Menghitung Penyempitan Zona Kehidupan akibat Perubahan Iklim
Dua miliar orang berisiko terpapar panas yang melebihi ”relung iklim manusia” pada akhir abad ini. Indonesia berada di urutan ketiga yang jumlah penduduknya paling banyak terpapar.
Suhu global yang terus memanas bakal mempersempit ruang hidup manusia di bumi. Dengan proyeksi kenaikan suhu bumi hingga 2,7 derajat celsius pada akhir abad ini, peneliti telah menghitung setidaknya 2 miliar orang bakal tinggal di zona yang terlalu panas dan sulit untuk ditinggali.
Indonesia berada di urutan ketiga negara dengan jumlah penduduk paling berisiko terpapar kenaikan suhu global ini, yaitu lebih dari 100 juta orang bakal tinggal di luar ”relung iklim manusia”.
Relung iklim manusia tersebut didefinisikan sebagai tempat dengan suhu rata-rata 13 derajat celsius di subtropis atau 27 derajat celsius untuk tropis. Populasi manusia secara historis memuncak di daerah-daerah ini dan di luar zona suhu ini tergolong ekstrem sehingga sulit untuk ditinggali.
Temuan ini dipublikasikan Timothy M Lenton dari Global Systems Institute, University of Exeter, Inggris, dan Chi Xu dari School of Life Sciences, Nanjing University, China, serta tim di jurnal Nature Sustainability, Senin (22/5/2023).
”Kerugian akibat perubahan iklim lebih sering diperkirakan dalam bentuk uang, tetapi hal ini menimbulkan masalah etika. Di sini, kami mengungkapkan (kerugian) dalam bentuk jumlah orang yang tertinggal di luar ’relung iklim manusia’,” tulis Lenton dan tim dalam tulisan ilmiahnya.
Dalam kajian ini, Lenton menghitung jumlah orang yang tertinggal di luar ”relung iklim manusia” pada tahun 2100. Kondisi saat ini, dengan peningkatan suhu global lebih dari 1,1 derajat celsius dibandingkan rata-rata pra-industri (1800-1850), Lenton dan tim telah
menunjukkan bahwa 9 persen populasi dunia atau lebih dari 600 juta orang berada di luar relung iklim. Mereka telah terpapar panas yang belum pernah dialami sebelumnya.
Lenton dan tim kemudian menghitung jumlah orang di luar ”relung iklim manusia” di bawah skenario demografis dan tingkat pemanasan yang berbeda di masa depan. Paparan panas yang belum pernah terjadi sebelumnya ini termasuk suhu rata-rata lebih besar atau sama dengan 29 derajat celsius serta jumlah hari yang tinggi dengan suhu maksimum di atas 40 derajat celsius atau di tempat lembab dengan suhu bola basah minimal 28 derajat celsius.
Baca juga: Asia Terpanggang Panas Ekstrem, Suhu Tertinggi Indonesia Tercatat di Ciputat
Suhu bola basah, berlawanan dengan suhu bola kering standar, mencerminkan kelembapan dan merupakan metode yang digunakan untuk mengukur tekanan panas. Sebab, pada saat itulah keringat tidak lagi efektif sebagai alat pendinginan. Lenton mengatakan, suhu bola basah 35 derajat celsius bisa berakibat fatal, terutama bagi orang yang rentan, karena tubuh tidak bisa lagi bisa mendinginkan dirinya sendiri.
Para peneliti menghitung,bumi akan dihuni sekitar 9,5 miliar orang pada akhir abad ini.
Dengan kebijakan penurunan emisi saat ini, para peneliti memproyeksikan suhu global akan meningkat 2,7 derajat celsius pada tahun 2080–2100. Hal ini akan menyebabkan sepertiga populasi dunia (22-39 persen atau 2 miliar hingga 3,7 miliar penduduk bumi) bakal terpapar panas yang tidak pernah dialami sebelumnya hingga melebihi relung iklim.
Mengurangi penambahan suhu global dari 2,7 derajat celsius menjadi 1,5 derajat celsius bakal menurunkan lima kali lipat populasi yang terpapar panas yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu suhu rata-rata tahunan di atas atau sama dengan 29 derajat celsius.
Di sini, kami mengungkapkan (kerugian) dalam bentuk jumlah orang yang tertinggal di luar ’relung iklim manusia’.
