Penanganan Limbah Medis di Fasilitas Kesehatan Perlu Terobosan
Puskesmas dianggap sebagai fasilitas kesehatan yang perlu dapat perhatian agar bisa mengelola limbah medis.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan limbah medis masih perlu perhatian meskipun darurat pandemi Covid-19 telah dicabut. Apalagi, saat ini masih banyak fasilitas kesehatan yang belum bisa mengelola limbah medis kategori bahan berbahaya dan beracun atau B3. Penerapan sirkular ekonomi pengolahan limbah diharapkan bisa menjadi jalan keluar.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023 mengatur persyaratan teknis pengelolaan limbah dan pengawasan terhadap limbah yang berasal dari fasilitas kesehatan. Pada Pasal 24 disebutkan, semua fasilitas kesehatan wajib melakukan pengolahan limbah medis dan nonmedis yang dihasilkan.
”Saat ini hampir semua rumah sakit telah memiliki pengolahan limbah B3 mandiri, sedangkan untuk puskesmas masih belum optimal,” kata Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Anas Ma’ruf saat webinar ”Sirkular Ekonomi dan Kebijakan Pengolahan Limbah Medis”, Rabu (24/5/2023).
Anas menjelaskan, mayoritas rumah sakit di Indonesia telah mempunyai tempat penampungan sementara limbah medis yang menjadi syarat pendirian fasilitas kesehatan tersebut. Adapun dari 10.292 unit puskesmas di Indonesia, masih banyak yang bergantung kepada pihak ketiga sebagai penampung limbah medis sementara. Intensitas penanganan yang kurang baik berpotensi membuat limbah medis mencemari lingkungan.
Berdasarkan catatan Kompas, pada 2021, pengolahan limbah medis nasional hanya mampu mengolah maksimal 458,5 ton limbah medis per hari. Jumlah timbulan limbah medis yang dihasilkan oleh rumah sakit diperkirakan 383 ton per hari.
Jumlah di atas belum menghitung limbah medis yang dihasilkan oleh perorangan. Jumlah ini tidak dapat ditangani maksimal oleh fasilitas pengolahan karena keberadaannya yang lebih dari 70 persen terpusat di Pulau Jawa (Kompas, 2/8/2022).
Menurut Anas, limbah medis perlu dikelola sebagai bentuk efisiensi serta untuk mengindari pencemaran lingkungan. Adapun sirkulasi ekonomi dilihat sebagai terobosan untuk menciptakan efisiensi sekaligus bisa bernilai ekonomi. Selain untuk mengurangi timbulan volume sampah, sirkulasi ini sekaligus bisa menghindari praktik daur ulang limbah B3 secara ilegal.
Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus haryono mengungkapkan, dalam penelitian yang dilakukan pada 2021, ditemukan banyak limbah medis berbahan dasar plastik jenis polypropylene. Jenis ini biasanya digunakan untuk masker medis, sarung tangan, penutup kepala, dan lain sebagainya.
”Sebagian besar limbah medis ini digunakan sekali pakai sehingga berpotensi menjadi sumbangsih timbulan sampah harian,” ucap Agus.
Dengan metode yang cukup sederhana dan valuasi ekonomi yang cukup menjanjikan, ini menarik untuk diterapkan. Fasilitas kesehatan bisa bekerja sama dengan pihak ketiga.
Agus menyebutkan, dalam penelitian tersebut, pemurnian limbah medis cukup sederhana dengan cara rekristalisasi ke bentuk awal virgin polypropylene. Proses sirkulasi tersebut dengan sterilisasi limbah medis menggunakan antipelarut, baik etanol maupun metanol.
Setelah murni menjadi biji polypropylene, limbah medis bisa langsung diolah menjadi produk. Aplikasi dari polypropylene bisa digunakan untuk kemasan makanan, suku cadang di berbagai industri, perangkat khusus, tekstil, serta kembali menjadi perlengkapan medis.
”Dengan metode yang cukup sederhana dan valuasi ekonomi yang cukup menjanjikan, ini menarik untuk diterapkan. Fasilitas kesehatan bisa bekerja sama dengan pihak ketiga,” kata Agus.
Direktur Pengelolaan Limbah B3 dan Non-B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Achmad Gunawan Widjaksono mendukung adanya sirkulasi ekonomi pada pengelohan limbah medis. Selain itu, keikutsertaan pihak ketiga dan masyarakat diperlukan untuk memasifkan pengurangan limbah medis. Namun, menurut Gunawan, bagi kelompok masyarakat yang ingin berpartisipasi perlu memperhatikan sejumlah hal.
Jika merujuk Permen LHK Nomor 6 Tahun 2021, kelompok masyarakat yang ingin mengelola limbah dari fasilitas kesehatan harus terlebih dahulu berbadan hukum. Setelah itu, kelompok masyarakat memerlukan persetujuan teknis dari KLHK.
”Memang agak rumit, tetapi hal itu perlu dilakukan untuk menghindari pengelolaan yang tidak sesuai standar yang justru bisa membahayakan lingkungan sekitar,” kata Gunawan.