Perkembangan teknologi dan inovasi telah banyak digunakan untuk mengamati satwa liar laut, seperti hiu dan pari.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Penyelam menyaksikan ikan pari manta yang berenang di lokasi Manta Point, Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali, Rabu (25/10/2017).
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi dan berbagai inovasi telah banyak digunakan dalam bidang konservasi, termasuk mengamati dan melestarikan satwa liar laut yang terancam punah, seperti hiu dan pari. Dukungan teknologi ini pun dapat digunakan untuk melihat usia, aktivitas, populasi, hingga jalur migrasi satwa laut tersebut.
Hal tersebut mengemuka pada webinar dalam rangka memperingati Hari Laut Sedunia 2023 bertajuk ”Tides Are Changing: Inovasi Teknologi dalam Pelestarian Hiu dan Pari”, Kamis (8/6/2023). Webinar yang digelar Yayasan Konservasi Indonesia ini fokus membahas inovasi teknologi yang digunakan dalam pelestarian pari manta, hiu berjalan, dan hiu belimbing.
Salah satu upaya dalam konservasi satwa laut dengan dukungan teknologi dilakukan oleh kandidat doktor di Institute of Marine ScienceUniversity of Auckland Australia, Edy Setyawan. Dalam studi doktoralnya, Edi melakukan pendekatan penelitian holistik, inovatif, dan jangka panjang pada populasi pari manta di Raja Ampat.
Edy mengemukakan, Raja Ampat merupakan habitat dari pari manta kerang dan oseanik. Populasi pari di Raja Ampat tercatat terbesar kedua di dunia setelah Maladewa mencapai lebih dari 1.700 individu pari manta kerang dan lebih dari 850 individu pari manta oseanik.
”Di saat populasi di daerah lain menurun atau stabil, populasi pari manta di Raja Ampat merupakan satu-satunya yang mengalami pertumbuhan dalam sepuluh tahun terakhir. Kolaborasi stakeholder, penurunan ancaman terutama dari kegiatan perikanan, perlindungan, dan faktor alam merupakan pendukung pertumbuhan populasi ini,” ujarnya.
TANGKAPAN LAYAR
Sejumlah teknologi untuk identifikasi pari manta.
Menurut Edi, temuan terkait pertumbuhan populasi pari manta di Raja Ampat dilakukan dengan menggunakan teknologi dan inovasi dalam penelitian. Pendekatan tersebut, antara lain, melalui identifikasi fotografis dengan kamera saku, pemasangan alat telemetri satelit dan telemetri akustif pasif, serta fotogrametri dengan pesawat nirawak (drone).
Peneliti dapat mengumpulkan basis data dari pari manta melalui identifikasi fotografis. Basis data tersebut kemudian akan dikumpulkan dalam periode waktu tertentu seperti satu tahun. Setelah melalui proses analisis, data tersebut bisa digunakan untuk melihat tingkat usia atau kedewasaan hingga mengestimasi populasi pari manta di suatu lokasi.
Sementara pemasangan alat telemetri satelit dan telemetri akustik pasif digunakan untuk melihat aktivitas dan jalur migrasi dari pari manta. Hal ini bisa diketahui karena alat telemetri akan terus aktif merekam sinyal dan mengirimkannya secara periodik.
”Jadi, teknologi dan sains yang digunakan sangat membantu dalam memahami pari manta. Tanpa memahami pari manta, kita tidak bisa melindungi mereka. Penggunaan teknologi yang mutakhir dan inovatif juga sangat membantu secara efektif,” tutur Edy.
Selain pari manta, Yayasan Konservasi Indonesia juga menggunakan inovasi teknologi untuk mengamati spesies hiu berjalan (Hemiscyllium). Spesies hiu ini rentan mengalami kepunahan karena sulit menyelamatkan diri dari berbagai ancaman, seperti degradasi habitat, penangkapan secara lokal untuk berbagai kebutuhan, dan dampak perubahan iklim.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Hiu berjalan raja ampat (Hemiscyllium freycineti) ditemukan di titik penyelaman Jeti Harja, Misool, Raja Ampat, Papua Barat.
Hal serupa juga dilakukan Thrive Conservation dalam upaya konservasi hiu belimbing (Stegostoma tigrinum). Salah satu teknologi yang digunakan adalah alat penanda akustik (acoustic tagging) dan pengenal frekuensi radio (RFID) untuk mengambil data serta mengidentifikasi hiu belimbing saat dilepas ke laut.
Permodelan spasial
Manajer Strategi Konservasi Spesies Karismatikdan Elasmobranchii Konservasi Indonesia Iqbal Herwata mengatakan, teknologi pemodelan spasial dengan statistik atau kecerdasan buatan (AI) dapat digunakan untuk melihat pola perubahan atau distribusi dari spesies hiu berjalan. Teknologi ini juga mampu mengeksplorasi hubungan ekologis atau preferensi habitat suatu spesies dan toleransinya terhadap lingkungan sekitar.
”Teknologi pemodelan spasial sangat penting untuk meneliti keberadaan dan kelimpahan spesies. Teknologi juga dapat menyoroti kawasan atau area yang perlu diproteksi,” ucapnya.
Ke depan, upaya konservasi hiu berjalan masih membutuhkan sejumlah penelitian yang berfokus untuk melihat populasi, genetika spesies, informasi reproduksi, peranan ekologis, sebaran habitat, serta potensi dan uji kelayakan untuk konservasi eks-situ maupun in-situ. Di sisi lain, diperlukan juga penggunaan AI untuk identifikasi spesies dan invidu.
”Intervensi melalui restocking (penambahan stok ikan) juga salah satu upaya pelestarian dari spesies yang terancam punah ini. Akan tetapi, upaya ini tetap harus dengan protokol yang ketat karena hiu berjalan merupakan spesies endemik sehingga jangan sampai dilakukan restocking di wilayah yang bukan sebarannya,” katanya.