Keberagaman di Indonesia menghadapi tantangan perpecahan. Sikap masyarakat yang inklusif masih belum kuat. Generasi muda perlu mendapat pendidikan Pancasila yang bermakna.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
DIAN DEWI PURNAMASARI
Masyarakat Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, mengikuti upacara bendera peringatan Hari Lahir Pancasila di Lapangan Pancasila, Ende, Kamis (1/6/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kamis (1/6/2023), jadi dorongan bagi generasi muda untuk mewujudkan sikap hidup yang inklusif. Meskipun tidak dimungkiri masih banyak kasus intoleransi dan diskriminasi terjadi, generasi muda diyakini dapat membawa kelima sila Pancasila sebagai titik temu dan pemersatu kemajemukan di Indonesia.
Menyambut Hari Lahir Pancasila, Setara Institute dan Unilever Indonesia menggelar diskusi bertema ”Merawat Toleransi: Bicara Equity, Diversity & Inclusion di Hari Lahir Pancasila” yang diikuti oleh lebih dari 700 milenial dan gen-Z sebagai upaya mengajak anak muda untuk lebih toleran.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyampaikan, Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni adalah momen untuk merefleksikan betapa nilai-nilai toleransi yang telah tertanam di dalam kelima sila Pancasila adalah titik temu dan pemersatu kemajemukan di Indonesia. Namun, tak dapat dimungkiri, negara kita masih dihadapkan pada banyak kasus intoleransi dan diskriminasi.
Dalam catatan Setara Institute, sepanjang tahun 2022 terdapat 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Kaum muda pun rentan terpengaruh sikap intoleransi di sekolah.
Dalam mewujudkan masyarakat yang inklusif, lanjut Halili, Indonesia masih mengalami kesenjangan jender. Data Global Gender Gap Report 2022 dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 dari 11 negara ASEAN dalam indeks kesenjangan jender. Selain itu, berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang 2022 terdapat 4.371 kasus yang diadukan, 79 persen di antaranya kasus kekerasan berbasis jender.
Demikian pula dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Laporan Kemitraan Australia-Indonesia (AIPJ) mengungkap, Indonesia mengalami persoalan serius dalam kuatnya stigma pada penyandang disabilitas, pendekatan berbasis karitas dan medis terhadap mereka, serta tidak adanya data yang akurat dan komprehensif tentang penyandang disabilitas. Hal ini menjadi hambatan besar karena menghalangi advokasi berbasis bukti, kajian kebutuhan, formulasi kebijakan, pemantauan kemajuan, dan evaluasi secara tepat.
Jika Pancasila diberikan sebagai hafalan, maka tidak akan membentuk karakter. Pancasila perlu diajarkan lewat keteladanan.
Demi memperkuat inklusivitas di kalangan generasi muda, Unilever Indonesia menggelar program ”Every U Does Good Heroes” sejak 2021 untuk memberikan mentorship, micro grant, disertai pembinaan lanjutan pada sederetan sosok generasi muda agar mampu menjadi sociopreneurs masa depan yang mampu menginspirasi lebih banyak generasi muda untuk merawat toleransi.
Salah satu pemenang Every U Does Good Heroes 2022, Co-founder and Director Bastra ID Tito Tri Kadafi, memaparkan, Bastra ID menggagas sejumlah program, seperti Kartu Rembug (media permainan kartu yang mengajarkan negosiasi dan argumentasi lisan pada siswa SMP dan SMA) serta kelas Remaja Belajar Menulis Konten, yakni program inkubasi penulisan esai untuk belajar berargumentasi dan bernegosiasi secara tertulis.
”Saya percaya, dengan membuat lebih banyak generasi muda mampu bernegosiasi dan berargumentasi secara asertif, dunia yang lebih toleran terhadap keberagaman akan berpotensi tercipta. Kita tidak bisa memastikan sebuah kota menjadi toleran, tetapi kita bisa mengusahakannya,” ujar Tito.
Sementara itu, Kristy Nelwan, Head of Communication sekaligus Chair of Equity, Diversity & Inclusion (ED&I) Board Unilever Indonesia, mengatakan, semangat generasi muda harus terus dipupuk agar toleransi dalam bentuk pengakuan dan perlakuan yang adil, nondiskriminatif, dan inklusif dalam menyikapi kemajemukan akan terus menjadi kunci untuk mewujudkan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Ada sejumlah fakta yang mencerminkan harapan bagi masa depan Indonesia yang lebih inklusif.
