Melindungi Jurnalis secara Holistik Menjelang Tahun Politik
Serangan terhadap media dan jurnalis, secara fisik dan daring, berpotensi membungkam kebebasan pers. Negara ikut bertanggung jawab melindungi pers dalam menjalankan perannya sebagai salah satu pilar demokrasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap jurnalis meningkat menjelang Pemilu 2024. Jurnalis dan media memerlukan pelindungan secara holistik atau menyeluruh, termasuk dalam menjaga independensi untuk mengantisipasi intervensi dari pemilik media.
Serangan terhadap media dan jurnalis, baik secara fisik maupun daring, berpotensi membungkam kebebasan pers. Negara ikut bertanggung jawab melindungi pers dalam menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyebutkan, keberlanjutan media dan independensi pers sebagai dua isu utama media saat ini. Hal itu bukan hanya menjadi tantangan secara nasional, tetapi juga global.
Intervensi terhadap independensi pers bisa dipengaruhi berbagai hal, seperti otokrasi, regulasi, dan pengaruh dari dalam media itu sendiri. ”Relasi dalam ruang redaksi tidak selalu independen,” ujarnya dalam diskusi publik ”Protecting Independent Journalists Ahead of Election”, Senin (29/5/2023).
Padahal, independensi sangat berpengaruh terhadap kehidupan pers yang profesional. Tidak hanya oleh media, tetapi juga wartawan dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.
”Saya juga baru tahu, ternyata wartawan bisa diintimidasi oleh sesama wartawan, redaksi diintimidasi pemimpin redaksi, pemimpin redaksi diintimidasi pemilik media, dan pemilik media diintimidasi oleh konglomerasi. Itu sangat mungkin membuat media tidak independen,” jelasnya.
Menjelang tahun politik, Ninik menekankan pentingnya bagi wartawan memegang teguh kode etik jurnalistik. Selain itu, juga memperhatikan keberagaman untuk mencegah polarisasi masyarakat yang terjadi di pemilu sebelumnya.
Tidak profesionalnya jurnalis dan media akibat dipengaruhi pemilik media yang berasosiasi dengan partai politik berpotensi terjadi. Padahal, semestinya urusan redaksional dengan bisnis dan kepentingan lain dipisahkan.
”Taruhlah pemilik media sebagai pengurus partai politik atau pengusaha yang bisa mengontrak media. Seharusnya jurnalis terbebas dari konflik kepentingan ini. Jika jurnalis mengalami hal-hal yang membuat tidak bekerja secara profesional, mereka bisa melaporkannya,” ujarnya.
Oleh karena itu, jurnalis membutuhkan pelindungan menyeluruh. Pelindungan itu bukan cuma tanggung jawab media, tetapi juga negara melalui sejumlah pendekatan.
Menurut Ninik, pelindungan tersebut membutuhkan empat unsur, yaitu pelindungan dari pemerintah terhadap warganya, jaminan kepastian hukum, hak-hak warga negara, dan sanksi hukum bagi pihak yang melanggarnya.
Intervensi terhadap independensi pers bisa dipengaruhi berbagai hal, seperti otokrasi, regulasi, dan pengaruh dari dalam media itu sendiri.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas berharap Pemilu 2024 menjadi salah satu momentum mendorong pelindungan terhadap jurnalis yang lebih holistik. Pihaknya menawarkan empat pilar keamanan jurnalis yang perlu dipikirkan bersama, yaitu preventif, proteksi, prosecution atau penuntutan, dan promosi.
Dalam hal preventif, dibutuhkan kerangka kerja legislatif yang komprehensif untuk melindungi kebebasan berekspresi dan hak mengakses informasi. Terkait proteksi, mekanisme hukum semestinya berjalan efektif dan mempunyai mekanisme pelindungan korban seperti dalam melakukan evakuasi dan respons cepat.
Sementara pilar penuntutan menjamin investigasi terhadap pembunuhan, serangan, dan perlakuan kasus terhadap jurnalis dilakukan secara cepat, efektif, dan imparsial serta tunduk pada pengawasan publik. ”Adapun promosi adalah kerja-kerja untuk memberikan informasi, pendidikan, dan juga peningkatan kerja sama dengan masyarakat sipil untuk mempromosikan keselamatan jurnalis,” katanya.
Kekerasan meningkat
Upaya membangun pelindungan secara holistik pada jurnalis cukup mendesak. Sebab, menjelang tahun politik, kekerasan terhadap wartawan meningkat.
Ika menyebutkan, sepanjang 2023 (hingga April) terjadi 34 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Jumlah itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan 15 kasus.
Nasib jurnalis semakin suram karena sejumlah regulasi berpotensi menjerat mereka, salah satunya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sejak 2008, terdapat 38 jurnalis yang dilaporkan dengan UU itu. Lima di antaranya dipenjara setelah melalui proses pengadilan.
UU Pelindungan Data Pribadi juga berpotensi mengancam kebebasan pers. Sebab, terdapat beberapa pasal ”karet” yang mengatur tentang pengungkapan data pribadi. Hal ini bisa dipakai untuk mengkriminalisasi pers saat mengungkap data kejahatan koruptor dan pelaku kejahatan lainnya.
”Di 2025 juga akan diberlakukan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) baru. Ada 17 pasal yang berpeluang membawa jurnalis ke jeruji besi,” ucapnya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Sigit Pamungkas menyebutkan, regulasi di Indonesia sudah cukup baik dalam melindungi insan pers. Menurut dia, dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen kebebasan pers dengan tidak menghalangi pekerjaan insan pers.
”Di masa tahun-tahun politik ini, setiap tindakan bisa dimaknai banyak hal dengan berbagai cara sesuai kepentingan dari para pihak. Mencari kebenaran atas sebuah informasi, atas sebuah data, itu menjadi kata kunci penting yang ditekankan oleh Presiden,” ujarnya.