Level negara
Para peneliti kemudian memproyeksikan populasi berisiko ini di level negara. India diprediksi bakal memiliki populasi terbesar yang terpapar pemanasan global di bawah rezim kenaikan suhu 2,7 derajat celsius, yaitu mencapai 600 juta jiwa. Jumlah ini akan berkurang menjadi 90 juta jiwa jika kenaikan suhu global bisa ditekan hingga 1,5 derajat celsius.
Nigeria memiliki populasi terbesar kedua yang terpapar panas ekstrem, yaitu lebih 300 juta, jika pemanasan global bertambah 2,7 derajat celsius. Jumlah populasi yang berisiko terpapar suhu ekstrem bakal berkurang menjadi sekitar 40 juta jiwa jika suhu bisa ditekan 1,5 derajat celsius.
Para peneliti juga menghitung, Indonesia bakal berada di peringkat ketiga yang paling terdampak dengan lebih dari 100 juta penduduk berisiko jika kenaikan suhu mencapai 2,7 derajat celsius. Jumlah populasi yang berisiko terpapar ini akan berkurang lima kali lipat jika kenaikan suhu bisa ditekan 1,5 derajat celsius.
Temuan ini menggarisbawahi pentingnya upaya global untuk menekan kenaikan suhu global agar tidak melebihi 1,5 derajat celsius. Namun, laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada Rabu (17/5/2023) menunjukkan, ada kemungkinan 66 persen bahwa rata-rata tahunan suhu global di dekat permukaan antara tahun 2023 dan 2027 akan lebih dari 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri selama setidaknya satu tahun. Ada kemungkinan 98 persen bahwa setidaknya satu dari lima tahun ke depan, dan periode lima tahun secara keseluruhan, akan menjadi rekor terpanas.
Risiko kesehatan
Annabelle Workman dan Kathryn Bowen Melbourne Climate Futures and Melbourne School of Population and Global Health, The University of Melbourne, menanggapi temuan ini dalam tulisannya di The Conversation pada Selasa (23/5/2023) dari aspek kesehatan. Menurut mereka, panas yang ekstrem dapat memiliki efek langsung pada tubuh, seperti dehidrasi dan heat stroke.
Kelompok yang paling berisiko termasuk orang lanjut usia dan mereka yang sudah tidak sehat. Menurut mereka, panas yang ekstrem juga dapat membahayakan kesehatan mental, meningkatkan tingkat cedera dan kematian dengan memperparah penyakit mental yang sudah ada. Di luar efek langsung, panas dapat berdampak pada kesehatan dengan, misalnya, memengaruhi produktivitas pertanian, keamanan air, dan kualitas udara.
Keduanya juga menyebut adanya batasan fisiologis untuk adaptasi, terutama terhadap panas. Batasan ini dapat memiliki konsekuensi negatif terhadap produktivitas tenaga kerja, terutama bagi pekerja luar ruangan, peningkatan rawat inap, kunjungan unit gawat darurat, dan panggilan ambulans.
Baca juga: Menjaga Suhu Tubuh di Tengah Hawa Panas
Indonesia sebenarnya telah mengalami dampak buruk kenaikan suhu ini terhadap kesehatan. Laporan penelitian Nicholas H Wolff dari the Nature Conservancy dan tim di jurnal Lancet Planetary Health pada September 2021 menyebutkan, kenaikan suhu di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang mencaai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun dikaitkan dengan meningkatnya risiko kematian dini di populasi hingga 8 persen. Jumlah kematian tambahan di Berau dari semua penyebab akibat kenaikan suhu ini mencapai 101-118 orang pada tahun 2018.
Sementara itu, Ike Anggraini dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman, Samarinda, dan tim di jurnal Global Environmental Change pada 2019 menyebutkan, kenaikan suhu di Berau telah menurunkan produktivitas masyarakat. Petani harus berangkat kerja setelah subuh dan pukul 10.00 harus pulang untuk istrirahat karena suhu terlalu panas dan baru kembali setelah pukul 14.00. Jeda produktivitasnya menjadi lebih sedikit karena waktu istirahat makin banyak.
Serangkaian penelitian dan proyeksi dari para peneliti ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan dalam perencanaan pembangunan kita ke depan. Lebih lagi, situasi ini seharusnya menggerakkan semua pihak untuk menekan laju emisi agar kenaikan suhu tidak jauh melebihi ambang 1,5 derajat celsius sehingga zona kehidupan di bumi di masa depan tidak semakin menyempit.