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Suasana saat Seminar Kebangsaan Pancasila-Nial, Pancasila Milenial, Minggu (12/1/2020), di Gedung Pascasarjana Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Jawa Timur. Generasi milenial perlu terus didorong untuk meyakini Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang tetap mampu mengatasi persoalan pelik, antara lain intoleransi, disintegrasi, dan terorisme.
Sebagai contoh, kata Kristy, Indonesia Millennial Report 2022 menunjukkan, 61 persen milenial mendukung kesetaraan jender dan 62 persen percaya bahwa perempuan memiliki kemampuan setara untuk menjadi pemimpin. Di situs indorelawan.org, tercatat lebih dari 160 gerakan/program yang dimotori generasi muda memperjuangkan hak dan kesejahteraan penyandang disabilitas.
Selain itu, riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Lembaga Demografi FEB UI pada 2022 menyebutkan, 74 persen gen-Z mendukung adanya tempat ibadah agama minoritas di sekolah-sekolah.
”Semoga kita akan melahirkan lebih banyak aksi nyata yang sejalan dengan langkah kami dalam mendorong equity, diversity and inclusion demi dampak yang terus berlipat ganda,” kata Kristy.
Pendidikan Pancasila
Secara terpisah, dalam webinar internasional yang digelar Institut Leimena dalam rangka Hari Lahir Pancasila, Selasa (30/5/2023), anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Amin Abdullah, menyoroti hilangnya pendidikan Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi sejak peralihan Orde Baru ke masa Reformasi yang dapat menjadi ancaman nyata bagi kohesi sosial di Indonesia saat ini.
Oleh karena itu, BPIP dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sepakat mengembalikan pendidikan Pancasila sebagai bahan ajar pokok dalam kurikulum, mulai pendidikan anak usia dini dan menengah atas hingga perguruan tinggi.
Kini telah disusun Pedoman Guru dan Sumber Literasi Pendidikan Pancasila dengan proporsi 70 materi dan 30 pedagogi. Di saat yang sama, penyusunan buku teks utama Pendidikan Pancasila yang berlaku mulai tahun ajaran baru 2022/2023 sedang dirampungkan.
Sementara itu, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno mengatakan, kebangsaan yang berjiwa Pancasila harus terus-menerus diaktualisasikan. Dia menyebut sejumlah tantangan dalam merawat Pancasila, yaitu adanya kecenderungan intoleransi alami, munculnya ideologi-ideologi radikal agamis transnasional, dan penyempitan kembali rasa identitas.
”Dengan latar belakang ini, kita harus bertanya bagaimana pendidikan kita bisa mendukung persatuan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika atas dasar Pancasila,” ujar Franz Magnis yang kerap disapa Romo Magnis itu.
Menurut Romo Magnis, peserta didik harus mengalami pendidikan yang memberikan wacana positif keagamaan terbuka, membangun komunikasi antarpenganut agama yang berbeda, dan menumbuhkan kebanggaan sebagai orang Indonesia baik dalam pelajaran Sejarah, peristiwa nasional (contoh: sepak bola), serta mengalami Indonesia sebagai sebuah kemajuan keadilan, solidaritas, dan kesejahteraan.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Anak berkebutuhan khusus bertugas sebagai pembawa teks Pancasila saat upacara bendera di MI Muhammadiyah Program Khusus (PK) Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (16/9/2019). Keberadaan sekolah inklusif membantu anak-anak berkebutuhan khusus memperoleh kesetaraan dalam hal pemenuhan hak akan pendidikan.
Romo Magnis juga menegaskan tanggung jawab guru untuk bersikap positif dan terbuka terhadap perbedaan, termasuk agama yang berbeda. Guru pun harus menunjukkan kebanggaan sebagai orang Indonesia dan menularkan semangat itu kepada para siswanya.
”Jika Pancasila diberikan sebagai hafalan, maka tidak akan membentuk karakter. Pancasila perlu diajarkan lewat keteladanan. Jangan sampai semacam ajaran dogmatik atau murid lulus kalau hafalannya benar,” kata Romo Magnis.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan, bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk dengan beragam suku, ras, agama, dan kepercayaan, tetapi dipersatukan oleh kesepakatan-kesepakatan.
”Pancasila adalah contoh kesepakatan utama yang amat penting tersebut, dan itulah juga sebabnya banyak pengamat di berbagai negara yang tertarik dengan Pancasila karena dianggap mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang amat besar dan majemuk,” kata Matius.