Penderita Tengkes Berisiko Mengalami Diabetes Saat Dewasa
Saat ini, banyak anak muda terkena penyakit diabetes, jantung, atau penyakit saraf. Berdasarkan penelitian, tengkes dapat berkontribusi dalam terjadinya penyakit tersebut.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak balita yang terkena tengkes berisiko mengalami beberapa penyakit, seperti diabetes dan jantung, saat usia dewasa. Pencegahan tengkes pada anak balita berusia lebih dari dua tahun diperlukan untuk mencegah gangguan metabolik pada puluhan tahun ke depan.
Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Annisa Banjarmasin Arief Budiarto mengatakan, pencegahan tengkes pada anak balita berusia di bawah dua tahun masih dapat menyelamatkan fungsi kognitif otak anak. Sementara pencegahan tengkes pada anak balita berusia lebih dari dua tahun tidak lagi berbasis pada pencegahan otak, tetapi mencegah gangguan metabolik pada 20-30 tahun ke depan.
”Jika pada usia 2-5 tahun anak mengalami tengkes, dokter harus tetap menanganinya karena berpotensi mengakibatkan gangguan oksidasi lemak. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit kronik di masa dewasa,” kata Arief pada bincang Penanggulangan Stunting dalam rangka Hari Bakti Dokter Indonesia ke-155, Kamis (18/5/2023).
Saat ini, banyak anak muda terkena penyakit diabetes, jantung, atau penyakit saraf. Berdasarkan penelitian, tengkes dapat berkontribusi dalam terjadinya penyakit tersebut. Jika anak yang dalam masa tumbuh kembang kurang gizi, ia dapat mengalami masalah pada perkembangan sistem hormon insulin dan glukagon pada pankreas yang mengatur keseimbangan dan metabolisme glukosa.
Pada saat dewasa, jika asupan kalorinya berlebihan, keseimbangan gula darah lebih cepat terganggu sehingga pembentukan jaringan lemak tubuh lebih mudah. Oleh sebab itu, anak yang terkena tengkes rentan menderita diabetes.
Arief melanjutkan, deteksi dini pada bayi sangat diperlukan. Meskipun tengkes terjadi karena adanya kekurangan gizi kronik pada anak, tidak semua anak yang berperawakan pendek tidak mesti terkena tengkes.
”Deteksi dini untuk mengetahui terjadinya tengkes sangat diperlukan. Tengkes tidak terjadi secara tiba-tiba, pasti ada penyebab dan tandanya. Salah satu tandanya ialah weight faltering dan biasanya terjadi saat usia anak tiga bulan,” ujar Arief.
Arief menyampaikan, weight faltering merupakan kenaikan berat badan yang tidak cukup, yaitu di bawah rata-rata dari kenaikan berat badan minimal setiap bulannya. Kondisi ini dapat menghambat perkembangan fungsi kognitif anak.
Anak balita yang berisiko terkena tengkes harus ditindak lanjuti melalui pencegahan primer terlebih dahulu. Pencegahan primer mengenai tengkes dimulai dari posyandu.
Penyebab weight faltering bisa berbagai macam, mulai dari pola pemberian ASI, pemberian makanan tambahan terlalu dini, hingga pemberian makanan tambahan yang sangat rendah protein. Menurunkan pemberian ASI akan berdampak pada berkurangnya asupan gizi anak dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Selain itu, buruknya sanitasi dan perawatan kesehatan anak juga dapat memengaruhi weight faltering.
Meskipun ASI merupakan makanan tunggal untuk bayi, orangtua harus mampu mengevaluasi kecukupan ASI. Berdasarkan penelitian Dewey dan Brown, pada usia enam bulan kandungan, ASI hanya mengandung 80 persen protein dan 21 persen seng dari kebutuhan bayi. Oleh sebab itu, WHO 2023 merekomendasi pemberian MPASI untuk melengkapi kekurangan zat gizi ASI pada bayi usia enam bulan.
Arief melanjutkan, 80 persen anak balita berisiko tengkes karena terjadi masalah saat masa janin. Oleh sebab itu, keterlibatan dokter umum dan dokter spesialis obstetri dan oinekologi (obgyn) juga sangat diperlukan. Bayi yang lahir dengan panjang badan kurang dari 46,1 cm untuk laki-laki dan 45,4 cm untuk perempuan harus segera dirujuk dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah (RSUD). Begitu pun bayi yang lahir prematur kurang dari 37 minggu.
Sementara itu, anak balita yang berisiko terkena tengkes harus ditindaklanjuti melalui pencegahan primer terlebih dahulu. Pencegahan primer mengenai tengkes dimulai dari posyandu.
”Target kami sekarang bukan menyembuhkan tengkes, tetapi mencegah terjadinya tengkes baru. Sebagian besar kondisi tengkes tidak bisa diperbaiki. Setelah melihat gejala tengkes pada anak, orangtua dapat merujuk ke rumah sakit dan bertemu dokter anak. Kemudian, akan dicari penyebab dan cara terapinya,” tutur Arief.
Sanitasi dan air bersih
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menyampaikan, kasus tengkes merupakan permasalahan yang belum selesai. Masalah tengkes tidak dapat hanya diselesaikan pemerintah, tetapi perlu juga keterlibatan lintas sektor. Peran organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, serta pihak swasta sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia.
Menurut Sekretaris Jenderal PB IDI Ulul Albab, tidak hanya dokter anak dan kandungan yang bertanggung jawab dalam pencegahan tengkes. Perlu juga keterlibatan multiprofesi, seperti dokter umum, perawat, bidan, ahli kesehatan lingkungan, serta perbaikan sanitasi dan air bersih.
Peningkatan akses air bersih dan sanitasi layak merupakan salah satu langkah untuk mencegah tengkes. Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk akses sanitasi dan air bersih, dapat mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi.
Beberapa penyakit yang akibat air kotor ialah diare dan cacingan. Saat diare, banyak cairan dan mikronutrien yang terbuang dari dalam tubuh anak, salah satunya seng. Saat tubuh kekurangan seng, usus yang terganggu fungsinya selama diare tidak dapat diregenerasi kembali. Berdasarkan penelitian, kekurangan seng pada saat anak-anak dapat menyebabkan tengkes.