Penggunaan Kecerdasan Buatan untuk Perangi Hoaks Perlu Perhatikan Etika
Pemanfaatan kecerdasan buatan dalam memerangi hoaks perlu memperhatikan etika untuk memastikan hasil yang komprehensif.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
AP/TIMOTHY D EASLEY
William Kelley mencoba "Menemukan Bot" di kelas Donnie Piercey di Stonewall Elementary di Lexington, Ky., Senin, 6 Februari 2023. Siswa di kelas masing-masing merangkum teks tentang juara tinju dan ikon Kentucky, Muhammad Ali, kemudian mencoba cari tahu ringkasan mana yang ditulis oleh teman sekelas dan mana yang ditulis oleh chatbot. Chatbot adalah alat kecerdasan buatan baru ChatGPT, yang dapat menghasilkan semuanya, mulai dari esai hingga makalah, dalam hitungan detik.
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi kecerdasan buatan atau AI bisa menjadi alat penjernih fakta di tengah informasi yang kian tidak terkontrol pada berbagai platform digital. Namun, dalam pemanfaatan teknologi ini perlu memperhatikan etika dan akurasi agar terobosan tersebut tidak justru membuat informasi semakin kabur.
”Dalam kerja pengecekan informasi yang digunakan oleh media mainstream (arus utama) sangat butuh AI, apalagi dengan kompleksitas informasi yang beredar saat ini,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia Ika Ningtyas saat acara ”Cek Fakta dengan AI” dengan Binus International University di Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Pengembang AI juga perlu memperhatikan jenis pelabelan yang lebih inklusif.
Dalam acara ini, tim peneliti Binus International University memperkenalkan teknologi AI yang sedang dikembangkan untuk mendeteksi kebenaran informasi. Salah satu penelitinya, Nunung Nurul Qomariyah, menjelaskan, AI yang sedang dikembangkan merupakan sistem yang berbasis situs web. Dalam pengecekan fakta dengan melibatkan bidang ilmu pemrosesan bahasa alami (natural language processing).
NASRUN KATINGKA
Diskusi pemanfaatan kecerdasan buatan dalam pengecekan fakta oleh Binus International University, Aliansi Jurnalis Independen, dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) di Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Dengan proses kerja tersebut, AI bisa mendeteksi sebuah informasi, baik dari judul maupun naskah berita, yang diolah dengan algoritma menjadi pelabelan ”fakta” dan ”hoax” dalam persentase angka. Persentase tersebut diolah AI secara matematis berdasarkan data informasi yang berasal dari sumber-sumber berita arus utama.
”Referensi tools yang kami gunakan dari media-media mainstream pencari fakta sebelumnya yang telah lebih dulu ada. Namun, ini masih prototipe, untuk menyempurnakannya, kami perlu masukan dari berbagai pihak,” ujar Nurul.
Sementara itu, Ika menyambut baik kehadiran AI untuk membantu menangkal informasi hoaks yang beredar di platform-platform digital. Dilatarbelakangi keterbatasan sumber daya manusia pencari fakta, Ika berharap kehadiran akademisi dan peneliti yang kompeten akan membantu membendung arus informasi yang salah.
Namun, menurut Ika, dalam penggunaan yang lebih luas, pengembang AI perlu memperhatikan etika dalam pemanfaatan kecerdasan buatan. Dia menekankan agar pengembang berpedoman pada etika yang telah diluncurkan UNESCO pada November 2021. Dalam beberapa etika yang dianjurkan, UNESCO menekankan pada hak privasi, perlindungan data pribadi, dan transparansi cara kerja AI.
DOKUMENTASI KEMENDIKBUDRISTEK
Presiden Joko Widodo melihat salah satu inovasi dari pendidikan vokasi Indonesia yang bermitra dengan industri di ajang pameran Hannover Messe di Jerman, beberapa waktu lalu. Ketua tim peneliti UGM, Agustinus Winarnov (paling kanan), menjelaskan, pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan untuk mendeteksi keretakan rem di industri otomatif.
Lebih luas, rekomendasi UNESCO tersebut memandu negara-negara dalam memaksimalkan manfaat dari kecerdasan buatan sekaligus meminimalkan risiko-risikonya. Rekomendasi tidak hanya memuat nilai dan prinsip, tetapi juga memberikan rekomendasi kebijakan terperinci di semua bidang yang relevan.
Kerangka kerja tersebut dikeluarkan karena UNESCO prihatin dengan banyaknya masalah etika yang muncul dalam penggunaan kecerdasan buatan. Sebut saja, misalnya, diskriminasi dan stereotip, ketidaksetaraan jender, dan disinformasi. Ada juga persoalan yang menyerang hak privasi, perlindungan data pribadi, serta hak asasi manusia dan lingkungan (Kompas, 2/4/2023).
Ika melanjutkan, pengembang AI juga perlu memperhatikan jenis pelabelan yang lebih inklusif. Pelabelan yang diberikan jangan sampai justru mendiskriminasi, apalagi jika tidak diiringi dengan proses kerja yang transparan. ”Hasil dari pelabelan yang dilakukan harus komprehensif, tidak justru menjadi alat diskriminasi yang akan membuat stigma dan sekat di masyarakat semakin lebar,” ucapnya.
Senada dengan Ika, Direktur Divisi Akses Internet Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Unggul Sagena mengatakan, pengembang AI perlu memperhatikan hak-hak pengguna. Pengembang AI harus transparan dalam proses kerja yang dipakai. Apalagi banyak data yang dikumpulkan, termasuk dari pengguna.
”Dengan demikian, perlu regulasi jelas yang mengatur privacy by design dari pengembang AI sehingga pengguna turut mendapatkan perlindungan data pribadi,” kata Unggul.