global ”belum pernah terjadi sebelumnya dan sebagian besar tidak dapat diubah”.
”Begitu es mencair di wilayah ini sangat sulit mengembalikannya ke bentuk bekunya,” kata Pam Pearson, Direktur Prakarsa Iklim Kriosfer Internasional, yang tidak terlibat dalam laporan tersebut. Oleh karena itu, Pearson menekankan pentingnya membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat celsius yang disepakati pada konferensi iklim Paris 2015 agar pelelehan es tidak berlanjut.
Dia menambahkan, ”Ini seperti sebuah kapal besar di lautan. Begitu es mulai mengalir sangat sulit untuk dihentikan. Jadi, dengan gletser, terutama gletser besar di Himalaya, begitu mereka mulai kehilangan massa, itu akan berlanjut selama beberapa waktu. sangat lama sebelum itu bisa stabil.”
Berkurangnya tutupan salju akibat pemanasan global akan mengakibatkan berkurangnya air tawar bagi orang yang tinggal di hilir. Pencairan es di pegunungan yang berlangsung cepat ini juga meningkatkan risiko bencana.
Studi tersebut menemukan bahwa 200 danau gletser di pegunungan ini bakal menjadi zona berbahaya dan wilayah tersebut dapat mengalami lonjakan yang signifikan dalam luapan banjir danau glasial pada akhir abad ini. Awal tahun ini saja, kota-kota di pegunungan Joshimath di India mulai tenggelam dan penduduk harus dipindahkan dalam beberapa hari akibat banjir besar dari pegunungan.
Es di Puncak Jaya
Penyusutan gletser juga terjadi di Puncak Jaya, Papua. Berdasarkan laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, lapisan gletser satu-satunya di Indonesia ini diperkirakan bakal lenyap pada 2023 atau paling lama pada 2026.
Dari tahun 2002 hingga 2015, tutupan es di Puncak Jaya telah berkurang 1,45 kilometer persegi, setara dengan tingkat kehilangan 0,11 kilometer persegi per tahun. Pengukuran pada tahun 2018, luasan gletser ini tinggal 0,46 kilometer persegi. Selain luasan, ketebalan es juga terus menyusut dengan cepat.
Berdasarkan laju penyusutan ini, menurut perhitungan tim BMKG, lapisan salju di Puncak Jaya ini akan menghilang sepenuhnya pada tahun 2023 atau paling lama bertahan hingga tahun 2026. Keberadaan El Nino pada tahun ini dikhawatirkan bakal mempercepat musnahnya lapisan es ini.
Menurut laporan BMKG, menghilangnya es di Puncak Jaya ini cenderung lebih cepat saat terjadi El Nino, sebagaimana pernah terjadi pada 2015-2016. Ketika El Nino tahun 2015-2016, penyusutan ketebalan es di Puncak Jaya mencapai 5 meter.