Kekayaan Tradisi Lisan Siapkan Masyarakat Hadapi Petaka
Kekayaan tradisi lisan dapat terus diwariskan untuk menjaga keberlanjutan generasi berikutnya.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan tradisi bangsa dapat dimanfaatkan untuk menghadapi tantangan yang dihadapi manusia. Pengetahuan lokal dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi dapat menjadi kearifan lokal yang relevan untuk membantu menghadapi tantangan dan perubahan masa depan.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid pada pembukaan Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan XII yang digelar Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Jakarta, Selasa (13/6/2023), mengatakan, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 2021-2022 muncul sejumlah tantangan masyarakat dunia, antara lain perubahan signifikan pada Bumi, masalah lingkungan, dan krisis iklim.
Kenaikan permukaan air laut menyebabkan bencana banjir, cuaca tidak menentu, panas terik, dan membuat pola kehidupan masyarakat berubah dratis. Perubahan Bumi tersebut juga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan ekonomi, sosial, kultural, dan politik. Hal-hal ini perlu semakin mendapat perhatian.
”Apa yang mungkin dapat dilakukan (dengan) tradisi lisan? Kita mau menitipkan agar ATL turut memikirkan problem nyata ini yang jika di masa ini tidak ditangani dengan baik, bisa berdampak buruk,” ujarnya.
Menurut Hilmar, tradisi lisan mempunyai kekuatan luar biasa karena menyimpan pengetahuan yang diwariskan dari waktu ke waktu dan sudah melewati laboratorium kehidupan. ”Ada manfaat dari warisan pengetahuan lokal yang perlu diteruskan dari generasi ke generasi,” kata Hilmar.
Karena itulah, ATL dapat membantu untuk mengumpulkan dan memutakhirkan pengetahuan serta pengalaman baik dari komunitas-komunitas tradisi sehingga generasi berikutnya bisa mempelajarinya dengan lebih mudah. Ada tradisi-tradisi lisan yang terkait dengan lingkungan dan pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman hayati yang luar biasa.
”Sayangnya, pengetahuan ini pudar karena komunitas pindah dan masyarakat adat yang semakin tersingkir. Padahal, pengetahuan tentang keanekaragaman hayati ini dapat melindungi manusia dengan baik,” kata Hilmar.
Hilmar mengatakan, dari pengalaman pandemi Covid-19, ada pengetahuan tradisi lisan tentang kesehatan yang penting. Di beberapa desa ada mekanisme sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, misalnya tentang orang sakit yang diisolasi dan dibantu makannya.
Hal itu berjalan baik di perdesaan. Sementara itu, masyarakat di kota gagap saat menghadapi situasi isolasi di masa pandemi Covid-19 akibat kehilangan kebajikan yang diwariskan.
”Tantangan dalam pengembangan tradisi lisan ini bagaimana semua pihak bisa bekerja sama efektif untuk memastikan pengetahuan yang dikumpulkan dari generasi ke generasi bisa berlanjut dan bisa dikembangkan. Juga penting dukungan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) agar tradisi ini bertemu dengan sains dan teknologi. Jika ditekuni, (ini) akan mampu memunculkan kontribusi Indonesia pada pengetahuan modern. Indonesia dapat secara signifikan menjawab tantangan Bumi,” ujar Hilmar.
Hilmar mengajak ATL untuk dapat menjembatani ekspresi kebudayaan yang berbeda untuk generasi masa kini dan ke depan. Dengan demikian, seni budaya dalam perkembangannya bukan sekadar dekorasi, melainkan juga berkembang pada pemaknaan yang esensial.
Kini ada 18 taman budaya yang dikembangkan pemerintah daerah dengan beragam kondisi. Dengan semangat gotong royong, keberadaan taman budaya di daerah tersebut seharusnya dapat dikembangkan menjadi ruang ekspresi tradisi lisan secara aktif sehingga masyarakat bisa mengapresiasi perkembangan tradisi lisan dari waktu ke waktu.
Ada dalam tradisi
Sementara itu, Dewan Pembina ATL Mukhlis Paeni mengatakan, pandemi yang datang dalam waktu singkat mampu mengubah secara drastis kehidupan manusia. ”Ada kebiasaan baru akibat pandemi, seperti mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, dan kebersihan. Akan tetapi, apakah itu betul-betul baru? Padahal hal tersebut sudah ada dalam tradisi,” kata Mukhlis.
Terkait protokol kesehatan, misalnya, hal itu sebenarnya bukanlah hal baru. Dalam tradisi suku-suku bangsa di Nusantara, di halaman depan atau teras rumah ada gentong atau timba untuk mencuci tangan dan membersihkan tubuh sebelum masuk ke rumah. Ada juga berbagai terapi untuk menjaga tubuh dengan rempah dari bumi Nusantara.
Dalam khazanah tradisi juga ada bermacam bala/wabah/bencana yang menimpa masyarakat secara massal, seperti di Jawa yang dikenal dengan istilah pagebluk. Ada juga ritual tolak bala.
”Masyarakat tradisi sudah menghadapi bencana dengan kearifan lokal. Tentu penyesuaian perlu diperkenalkan sebagai aksesori zaman atau masuknya instrumen yang sering berubah. Masker, vaksin, atau isolasi diri bukan hal baru di masyarakat tradisi karena instruksi sudah dikenal dalam bentuk yang berbeda,” tuturnya.
Tradisi lisan berisi kata-kata yang harus selaras dengan perbuatan. Tradisi lisan ini mengunggulkan keteladanan agar berhasil.
Menurut Mukhlis, jika kegiatan akademis dalam pemajuan budaya dilakukan secara optimal, kesiapan masyarakat dalam menghadapi petaka seperti pandemi dapat dengan mudah dipahami dengan format tradisi kearifan lokal.
Penyair Zawawi Imron mengatakan, tradisi lisan berisi kata-kata yang harus selaras dengan perbuatan. Tradisi lisan ini mengunggulkan keteladanan agar berhasil.
”Tradisi lisan bukan hanya untuk dikaji, diajarkan, atau dibicarakan, karena nasibnya akan sama saja dengan Penataran P4 Pancasila. Di sinilah kata-kata dalam tradisi lisan harus selaras dengan perbuatan dan keteladanan,” kata Zawawi.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Jogaswara mengatakan, tradisi lisan penting karena ada pengetahuan lokal yang menjadi pengetahuan genealogis suku. BRIN menyediakan program akuisisi pengetahuan lokal untuk mengajak peneliti mendokumentasikan, menerbitkan, dan menyebarluaskan pengetahuan lokal dalam bentuk buku audio visual yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Ketua Umum ATL Pudentia MPSS mengatakan, Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan ke-12 berlangsung pada 12-15 Juni dengan mengangkat tema ”Tradisi Lisan Melintasi Pandemi, Konflik, dan Teknologi Terbaru Pascapandemi dalam Merawat Alam dan Kehidupan”. Kegiatan ini diikuti hampir 100 pemakalah dari berbagai kalangan, seperti akademisi, pegiat budaya, seniman, pengurus lembaga kebudayaan, dan profesional lainnya.
”Diharapkan pertemuan ini akan memperkuat tema dan sosialisasi mengenai peranan kebudayaan sebagai kekuatan kultural dalam pembangunan bangsa. Kekuatan tradisi telah terbukti dalam menjaga keserasian alam, lingkungan, dan harmoni antarmanusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Pudentia.