Transportasi dan fasilitas umum belum sepenuhnya inklusif, khususnya bagi penyandang disabilitas. Terbatasnya aksesibilitas bakal menghambat kemandirian mereka.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang penyandang disabilitas dibantu petugas stasiun mengakses kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Cawang, Jakarta pada Jumat (26/5/2023).
Di tengah hiruk-pikuk para pekerja Ibu Kota yang ingin cepat-cepat pulang usai ngantor, Muhtadin Mustafa (29) dengan sabar meniti beberapa anak tangga dengan kruk di muka Stasiun Cawang, Jakarta, Jumat (26/5/2023) petang. Rickets atau rakitis (tulang melemah akibat defisiensi vitamin D) membuat jalannya tak bisa cepat. Tangga dan jalan yang tak rata juga menghambat langkahnya.
Setibanya di gerbang stasiun, aparatur sipil negara ini langsung dihampiri petugas dan ditanyai stasiun yang hendak dituju. Petugas lain lantas mendampingi Muhtadin, membantunya masuk ke gerbong kereta rel listrik (KRL), memastikan ia dapat tempat duduk, dan mengantarnya hingga Stasiun Manggarai.
Ada petugas lain yang membantu Muhtadin di stasiun transit tersebut. Mereka membuka jalan buat Muhtadin saat gelombang manusia merangsek keluar-masuk gerbong, memastikan ia dapat tempat di lift, dan membantunya membeli tiket kereta bandara menuju Stasiun Batu Ceper, Tangerang.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Penyandang disabilitas mengakses tangga yang ada di pintu Stasiun Cawang, Jakarta, pada Jumat (26/5/2023). Minimnya jalur landai (ramp), lantai pemandu bagi tunanetra (guiding block), atau fasilitas lain seperti penanda tempat berbasis audio kerap menghambat penyandang disabilitas untuk mengakses fasilitas dan transportasi umum.
Menurut Muhtadin, pelayanan bagi penyandang disabilitas di transportasi umum sudah baik. Walakin, infrastruktur pendukungnya masih perlu diperhatikan. Ia mencontohkan, difabel perlu jalur penghubung untuk menghindari celah peron dengan gerbong kereta. Celah itu bisa membahayakan pengguna kereta.
Jalur landai atau ramp yang ramah disabilitas juga tidak selalu tersedia di stasiun, halte, maupun jembatan penyeberangan orang (JPO). Walaupun ada, ramp tidak selalu bisa diakses karena terlalu curam sehingga publik mesti naik tangga. Beberapa tempat menyediakan lift untuk kelompok prioritas, tetapi tidak semuanya berfungsi. Ada pula lift yang beroperasi hanya di jam tertentu.
”Saya sudah skip pakai bus karena harus naik JPO. Naiknya capek, turunnya juga capek,” kata Muhtadin.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Penyandang disabilitas dibantu petugas stasiun untuk mengakses kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Cawang, Jakarta pada Jumat (26/5/2023). Celah antara peron dan gerbong kereta kerap jadi perhatian penyandang disabilitas karena menyulitkan mereka untuk naik kereta, serta dapat membahayakan mereka.
Menurut Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus, fasilitas publik mesti saling terhubung, baik trotoar, transportasi umum, maupun akses ke gedung-gedung sekitar. Dengan demikian, fasilitas umum baru bisa disebut inklusif. Namun, hal itu belum tercapai hingga kini.
Adapun belum semua trotoar bisa diakses penyandang disabilitas. Ada trotoar yang miring atau bergelombang sehingga sulit dilalui pengguna kursi roda. Ada pula trotoar yang diokupansi parkir liar kendaraan bermotor atau pedagang kaki lima.
Ada lagi trotoar dengan lantai pemandu (guiding block) yang terhalang berbagai rintangan seperti pohon, ranting, tiang, atau bahkan anak tangga yang ada di atas kepala. Rintangan-rintangan itu bisa melukai para penyandang disabilitas.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Pengguna kursi roda dibantu pendampingnya untuk mengakses trotoar di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (1/3/2023). Kala itu ada belasan penyandang disabilitas yang antara lain terdiri dari pengguna kursi roda, tunanetra, dan orang tuli menyusuri Jakarta dari Stasiun MRT Dukuh Atas ke Stasiun MRT ASEAN untuk memperingati Hari Kursi Roda Internasional 2023.
