Berau Memanas, Kematian Meningkat dan Petani Bekerja pada Malam Hari
Warga Berau, Kalimantan Timur, harus menanggung peningkatan suhu yang mencapai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun terakhir. Kenaikan suhu harian ini tiga kali lebih cepat dari rata-rata global.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Panas yang terlalu terik karena kenaikan suhu yang mencapai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun terakhir, membuat para petani sayur di Kampung Baru, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur tidak sanggup lagi bekerja di siang hari. Mereka mengganti jam kerja di pagi dan sore hingga malam hari.
”Sekarang Berau terlalu panas. Begitu matahari mulai naik, biasanya sudah tak sanggup lagi berada di ladang. Panasnya menyengat. Padahal, sepuluh tahun lalu rasanya belum sepanas ini,” kata Mardiono (54), petani sayur dari Kampung Baru, anggota Kelompok Tani Kembang Bersama, Sabtu (3/6/2023).
Untuk mencukupi kebutuhan harian, Mardiono menargetkan bisa panen sayur setiap hari. Untuk itu dia harus pintar mengatur jadwal mencangkul, tanam, perawatan, hingga panen. ”Kerja petani sayur harus telaten,” katanya.
Masalahnya, suhu udara di Berau pada siang hari kini tidak lagi ramah untuk para petani. Oleh karena itu, Mardiono mesti beradaptasi dengan mengubah jam kerja. Biasanya dia pergi ke ladang selepas sembahyang Subuh, sekitar pukul 05.30 Wita. Begitu matahari mulai naik, sekitar pukul 09.30, dia sudah kembali ke rumah dan baru kembali ke ladang selepas Asar, sekitar pukul 16.00.
Setelah maghrib, Mardiono akan kembali ke ladang, hingga sekitar pukul 21.30. ”Kerja malam terutama untuk menyuluh hama. Ulat grayak dari dalam tanah itu biasanya naik saat malam dan mesti ditangkap satu-satu agar tidak merusak tanaman,” katanya.
Ladang sayur Mardiono berada persis di belakang rumahnya. Di lahan dengan luas 35 meter x 110 meter itu, dia menanam aneka sayur-mayur, mulai dari kacang panjang, bayam, sawi, hingga mentimun.
Di antara bedengan, tiang-tiang lampu listrik menerangi ladang saat malam. ”Kalau tidak malu dengan tetangga, saya mungkin akan bekerja sampai tengah malam dan ganti siang istirahat,” katanya.
Mardiono juga memasang pipa sprinkler untuk menyirami tanaman. ”Kalau tidak pakai sprinkler susah karena terlalu panas, tanah gampang merekah dan tanaman bakal layu kalau terlambat disiram. Sehari bisa lima kali nyiram sehingga biaya listrik bengkak,” katanya.
Selain menghadapi terik yang membakar, menurut Mardiono, para petani kini juga menghadapi cuaca yang tidak menentu. ”Sekarang terkadang panas seharian, lalu tiba-tiba hujan sangat lebat dan berangin. Dulu hujan lebih lama, tetapi sekarang lebih pendek dan sangat deras,” katanya.
Sore itu, Mardiono tengah beristirahat di gubuk di belakang rumahnya, saat mengisahkan perjuangan bertani di tengah suhu yang memanas. Dari kejauhan, suara deru alat berat meraung-raung tanpa henti.
”Itu (suara alat berat) yang menjadi penyebab hancurnya hutan dan panas di Berau,” kata Mardiono, menyebut tentang aktivitas penambangan batubara di kawasan Hutan Kota Tangap, yang berbatasan dengan kampungnya.
Tri Budi Kurniawan (43), Ketua RT 008 Kampung Baru mengatakan, warga telah berulang-ulang protes dengan aktivitas penambangan batubara yang merusak Hutan Kota Tangap. ”Hutan Kota Tangap ini dulu kebanggaan warga Berau, jadi pusat wisata, dan pelindung kampung kami serta sumber air,” katanya.
Kawasan hutan Tangap telah dikembangkan menjadi kawasan wisata alam sejak tahun 1990-an oleh PT Inhutani dengan luasan mencapai 560 hektar. Kawasan hutan ini kemudian ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh Bupati Berau dengan surat keputusan (SK) Nomor 183 Tahun 2008.
