Keterbatasan Penyediaan Obat Membelenggu Penderita Hepatitis C
Kelangkaan ketersediaan sejumlah obat menghambat akses pengobatan hepatitis C di Indonesia. Menurut rencana, Sofosbuvir+Daclatasvir baru akan ada pada Juni 2023, dipercepat dari Agustus 2023.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya akses terhadap obat karena mahal dan ketersediaan terbatas mengakibatkan risiko kematian akibat hepatitis C meningkat. Penderita hepatitis C yang memiliki uang lebih dapat membeli obat di luar negeri. Akan tetapi, mereka yang dengan keterbatasan ekonomi hanya bisa menunggu hingga ajal menghampiri.
Terkait hal itu, Senin (29/5/2023), puluhan warga dari sejumlah organisasi peduli hepatitis berunjuk rasa di depan Kementerian Kesehatan, Jakarta. Mereka menuntut agar pemerintah memenuhi kebutuhan obat bagi penderita hepatitis C.
Dengan berbaju serba hitam, mereka membawa poster bertuliskan kekecewaan mereka, seperti ”sediakan obat hepatitis C”, ”nyawa vs regulasi”, dan ”cita-citaku kandas diberangus Hepatistis C”, bahkan ada keranda hijau yang bertuliskan ”Hep-C”.
Salah satu dari mereka ialah Hendro (52), warga Jakarta Selatan, yang pernah berjuang melawan virus hepatitis C pada tahun 2018. Saat itu, ia bersama teman-temannya menggunakan narkotika dan obat-obatan berbahaya jenis morfin melalui jarum suntik yang tidak steril sehingga tertular virus hepatitis C.
Hendro mengaku sulit mengakses pengobatan karena hanya ada beberapa rumah sakit yang dapat menangani hepatitis C. Selain itu, ketersediaan obat hepatitis C sering kali tidak ada. Hendro membutuhkan waktu cukup lama untuk mendapatkan obat Sofosbuvir+Daclatasvir dengan harga yang menguras kantong.
Hendro pun memiliki pengalaman buruk akibat penyakit yang dideritanya. Bukan karena sakitnya saja, melainkan juga penolakan orang lain yang takut tertular, misalnya lewat jabatan tangan atau ludah. Berat badannya pun turun menyusut saat virus tersebut masih mengaliri tubuhnya.
Orang dengan hepatitis C kehilangan banyak uang demi menghilangkan virus di tubuhnya. Claudius Mone (43), warga Jakarta Utara, menuturkan, dirinya sempat terserang hepatitis C pada tahun 2016. Namun, saat itu belum ada program pengobatan dari pemerintah. Adapun obat kombinasi hepatitis C yakni Sofosbuvir+Daclatasvir dan Sofosbuvir+Velpatasvir.
”Saat itu, saya sudah harus memulai pengobatan karena kesehatan sudah memburuk, tidak bisa bekerja, mudah lelah, dan mata berwarna kuning. Karena pemerintah belum menyediakan program pengobatan hepatitis C, saya beli obat Sofosbuvir+Daclatasvir melalui buyers club seharga 1.100 dolar AS di India untuk tiga bulan,” ujar Claudius.
Claudius mengatakan, setelah mengonsumsi obat tersebut, ia dinyatakan sembuh. Menurut dia, pengobatan hepatitis C sebenarnya sangat mudah, yakni minimal tiga bulan dan maksimal enam bulan, tergantung tingkat penyakit. Untuk itu, ketersediaan obat sangat diperlukan agar tidak ada korban lagi.
Obat sering kosong
Caroline Thomas dari Yayasan Peduli Hati Bangsa yang mendampingi orang dengan hepatitis menyampaikan bahwa dari catatan Pemantauan Berbasis Komunitas yang dilakukan organisasi tersebut, sejak 2019 telah terjadi beberapa kali kekosongan obat. Kekosongan obat kombinasi hepatitis C terjadi beberapa kali, yaitu selama lima bulan pada 2019, sembilan bulan pada 2020, tiga bulan pada 2022, dan lima bulan pada 2023.
”Kekosongan obat hepatitis C yang terjadi secara terus-menerus membuktikan bahwa Kementerian Kesehatan telah menunjukkan ketidakmampuan dan kegagalannya merencanakan serta mengadakan tersedianya obat secara berkelanjutan,” ujar Caroline.
Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Irsan Hasan menambahkan, hepatitis C dapat disembuhkan dan jika tidak diobati, memiliki dampak terhadap penurunan kualitas hidup penderitanya. Selain itu, hepatitis C dapat mempercepat perkembangan penyakit lain yang berujung pada kematian.
Kekosongan obat hepatitis C yang terjadi secara terus-menerus membuktikan bahwa Kementerian Kesehatan telah menunjukkan ketidakmampuan dan kegagalannya merencanakan serta mengadakan tersedianya obat secara berkelanjutan.
Apalagi, secara global, WHO mencatat 325 juta orang hidup dengan hepatitis, dengan lebih dari 1,1 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat hepatitis B dan hepatitis C. ”Indonesia tidak akan pernah mencapai target eliminasi hepatitis pada 2030 jika orang dengan hepatitis C tidak diobati,” kata Irsan.
Ketua Umum Yayasan Mutiara Maharani Ade Hermawan mengatakan, perbaikan perencanaan pengadaan obat hepatitis C di Indonesia yang berkelanjutan sebaiknya melibatkan pasien dan komunitas sehingga lebih efektif dalam perencanaan serta efisien dalam pelaksanaannya.
Ade melanjutkan, para peserta aksi juga meminta audit Kemenkes dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pengadaan obat hepatitis C. Harapannya, hasilnya dapat dipaparkan kepada publik secara transparan, akuntabel, dan terbuka sehingga masyarakat dapat turut mengawasi.
Dipercepat
Menanggapi aksi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penyediaan Sofosbuvir+Daclatasvir bagi orang dengan hepatitis C saat ini dalam proses. Obat tersebut diperkirakan tersedia pada Juni 2023, dipercepat dari Agustus 2023. Keterlambatan penyediaan terjadi lantaran bahan baku obat tidak tersedia di India.
Menurut Nadia, akan ada dua sumber dana dan dua jenis obat hepatitis C. Pada tahun ini, pemerintah mendapat dana tidak hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi juga pemrograman ulang dari dana The Global Fund.
Rinciannya, sumber dana APBN untuk membeli obat Sofosbuvir+Daclatasvir. Sementara itu, dana dari The Global Fund untuk membeli Sofosbuvir+Velpatasvir (dalam kombinasi dosis tetap) yang akan tersedia pada Desember 2023.
Selain itu, Kemenkes akan menambahkan alat GeneXpert untuk menghitung jumlah virus (viral load). Saat ini sudah tersedia GeneXpert di 250 layanan dan akan ditambah 50 mesin baru di 2023 dengan menggunakan dana Global Fund.
Untuk meminimalkan dampak ketiadaan obat program Daclatasvir saat ini, Kemenkes mengimbau pasien yang sedang dalam pengobatan untuk melanjutkan pengobatan secara mandiri di bawah pengawasan dokter.
Sementara untuk pasien yang akan mulai menjalani pengobatan juga perlu diarahkan dengan obat secara mandiri di bawah pengawasan dokter. Akan tetapi, bila kondisi klinis memungkinkan (sesuai pertimbangan medis dokter yang menangani), pasien dapat memulai pengobatan saat program obat tersedia.