Gerakan Kebudayaan untuk Mengatasi Dampak Krisis Iklim
Alam adalah sumber kehidupan. Budaya yang tumbuh dan berkembang dari memuliakan alam akan menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Gerakan kebudayaan menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya kelestarian alam sekaligus menekan dampak krisis iklim di masyarakat. Budaya yang tumbuh dan berkembang dari memuliakan alam akan menjamin keberlangsungan kehidupan manusia.
Sabtu (3/6/2023), Komunitas Bakul (Bareng-Bareng Kumpul) Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia bersama Makara Art Center UI mengadakan pergelaran ”Sedekah Hutan Universitas Indonesia 2023” di kawasan UI, Depok, Jawa Barat. Penyelenggaraan acara ini sekaligus memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni. Rangkaian pergelaran, menurut rencana, akan diselenggarakan pada 3-8 Juni 2023.
Sekitar 170 warga Jabodetabek (anak-anak hingga dewasa) dan pegiat Bakul Budaya FIB UI mengikuti kirab tersebut. Mereka mengenakan pakaian adat Nusantara, seperti pakaian adat Papua hingga Betawi. Beberapa juga membawa bibit pohon, angklung, dan sesaji.
Ketua Umum Bakul Budaya FIB UI Dewi Fajar Marhaeni mengatakan, sedekah hutan tidak hanya mengajarkan masyarakat mencintai alam semesta. Namun, juga turut mengajak masyarakat untuk kembali mencintai kearifan lokal yang terkandung dalam kebudayaan Indonesia yang luhur, terutama bagi generasi muda.
Penyelenggaraan sedekah hutan baru pertama kali dilakukan sejak Bakul Budaya didirikan pada 22 September 2022. Fenomena pemanasan global menjadi latar belakang Bakul Budaya mengadakan sedekah hutan. Dalam sedekah hutan para peserta menanam bibit pohon dan melepas seribu bibit ikan ke Danau Kenanga UI untuk melestarikan alam serta menjaga tradisi kebudayaan.
”Visi misi kita untuk pelestarian keberlangsungan budaya Nusantara. Semua generasi harus turut andil dalam hal ini karena masalah bumi adalah masalah bersama,” kata Dewi.
Kegiatan sedekah hutan merupakan proses agar masyarakat merenungi kesalahan-kesalahannya terhadap bumi. Masih banyak masyarakat yang aktivitasnya berpotensi memengaruhi pemanasan global, seperti membuang sampah sembarangan dan menebang hutan. Dewi berharap semua generasi, dari anak-anak hingga warga lansia, sadar akan pentingnya menjaga bumi.
Mahasiswi FIB UI, Febby (20), mengatakan, kegiatan sedekah hutan tidak hanya sekadar kumpul bersama atau ajang eksis masyarakat. Makna dari kegiatan tersebut harus selalu dibawa dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Febby, anak-anak dan generasi muda merupakan kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Untuk itu, penting bagi anak-anak mendapatkan literasi untuk menghadapi perubahan kondisi lingkungan akibat krisis iklim. Generasi muda juga perlu belajar mengelaborasi kebudayaan dan lingkungan.
Sedangkan warga Tebet, Jakarta Selatan, Muthia Dewi (21), mengatakan, kegiatan sedekah hutan perlu dilakukan setiap tahun. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih bersyukur dengan alam yang dimiliki agar terus menjaga kelestariannya.
Menguatkan ikatan
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid, serangkaian acara sedekah hutan mengajak berbagai elemen negara, seperti akademisi, pemangku kebijakan, pelajar, dan masyarakat luas untuk bersama-sama melestarikan alam dan budaya Nusantara.
Sedekah hutan juga dianggap sebagai gerakan kebudayaan untuk mengatasi krisis iklim. Melalui pengetahuan dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi, komunitas lokal memiliki pemahaman mengenai ekosistem dan pola cuaca yang merupakan solusi terhadap krisis iklim.
”Kearifan lokal juga mencakup nilai kebersamaan dan keadilan sosial yang diharapkan bisa memperkuat keterlibatan masyarakat luas untuk mengurangi emisi karbon. Ini adalah langkah penting untuk mencari solusi keberlanjutan terhadap krisis iklim,” tutur Hilmar.
Sementara itu, Dekan FIB UI Bondan Kanumoyoso berpendapat, sedekah hutan dapat menguatkan kembali ikatan antara manusia, alam, dan budaya. Hubungan manusia dan alam seharusnya saling mendukung untuk membentuk budaya, yaitu budaya yang menghargai dan memuliakan alam.
”Dalam sedekah hutan, kita diingatkan kembali bahwa alam adalah sumber kehidupan. Selain itu, budaya yang tumbuh dan berkembang dari pemuliaan bumi akan menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat,” ucap Bondan.
Anak-anak dan generasi muda merupakan kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Untuk itu, penting bagi anak-anak mendapatkan literasi untuk menghadapi perubahan kondisi lingkungan akibat krisis iklim.
Bondan mengatakan, FIB UI sangat mendukung segala upaya untuk menjaga dan melestarikan alam. Menurut dia, dengan memuliakan air, tanah, udara, dan pepohonan, maka budaya akan dapat hidup dan terus berkembang.
Melalui sedekah hutan, hakikat ilmu humaniora yang dikembangkan oleh FIB UI dapat menemukan relevansinya. Manusia, alam, dan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, pemuliaan terhadap alam juga merupakan pemuliaan terhadap manusia dan budaya.