Keterlibatan Komunitas Masyarakat Mendukung Transisi Energi Hijau
Masyarakat dan komunitas bisa menjadi bagian dari transisi energi hijau dengan pemanfaatan sumber energi baru terbarukan di sekitarnya.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Bentangan panel surya di PLTS Messah, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (2/10/2021).
DEPOK, KOMPAS — Kelompok masyarakat dan komunitas bisa berperan dalam menjalankan transisi menuju energi hijau. Keterlibatan mereka dalam menghadirkan pemenuhan kebutuhan energi secara mandiri tersebut masih tetap membutuhkan dukungan dari pemerintah.
”Keterlibatan masyarakat ini pada umumnya bermula dari keadaan dan kebutuhan dasar mereka. Hal ini seharusnya menjadi peluang agar pemanfaatan energi hijau ini semakin masif,” kata Manajer Kampanye dan Riset Energi Baru Terbarukan Trend Asia Beyrra Triasdian saat peluncuran dan diskusi film Kemandirian Energi di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (8/6/2023).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total potensi energi baru terbarukan Indonesia, yakni matahari, hidro, bioenergi, angin, panas bumi, dan samudra, mencapai 417,8 gigawatt (GW). Namun, pemanfaatannya baru 10,4 GW atau 2,5 persen dari jumlah total.
NASRUN KATINGKA
Peluncuran dan diskusi film Kemandirian Energi di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (8/6/2023).
Dalam riset di sejumlah daerah yang didokumentasikan dalam sebuah film, Tren Asia menjumpai sejumlah kelompok masyarakat dan komunitas yang terlibat dalam pemanfaatan energi baru terbarukan. Daerah-daerah tersebut mayoritas terletak di daerah yang sulit mendapat akses listrik dari negara.
Salah satunya masyarakat di Desa Batu Sanggan, Kabupaten Kampar, Riau, yang memanfaatkan energi dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). ”PLTMH ini sudah dibangun Pemkab Kampar sejak 2008. Namun, saat itu sempat vakum beberapa tahun dengan sejumlah keterbatasan,” ujar Kepala Desa Batu Sanggan Indusri yang turut hadir saat peluncuran dan diskusi film.
Jika satu daerah sukses implementasinya, daerah dan komunitas lain bisa menjadikan hal tersebut sebagai pedoman ikut terlibat dalam transisi energi hijau.
Indusri menceritakan, akses dan transportasi yang sulit dari ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu membuat sumber energi dari pemerintah tidak kunjung hadir. Hal ini memunculkan keinginan untuk kembali menghadirkan energi secara mandiri. Pada 2015, desa yang hanya bisa diakses melalui jalur sungai ini kembali mendapat bantuan agar bisa menghidupkan kembali PLTMH tersebut.
Usai mendapat bantuan mesin dari Pemkab Kampar, selebihnya operasional sehari-hari dari swadaya masyarakat. Untuk operasional digerakkan dari uang swadaya dari 100 rumah tangga yang menggunakan energi tersebut.
PETRUS RADITYA MAHENDRA YASA
Pembangkit Listrik Tenaga Air Tonsealama yang berada di antara lebatnya kawasan hutan di Desa Tonsealama, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Selasa (28/9/2021).
Selain dari masyarakat, kesadaran pemanfaatan energi hijau juga muncul di lingkungan komunitas pendidikan, seperti di Pesantren Misykat Al Anwar, Bogor, Jawa Barat. Pengasuh Pesantren Misykat Al Anwar, Roy Murtadho, menjadikan pendidikan ekologi sebagai mata pelajaran wajib bagi anak didiknya.
Tidak hanya terbatas pada teori, Gus Roy, sapaan akrabnya, juga mengimplementasikan penggunaan EBT di lingkungan pesantren. Pesantren tersebut memilih sumber energi dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan memanfaatkan sumber daya berdasarkan pembelajaran ekologi.
”Untuk saat ini kami memilih PLTS karena paling terjangkau. Anak-anak (pesantren) cukup mudah mengoperasikannya. Melihat perkembangan ke depan, kami juga akan mengembangkan ke energi hijau yang lain dan ingin bekerja sama dengan komunitas atau pesantren lain,” ujar Gus Roy.
Beyrra berpendapat, dukungan pemerintah tetap diperlukan bagi daerah-daerah yang telah memiliki kemandirian energi. Dengan demikian, kemandirian energi tersebut tetap berkelanjutan.
Apalagi, menurut dia, energi dari swadaya masyarakat saat ini masih menemui kendala, misalnya PLTMH sangat bergantung pada debit di sumber air utama. Adapun pada penggunaan PLTS yang terhalang regulasi. Regulasi dan ketentuan yang berlaku saat ini belum mendukung PLTS atap on grid atau terhubung dengan jaringan PLN. PLN hanya memperbolehkan masyarakat memasang PLTS sebesar 15 persen dari total kapasitas.
Selain itu, kata Beyrra, jika merujuk dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, partisipasi publik dalam transisi energi hijau belum diikutsertakan. ”Dengan demikian, pemerintah harus mendukung keterlibatan masyarakat sehingga ekosistem bisa terbentuk. Jika satu daerah sukses implementasinya, daerah dan komunitas lain bisa menjadikan hal tersebut sebagai pedoman ikut terlibat dalam transisi energi hijau,” katanya.