Berkaca dari Kisah Malin Kundang dalam Memperlakukan Lansia
Dalam cerita rakyat Sumatera Barat, Malin Kundang dikutuk jadi batu lantaran durhaka pada ibunya yang sudah tua. Pesan serupa digaungkan kembali pada acara puncak Hari Lanjut Usia Nasional di tempat asal Malin Kundang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang lansia di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, Halimah (75, kanan), berbincang dengan pendamping dari Kementerian Sosial pada Senin (29/5/2023). Halimah merupakan salah satu lansia penerima bantuan sosial berupa rumah sejahtera terpadu (RST). RST diberikan antara lain ke lansia tunggal yang hidup dalam kemiskinan.
Malin Kundang dibesarkan oleh orang tua yang sangat menyayangi dirinya. Ia juga diajari macam-macam agar kelak bisa tumbuh menjadi lelaki yang cakap. Saat dewasa, Malin Kundang minta izin ke orang tuanya untuk merantau dan mengadu nasib.
Berlayarlah Malin Kundang ke tanah yang belum pernah ia sambangi. Seiring berjalannya waktu, Malin Kundang jadi orang sukses. Ia juga menikahi seorang perempuan. Malin Kundang yang rindu kampung halaman lantas memutuskan pulang.
Setibanya di kampung halaman, Malin Kundang didatangi seorang perempuan tua renta yang mengaku sebagai ibu kandungnya. Malin Kundang tak percaya. Dengan marah dan malu, ia membentak dan mengusir ibu tua tadi.
Ibu Malin yang sedih dan sakit hati pun mengutuk anaknya menjadi batu. Kutukan itu menjadi kenyataan. Malin Kundang menjadi batu dalam posisi bersujud, ditemani puing-puing kapalnya yang hancur diterpa badai.
YOLA SASTRA
Wisatawan berfoto di samping batu Malin Kundang di kawasan objek wisata Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat, Sabtu (8/8/2020). Kunjungan wisatawan di Pantai Air Manis mulai kembali ramai pada masa normal baru.
Dalam cerita rakyat Sumatera Barat, Malin Kundang dikutuk menjadi batu lantaran durhaka pada ibunya yang sudah renta. Pesan serupa digaungkan kembali pada puncak peringatan Hari Lanjut Usia Nasional atau HLUN 2023 di tempat asal Malin Kundang.
Batu Malin Kundang berada kawasan wisata Pantai Air Manis, Kota Padang, Sumatera Barat. Menteri Sosial Tri Rismaharini sempat berkunjung ke sana selama sekitar 15 menit pada Minggu (28/5/2023). Setelahnya, ia bertolak ke Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, untuk menghadiri acara puncak Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) yang berlangsung pada Senin (29/5/2023).
Pada HLUN, Risma mengatakan bahwa masih ada warga lanjut usia atau lansia di Indonesia yang ditelantarkan keluarganya. Ia menyebut ada lansia perempuan yang dibuang anaknya, lalu tinggal di gorong-gorong. Lansia itu kini sudah ditangani Kementerian Sosial (Kemensos).
“Anak-anakku, tidak boleh lagi terjadi seorang ibu atau ayah kita buang. Itu durhaka sekali. Tidak mungkin (kita) bisa berjalan tanpa dilatih mereka. (Saya harap) tidak ada lagi para anak membuang orang tuanya. Kalau memang tidak mampu (merawat lansia), serahkan pada kami,” ucap Risma.
Penelantaran lansia bukan hanya soal budi pekerti. Lansia yang ditelantarkan rawan hidup menggelandang dan jatuh ke kemiskinan. Akhirnya, penelantaran lansia dapat bermuara ke masalah sosial.
Kementerian Sosial lantas menggelontorkan Rp 23,89 miliar ke warga lansia di Sumatera Barat (Sumbar) untuk memperingati HLUN 2023. Bantuan ini untuk mengupayakan perlindungan sosial dan pemenuhan hak sipil mereka seperti pembuatan dokumen kependudukan, operasi katarak, dan bantuan rumah sehat.
