WHO Membantu Petani Tembakau Beralih ke Tanaman Pangan
Selain membahayakan kesehatan, industri tembakau juga menjadi sumber pencemar lingkungan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri tembakau menjadi ancaman yang jauh lebih besar daripada yang disadari banyak orang karena selain menjadi penyebab berbagai masalah kesehatan, industri ini menjadi salah satu pencemar lingkungan terbesar. Untuk itu, Organisasi Kesehatan Dunia dan sejumlah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa lain telah membantu petani beralih dari tembakau untuk membantu memperkuat ketahanan pangan.
Menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia, WHO mengingatkan, industri tembakau telah menyebabkan deforestasi yang meluas, mengalihkan tanah dan air yang sangat dibutuhkan di negara-negara miskin dari produksi pangan, mengeluarkan limbah plastik dan kimia, serta mengeluarkan jutaan ton karbon dioksida.
WHO mengatakan telah bekerja sama dengan badan PBB lainnya untuk mendukung petani yang ingin beralih dari menanam tembakau menjadi menanam tanaman pangan. Percontohan skema tersebut di Kenya telah terbukti berhasil dan sekarang mereka ingin mengekspornya ke negara dan benua lain.
”Rekor 349 juta orang menghadapi kerawanan pangan akut dan itu naik dari 135 juta pada 2019,” kata Ruediger Krech, Direktur Promosi Kesehatan WHO, kepada wartawan di Geneva, Swiss, sebagaimana dilaporkan AFP, Jumat (26/5/2023).
Menurut Krech, saat ini terdapat 124 negara yang menanam tembakau sebagai tanaman komersial, mencakup sekitar 3,2 juta hektar lahan. Sekitar 200.000 hektar lahan dibuka setiap tahun untuk menanam tanaman tembakau.
Menurut WHO, pijakan perusahaan produk tembakau di Afrika justru meningkat dengan peningkatan hampir 20 persen sejak tahun 2005. ”Sering dikatakan bahwa pertanian tembakau akan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Ini adalah mitos yang harus segera kita hilangkan,” kata Krech.
Dia mengatakan, itu hanya menyumbang lebih dari 1 persen dari produk domestik bruto di lima negara Afrika, yaitu Malawi, Mozambik, Zimbabwe, Tanzania, dan Macedonia Utara. ”Jadi, keuntungannya masuk ke perusahaan tembakau global,” ujar Krech.
Jebakan ketergantungan
Menurut WHO, industri tembakau menjebak petani dalam ”siklus ketergantungan” sehingga memberi mereka sedikit kendali atas harga dan kualitas produk. ”Mereka terjebak. Mereka harus membayar utang sebelum mereka dapat menghentikan pekerjaan untuk tembakau besar,” kata Krech.
Tiga badan PBB—WHO, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan Program Pangan Dunia (WFP)—telah menyiapkan program kredit untuk membantu petani melunasi utang mereka pada industri tembakau dan mengganti hasil panen mereka.
Ingat, 1,3 juta anak bekerja di ladang tembakau.
Skema tersebut diluncurkan di Migori di barat daya Kenya, di mana 2.040 petani telah dibantu pada tahun pertama. Menurut Krech, hal ini adalah alternatif yang layak karena menghasilkan keuntungan tiga kali lipat.
Mereka sudah beralih menanam kacang yang mengandung zat besi tinggi. Pergeseran dari penanaman ini juga berarti anak-anak bisa pergi ke sekolah daripada menanam tembakau. ”Ingat, 1,3 juta anak bekerja di ladang tembakau,” katanya.
Krech mengatakan, konsep tersebut telah terbukti pada tahun pertama dan diharapkan ada sekitar 5.000 petani—4.000 di Kenya dan 1.000 di Zambia—pada akhir musim berikutnya turut bergabung. ”Dari situ kita akan pindah ke negara lain di Asia dan Amerika Selatan karena di situlah pertumbuhan tembakau yang besar masih terjadi,” ujarnya.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyampaikan, tembakau bertanggung jawab atas delapan juta kematian per tahun, tetapi pemerintah di seluruh dunia menghabiskan jutaan dollar untuk mendukung pertanian tembakau.
”Dengan memilih untuk menanam pangan daripada tembakau, kami memprioritaskan kesehatan, melestarikan ekosistem, dan memperkuat ketahanan pangan untuk semua,” katanya.
Selain berdampak terhadap perokok, menurut WHO, setidaknya seperempat dari semua petani tembakau mengidap apa yang disebut ”penyakit tembakau hijau” atau keracunan nikotin yang mereka serap melalui kulit. Petani yang menangani daun tembakau sepanjang hari mengonsumsi nikotin setara dengan 50 batang rokok sehari.
Meracuni planet
Laporan WHO berjudul ”Tobacco: Poisoning Our Planet” yang dirilis tahun lalu telah memperlihatkan dampak buruk industri tembakau terhadap lingkungan hidup. Industri ini disebut bertanggung jawab atas hilangnya sekitar 600 juta pohon setiap tahun atau 5 persen dari deforestasi global, untuk penanaman dan produksi tembakau di lahan seluas 200.000 hektar dan 22 miliar ton air setiap tahun.
Menurut perhitungan WHO, industri tembakau telah mengeluarkan sekitar 84 juta ton karbon dioksida. Selain itu, produk tembakau adalah barang yang paling banyak dikotori di planet ini, mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia beracun, yang menjadi sumber limbah berbahaya bagi lingkungan. Menurut laporan ini, sekitar 4,5 triliun puntung rokok saat ini berakhir di lautan, sungai, trotoar, dan pantai setiap tahun yang dapat mencemari 100 liter air.
Bahaya puntung rokok terhadap lingkungan ini disampaikan para peneliti dari University of Gothenburg, Swedia, baru-baru ini. ”Filter (puntung rokok) penuh dengan ribuan bahan kimia beracun dan serat mikroplastik, jadi bukan sembarang plastik yang dibuang ke lingkungan. Itu limbah berbahaya,” kata Bethanie Carney Almroth, profesor ekotoksikologi di Universitas Gothenburg dalam keterangan tertulis, Rabu (3/5/2023).
Dalam studi yang telah dipublikasikan jurnal Microplastics and Nanoplastics, Carney Almroth dan tim menguji efek racun yang terdapat pada puntung rokok serta zat yang ada pada filter terhadap jentik nyamuk.
Setelah pemaparan selama 48 jam, konsentrasi dua filter per liter, baik yang bekas dibakar maupun yang tidak, masing-masing menyebabkan 36-100 persen dan 75-100 persen imobilitas larva.
”Larva (jentik nyamuk) yang terpapar sedimen yang terkontaminasi (filter yang dibakar dan tidak dibakar) menunjukkan lebih dari 20 persen kematian lebih tinggi, penurunan pertumbuhan 1,5 kali lipat, dan 80 persen penurunan perkembangan dibandingkan dengan larva dalam kondisi kontrol,” tulis Therese Nitschke, peneliti dari University of Gothenburg yang jadi penulis pertama hasil studi ini.