Di sisi lain, trotoar belum sepenuhnya terhubung dengan transportasi umum, bahkan akses masuk gedung sekitar. Hal tersebut tidak hanya menghambat aksesibilitas difabel, tetapi juga kemandirian dan pemberdayaan mereka.
”Mestinya pemerintah provinsi, kementerian, dan kota-kota lain bisa belajar bagaimana menerapkan desain universal di Indonesia,” kata Alfred. ”Jangan mengungkung kemerdekaan disabilitas dengan tidak memberi mereka fasilitas,” tambahnya.
Penyandang disabilitas juga perlu dilibatkan dalam perencanaan, perancangan, hingga pembangunan fasilitas publik.
Adapun implementasi desain universal dapat mengacu ke Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 03/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.
Penyandang disabilitas juga perlu dilibatkan dalam perencanaan, perancangan, hingga pembangunan fasilitas publik. Sebelumnya, pelibatan difabel minim karena publik maupun negara memandang mereka tidak mampu berpartisipasi dalam pembangunan.
Setelah meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD), Indonesia mengubah penanganan difabel dari basis belas kasihan (charity based) menjadi hak asasi manusia (HAM). Ini berarti difabel dipandang sebagai subyek yang setara dengan WNI lain. Hal ini dikuatkan oleh UU Penyandang Disabilitas.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah anggota gerakan Penyandang Disabilitas dan Lanjut Usia Indonesia menyeberang di kawasan Dukuh Atas, Jakarta menuju Stasiun MRT saat memperingati Hari Kursi Roda Internasional 2023, Rabu (1/3/2023).
Pendiri Organisasi Handicap Indonesia (Ohana) Risnawati Utami, pada Kamis (23/2/2023), mengatakan, aksesibilitas yang inklusif dan terencana sejak awal dapat menghemat anggaran. Hal ini berlaku di pembangunan sektor apa pun, baik transportasi, gedung, maupun perumahan rakyat.
”Kalau sejak awal masuk perencanaan, itu (tambahan biaya pembangunan) hanya satu persen dari total cost. Kalau (aksesibilitas) ditambah saat bangunan jadi, (biaya pembangunannya) jadi lebih mahal hingga 20 persen,” katanya pada diskusi daring Kolaborasi Penyediaan Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas dalam Transportasi Publik.
Dorong kemandirian
Atlet bola voli duduk di Bandung sekaligus pengguna kursi roda, Djumono, berpendapat bahwa fasilitas umum yang inklusif tidak hanya membantu mobilitas, tapi juga kemandirian difabel. Ia dulu mengandalkan angkot untuk bepergian. Moda transportasi ini tidak selalu mudah karena ia mesti merangkak untuk naik-turun angkot. Ia juga mesti membayar ongkos dua kali lipat karena kursi rodanya memakan tempat di dalam angkot.
Setelah memiliki sepeda motor roda tiga, ia bebas pergi ke kantor, ikut kegiatan organisasi, hingga berlatih voli sendiri. Djumono bahkan pernah sampai Garut, Indramayu, Bogor, Purwakarta, hingga Jakarta dengan motor itu.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pemain timnas Perkumpulan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI) mengendarai sepeda motor roda tiga melewati gang sempit di mes tempat mereka menjalani pelatihan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (31/3/2022).
Anggota Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jaka Anom Ahmad Yusuf mengatakan, transportasi umum penting agar ia bisa berpindah tempat dengan biaya terjangkau. Dalam sehari, ia bisa mengeluarkan ongkos sekitar Rp 30.000 untuk perjalanan pulang-pergi dari kantor ke rumahnya di Jakarta. Jika menggunakan taksi, ia harus merogoh kocek hingga Rp 140.000.
”Menurut saya transportasi umum itu murah dan worth it. Sebagai tunanetra, saya tidak bisa bawa kendaraan sendiri, sementara saya tidak bisa bergantung terus ke keluarga. Pilihan satu-satunya adalah kendaraan umum,” kata Jaka yang juga komika dengan nama panggung Blindman Jack.
Akses inklusif juga memberi ruang bagi difabel untuk bekerja, keluar dari risiko kemiskinan, bahkan berpartisipasi ke pembangunan. Menurut Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Maliki, difabel berusia produktif harus diberi sarana dan prasarana yang mendukung produktivitas.
”Ini berpengaruh ke tingkat kemiskinan mereka yang jadi relatif tinggi. Tingkat kemiskinan kita di angka 9,75 persen pada 2022, sementara penyandang disabilitas 13,25 persen,” kata Maliki (Kompas.id, 24/2/2023).