Tren meningkat
Menurut laporan Statistik Penduduk Lanjut Usia 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 10,48 persen penduduk Indonesia adalah lansia. Angka ini setara dengan 28,9 juta orang. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengatakan, populasi lansia menunjukkan tren peningkatan. Jumlah lansia di Indonesia diperkirakan akan lebih banyak dua kali lipat dari jumlah saat ini pada tahun 2045.
Tubuh lansia mengalami proses penuaan yang mengakibatkan penurunan fungsi tubuh
Kondisi ini perlu diperhatikan karena lansia adalah kelompok rentan. Sebagai orang yang telah mencapai usia 60 tahun, tubuh lansia mengalami proses penuaan yang mengakibatkan penurunan fungsi tubuh. Lansia pun rentan mengalami penyakit degeneratif. Sebagian lansia tercatat memiliki lebih dari satu penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular. Karena kondisi itu pula, sebagian lansia sulit mandiri.
“Kesehatan lansia mesti terus diupayakan,” kata Budi pada webinar berjudul “Caregiver Hebat, Sahabat Lansia” pada Selasa (30/5/2023). Hari Lanjut Usia Nasional dinilai menjadi momen baik untuk menggalang komitmen dan dukungan semua pihak untuk menyejahterakan lansia, sehingga mereka tidak lagi dianggap beban, melainkan kekuatan dalam pembangunan Indonesia.
Lansia yang tidak sehat memerlukan pendampingan atau perawatan jangka panjang. Kondisi ini membuat mereka bukan hanya sulit mandiri, namun juga produktif. Mereka pun rentan dianggap “beban” bagi kelompok usia produktif.
Adapun BPS mencatat rasio ketergantungan lansia sebesar 16,09. Artinya, satu orang lansia didukung setidaknya enam penduduk berusia produktif (15-59 tahun). Ketergantungan ini bisa berdampak antara lain ke aspek ekonomi penduduk usia produktif.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, jumlah lansia akan bertambah di 2035. Masalahnya, karakter lansia nanti adalah orang berpendapatan rendah dan berpendidikan rendah. Rata-rata masa sekolah mereka adalah 8,3 tahun.
“Generasi muda harus lebih produktif karena dalam hal ini adalah tanggungan untuk menyangga kehidupan lansia,” ucap Hasto, Minggu (4/6/2023).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga lanjut usia (lansia) mengikuti kegiatan senam dalam wujud tarian pada acara peringatan Hari Lansia di Taman Lansia Ceria Bethesda Yakkum, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (30/5/2023). Lansia peserta kegiatan itu juga mendapat pelatihan pengolahan sampah menjadi barang yang bermanfaat agar mereka dapat turut berperan dalam melawan dampak negatif perubahan iklim.
Di sisi lain, masih ada lansia yang mandiri dan dapat berpartisipasi ke pembangunan. Menurut Hasto, ada empat kelompok lansia. Pertama, warga lansia yang sehat dan memiliki kemampuan ekonomi atau tabungan. Kedua, lansia yang sehat, tetapi tidak memiliki tabungan.
Ketiga, warga lansia yang punya tabungan, tapi tidak sehat. Keempat, lansia yang tak sehat dan tak punya tabungan. Kelompok lansia pertama hingga ketigalah yang punya kesempatan berkontribusi ke masyarakat.
Hasto menambahkan, penanganan kelompok lansia yang tidak produktif mesti dilakukan sejak dini. Misalnya, dengan mengeliminasi tengkes atau stunting. Anak yang stunting rentan sakit ketika usianya mencapai 40-an tahun. Hal ini menghambat produktivitas serta menurunkan kualitas hidup mereka, bahkan hingga jadi lansia nanti.
“Usahakan sehat. Jangan sampai ada generasi paruh baya usia 50 tahun sudah sakit-sakitan. Hal ini mesti dicegah di hulu,” ucap Hasto.