Jelas bahwa panas dari deforestasi telah menurunkan kemampuan untuk bekerja dengan aman. Hutan-hutan yang menghilang dalam hitungan hari hingga tahun itu telah memperdalam dampak krisis iklim di Berau.
Tapi, sejak maraknya penambangan batubara tiga tahun terakhir, sekarang hutan kota itu hanya menyisakan beberapa hektar saja. Hanya 200 meter dari pintu gerbang Hutan Kota Tangap, terlihat puluhan alat berat bekerja membongkar hutan dan mengeruk batubara.
Kisah tentang Hutan Kota Tangap hanya sebagian dari tragedi penghancuran hutan di Berau, yang menjadikan daerah ini mengalami peningkatan suhu tiga kali lebih cepat dari rata-rata global. Penelitian Nicholas H Wolff dari The Nature Conservancy dan tim di jurnal Lancet Planetary Health (2021) menunjukkan, selama 2002 hingga 2018 seluas 4.375 kilometer persegi (km2) hutan di Berau telah dibuka. Ini setara dengan sekitar 17 persen dari luasan lahan di seluruh kabupaten ini.
Menurut Wolff, kombinasi pembukaan hutan yang masif dan pemanasan global inilah yang menyebabkan suhu di Berau meningkat hingga 0,95 derajat celcius dalam 16 tahun.
Data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan, suhu Bumi telah menghangat sekitar 1,1 derajat celsius sejauh ini, tetapi itu butuh waktu lebih dari 150 tahun. Laju pemanasan global ini sekitar 0,15 hingga 0,2 derajat celsius per tahun. Namun, Berau memanas hampir satu derajat hanya dalam 16 tahun dengan laju 0,6 derajat per tahun.
Menurut kajian Wolff dan tim, peningkatan suhu harian di Berau ini telah meningkatkan 7,3–8,5 persen kematian dari semua penyebab, atau sekitar 101–118 tambahan kematian per tahun pada 2018. Selain itu, peningkatan suhu ini juga menyebabkan peningkatan waktu kerja yang tidak aman sebesar 0,31 jam per hari di daerah yang terdeforestasi dibandingkan dengan 0,03 jam per hari di daerah yang mempertahankan tutupan hutan.
Ike Anggraini, pengajar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman Samarinda, yang turut dalam tim kajian Wolff di Berau mengatakan, deforestasi telah menghilangkan fungsi pendinginan dari hutan. Tempat berteduh hilang, mengganggu evapotranspirasi, dan siklus air.
Dalam jangka panjang, deforestasi juga meningkatkan emisi karbon sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global. Dampaknya pada kesehatan terutama dari meningkatnya paparan panas yang bisa memicu dehidrasi hingga gangguan ginjal.
Dari studi terpisah yang dipublikasikan jurnal Global Environmental Change pada 2019, Ike dan tim juga menunjukkan, perubahan pola kerja yang dialami petani di Berau, sebagaimana dipaparkan Mardiono. Produktivitas pekerja di luar ruangan, seperti petani menjadi lebih sedikit, karena waktu istirahat makin banyak di siang hari.
Jelas bahwa panas dari deforestasi telah menurunkan kemampuan untuk bekerja dengan aman. Hutan-hutan yang menghilang dalam hitungan hari hingga tahun itu telah memperdalam dampak krisis iklim di Berau.
Marwan (45), anggota Kelompok Kerja Program Karbon Hutan Berau mengatakan, Berau adalah potret pembangunan di Indonesia yang cenderung abai dengan dampak lingkungan dan sosial. ”Tahun 1970-an, hutan Berau mulai dibabat, pada tahun 1970-an itu disebut banjir kap, saat kayu gelondongan memenuhi sungai. Berikutnya muncul sawit, sekarang tambang batubara membongkar hutan-hutan yang tersisa, terutama oleh penambangan liar atau koridoran" kata dia.
Marwan mengatakan, para penambang ini biasanya melibatkan pemilik tanah dengan izin untuk pematangan lahan, tapi tujuan utamanya untuk mengambil batubara. ”Bukan hanya hutan kota, bahkan area sekitar Bandara Kalimaru juga dikepung tambang batubara,” kata Marwan.
Lubang-lubang tambang di sekitar bandara yang menganga itu terlihat jelas saat pesawat meninggalkan Berau yang terpanggang panas, dan bakal semakin memanas....