Panduan Penerapan Kecerdasan Buatan di Lembaga Pendidikan Minim
Menurut survei UNESCO, kurang dari 10 persen institusi pendidikan mempunyai panduan pemakaian aplikasi AI. Pemanfaatan kecerdasan buatan perlu mempertimbangkan risiko pelanggaran regulasi, plagiasi, dan etika akademik.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) terus berkembang dan penggunaanya semakin masif, termasuk dalam dunia pendidikan. Namun, survei global Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menunjukkan, panduan penerapan kecerdasan buatan di lembaga pendidikan masih sangat minim.
Survei yang dilakukan pada 4-19 Mei 2023 itu melibatkan lebih dari 450 sekolah dan universitas di Afrika, Timur Tengah, Asia, Pasifik, Eropa, Amerika Utara, serta Amerika Latin. Hasilnya, kurang dari 10 persen institusi pendidikan yang mempunyai kebijakan kelembagaan atau panduan formal mengenai pemakaian aplikasi AI generatif.
”Hasil survei menunjukkan bahwa kita masih sangat bingung dalam penerapan AI generatif yang baru dan kuat di bidang pendidikan,” ujar Direktur Pembelajaran Masa Depan dan Inovasi UNESCO Sobhi Tawil dikutip dari laman resmi UNESCO, Jumat (2/6/2023).
Pemanfaatan teknologi memang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan pembelajaran. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan panduan yang jelas agar tidak melanggar ketentuan-ketentuan etik dan berdampak negatif.
Kondisi tersebut menggambarkan ketidakpastian dalam merespons kemunculan AI generatif yang dapat menghasilkan kemampuan seperti manusia, di antaranya berupa ringkasan, esai, surat, dan program komputer. Teknologi tersebut juga mampu meraih nilai tertinggi pada tes standar seperti ujian masuk universitas.
Pemanfaatan teknologi memang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan pembelajaran. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan panduan yang jelas agar tidak melanggar ketentuan-ketentuan etik dan berdampak negatif.
Apalagi, pemakaian aplikasi digital menyebar dengan sangat cepat di seluruh dunia. ChatGPT, produk teknologi berbasis AI generatif buatan OpenAI, misalnya, diperkirakan memiliki lebih dari 100 juta pengguna secara global.
Padahal, chatbot ini baru dirilis pada November tahun lalu. Pertumbuhan aplikasi digital itu melampaui sejumlah media sosial seperti Instagram dan Snapchat.
Menurut Tawil, tanpa panduan institusional, teknologi tersebut kemungkinan besar akan diintegrasikan ke sistem pendidikan tanpa perencanaan matang. Implikasinya pun tidak pasti dan berpotensi menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
”Idealnya ada refleksi serius tentang tempat dan perannya, kemudian tindakan untuk mewujudkan visi tersebut. Kita tidak bisa begitu saja mengabaikan implikasi jangka pendek dan menengah dari teknologi ini untuk keamanan, keragaman pengetahuan, kesetaraan, dan inklusi,” katanya.
Proaktif
UNESCO mendorong sekolah dan universitas bersikap proaktif dalam memberikan panduan pemanfaatan kecerdasan buatan. Selain itu, membantu siswa dan guru memahami teknologi itu dan implikasi pemakaiannya.
”Lembaga pendidikan membutuhkan pendekatan yang gesit dan berulang, atau mereka akan selamanya berusaha mengejar ketinggalan dengan kecepatan inovasi teknologi yang tiada henti,” jelasnya.
Survei itu juga menunjukkan lebih banyak universitas mempunyai panduan penggunaan kecerdasan buatan ketimbang sekolah. Sejumlah institusi menyerahkan kebijakan itu kepada masing-masing departemen, kelas, dan guru untuk memutuskan pemakaian aplikasi AI generatif.
Hanya dua institusi pendidikan yang melarang sepenuhnya penggunaan aplikasi AI generatif seperti ChatGPT. Sementara sekitar 40 persen universitas dan sekolah yang sudah memiliki kebijakan tidak mempunyai pedoman tertulis dan hanya dikomunikasikan secara lisan.
Hasil survei juga menyebutkan, hampir 20 persen responden tidak yakin apakah lembaga mereka mempunyai pedoman penggunaan AI generatif atau tidak. Hal ini mencerminkan ketidakpastian dan kekosongan peraturan dalam pemakaian teknologi baru tersebut.
Panduan UNESCO dalam penggunaan kecerdasan buatan mengarahkan ke humanistik dengan memprioritaskan inklusi, kesetaraan, keragaman, dan kualitas. Rekomendasi UNESCO pada 2021 tentang etika AI telah memberikan prinsip umum untuk membuat peraturan dan regulasi khusus.
Secara terpisah, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menyampaikan, pemanfaatan teknologi terbaru diharapkan mampu mendongkrak capaian dan kualitas pendidikan. Namun, ia mengingatkan informasi yang dihasilkan kecerdasan buatan tidak selalu akurat.
”Kemajuannya (teknologi AI) memang luar biasa. Kecerdasan buatan ini bisa direplikasi begitu cepat, tetapi terkadang ada salahnya juga,” ucapnya.
Dosen pada Kelompok Keahlian Informatika, Sekolah Teknik Elektro, dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB), Ayu Purwarianti, menyebutkan, terdapat sejumlah risiko yang harus dipertimbangkan ketika memanfaatkan ChatGPT, yaitu terkait regulasi, plagiarisme, dan etika akademik. Oleh karenanya, penggunaannya dalam ruang lingkup akademik harus lebih bijak.
”Sebenarnya, ChatGPT sangat bermanfaat membantu kita belajar. Namun, harus berhati-hati akan tujuan kita menggunakannya. Kalau, misalnya, mahasiswa disuruh bikin esai dengan tujuan supaya bisa memiliki kemampuan analisis yang lebih tinggi, serta lebih kritis dan kreatif, maka jangan menggunakan ChatGPT. Silakan membuat esai dengan kalimat sendiri,” ujarnya.