Sebagian Besar Kematian Ibu dan Bayi Dapat Dicegah
Sebagian besar kematian ibu dan bayi dapat dicegah. Salah satu program yang dapat dilakukan ialah skrining kesehatan bagi calon pengantin, ibu hamil, dan bayi baru lahir.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak 70 persen kematian yang terjadi pada ibu dan bayi baru lahir adalah kasus yang dapat dicegah. Pencegahan, antara lain, dapat berupa skrining kesehatan sebelum, selama, dan setelah kehamilan, serta penguatan sistem kesehatan. Angka kematian ibu dan bayi diharapkan turun sesuai target pemerintah.
Pada 2021, ada 7.389 kasus kematian ibu di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengartikan ini sebagai kematian saat kehamilan, persalinan, atau 42 hari setelah kehamilan selesai.
Faktor penyebab kematian ibu, antara lain, standar pelayanan rumah sakit belum optimal dan keterampilan sumber daya manusia kesehatan yang belum memadai. Penyebab lainnya, pendarahan, infeksi, dan eklampsia.
”Sebanyak 53 persen kematian maternal nasional pada 2021 adalah modifiable factors (faktor yang bisa dikendalikan). Penyebab kematian ibu adalah terlambat mendapat penanganan di fasilitas kesehatan rujukan,” kata Ketua Tim Kerja Maternal dan Neonatal Kementerian Kesehatan Laila Mahmudah, Selasa (6/6/2023), pada webinar Tantangan dan Strategi Penurunan AKI-AKB Pasca-Pandemi Covid-19.
Kendala lain di fasilitas kesehatan yang bisa menyebabkan kematian ibu adalah kesiapan logistik, alat kesehatan, sarana, dan prasarana yang belum memadai. Laila menambahkan, 30 persen faktor penyebab kematian ibu adalah keluarga terlambat mencari pertolongan medis.
Adapun kematian perinatal di Indonesia pada 2021 adalah 20.153 kasus. Sebanyak 51 persen kematian disebabkan oleh terlambatnya penanganan medis. Kematian perinatal dimaksud merujuk pada kematian janin atau bayi berusia seminggu.
Dari kasus kematian yang kami kaji, 70 persen kasus adalah kematian yang dapat dicegah.
Sama seperti kematian ibu, kematian bayi juga berhubungan dengan tidak optimalnya layanan kesehatan serta keterlambatan masyarakat mencari pertolongan medis. Faktor lain yang menyebabkan kematian bayi adalah berat badan lahir rendah dan asfiksia (kurang oksigen saat lahir).
”Dari kasus kematian yang kami kaji, 70 persen kasus adalah kematian yang dapat dicegah. Ada beberapa faktor yang dapat diperbaiki untuk mencegah kematian tersebut,” ucap Laila.
Pencegahan pertama adalah dengan menghindari faktor risiko kematian pada ibu hamil. Ibu yang berisiko dalam kehamilan, antara lain, adalah mereka yang hamil saat berusia di atas 35 tahun, telah hamil lebih dari empat kali, hamil anak kembar, dan yang air ketubannya pecah dini. Faktor risiko lain ialah diabetes, hipertensi, anemia, konsumsi alkohol dan rokok, dan ada riwayat retensi plasenta (plasenta tidak keluar 30 menit setelah melahirkan).
Kementerian Kesehatan tengah menggalakkan skrining kesehatan ibu hamil dan bayi baru lahir. Pemeriksaan kehamilan yang sebelumnya empat kali ditambah menjadi enam kali. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) juga bisa diakses di puskesmas. Selain itu, ada program skrining layak hamil bagi calon pengantin dan pasangan berusia subur.
Pencegahan penting untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Per 2020, AKB Indonesia adalah 16,85 per 1.000 kelahiran hidup. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan AKB turun jadi 16 per 1.000 kelahiran hidup, sementara target pemerintah di 2030 adalah 12 per 1.000 kelahiran hidup.
Adapun AKI di Indonesia pada 2020 adalah 189 kasus per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah menargetkan angka ini turun jadi 183 kasus per 100.000 kelahiran hidup pada 2024.
Menurut Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tin Afifah, data AKI dan AKB perlu dikumpulkan secara komprehensif termasuk penyebabnya. Data itu penting sebagai rujukan perumusan kebijakan.
”Untuk memantau capaian AKI dan AKB, perlu ada sumber data memadai. Sumber data yang baik dan efisien untuk angka kematian adalah CRVS (sistem pencatatan sipil dan sistem statistik vital). Namun, pencatatan CRVS belum memadai,” katanya.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN Ning Sulistiyowati menambahkan, CRVS mulai dikembangkan sejak 2005 di Jakarta, Pekalongan, dan Surakarta. Pada 2024-2030, diharapkan semua kabupaten/kota telah terintegrasi di CRVS.
Kepala Perwakilan Thinkwell Institute Indonesia Trihono menambahkan, data AKI dan AKB bisa dianalisis lebih jauh. Sebagai contoh, data bisa dikaitkan dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) untuk melihat kondisi ibu, status gizi, dan cakupan layanan kesehatan maternal.