Mengapa agama mengajarkan bahwa Adam adalah manusia pertama sementara Charles Darwin mencetuskan teori evolusi untuk menjelaskan asal-usul manusia? Pertanyaan ini masih membekas pada diri Karlina Supelli hingga kini.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Saat masih kecil, perempuan filsuf dan astronom Karlina Supelli punya pertanyaan yang masih membekas hingga saat ini. Mengapa agama mengajarkan bahwa Adam adalah manusia pertama sementara Charles Darwin mencetuskan teori evolusi untuk menjelaskan asal-usul manusia? Pertanyaan itu membawanya larut dalam pergulatan sains dan filsafat berbingkai pencarian makna kehidupan.
Sebanyak 13 esai yang dirangkum dalam buku berjudul Menemukan Allah dalam Sains dan Manusia merefleksikan dunia Karlina dan penjelajahan pencariannya. Refleksi memuat beragam sudut pandang, seperti kosmologi, epistemologi, filsafat teknologi, feminisme, filsafat kebudayaan, dan dialog keagamaan.
Buku setebal 406 halaman itu merupakan festschrift sekaligus kado bagi Karlina yang menginjak usia ke-65 tahun pada 15 Januari lalu. Lewat buku itu, 13 koleganya membagikan kekayaan pemikiran untuk memantik refleksi lebih jauh.
”Saya seperti becermin kembali. Dalam pergulatan intelektual, sejak awal bolak-balik mendalami sains dan filsafat,” ujarnya dalam peluncuran buku itu di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Sabtu (13/5/2023).
Karlina punya dua jawaban ketika ditanya mengapa mendalami sains dan filsafat. Jawaban pertama yang ia sebut sebagai jawaban publik, pendalaman sains akan sampai pada batasan tertentu yang maknanya diperoleh dalam filsafat.
Namun, ada pengalaman pribadi yang menyeretnya masuk menyelami filsafat. Saat menempuh program doktor bidang astronomi di University College of London, Inggris, Karlina mengalami sakit yang cukup serius. Kondisi itu membuatnya harus bolak-balik Indonesia-Belanda untuk berobat.
”Dalam momen itu, saya mengikuti kuliah filsafat Ibu Toeti Heraty (penulis dan filsuf Indonesia). Tidak ada salahnya juga belajar filsafat. Setelah menjalani itu semua, saya tidak pernah menyesal belajar filsafat,” katanya.
Filsafat membuka jalan memahami berbagai persoalan. Hal ini turut menggerakkan Karlina meminati isu-isu feminisme dan kemanusiaan. Kesadaran itu pula yang membawanya turun ke jalan pada 1998 untuk memprotes ketidakadilan pemerintah.
”Buku ini hadiah yang membangkitkan sukacita intelektual, kedalaman spiritual, dan kebahagiaan emosional bagi saya. Terima kasih untuk sahabat-sahabat semua,” ujarnya.
Sebanyak 13 penulis yang menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku ini membahas beragam isu berdasarkan bidang keahlian masing-masing. Tulisan Liek Wilardjo berjudul ”Simbut” menjadi pembuka yang membagikan pengalaman interpersonal dengan Karlina.
Liek pernah diminta membuat tulisan terkait dengan orasi kebudayaan Karlina di Maarif Institute. Ia pun menuliskan kenangannya saat berwisata ke Sungai Kongo di Afrika. Pusaran jeram di sungai itu begitu memukau sehingga membuatnya merasa tersihir.
”Perasaan terpesona oleh sihir itulah yang dialami mereka yang mendengar orasi kebudayaan Karlina Supelli, atau membaca teksnya, setidaknya oleh saya. Alur pikirannya lancar dan mulus, memesona, sehingga sulit untuk bisa mengikutinya dengan kritis, apalagi mengecamnya,” tulis Liek.
Filsafat membuka jalan memahami berbagai persoalan. Hal ini turut menggerakkan Karlina meminati isu-isu feminisme dan kemanusiaan. Kesadaran itu pula yang membawanya turun ke jalan pada 1998 untuk memprotes ketidakadilan pemerintah.
Heribertus Dwi Kristanto mengulas tentang agama, sains, dan filsafat. Dalam tulisannya, ia membahas model-model relasi agama dan sains, jejak persinggungan agama dan sains, serta filsafat sains dan agama.
”Dalam hidup manusia, sains dan agama sama-sama dibutuhkan. Sains seyogianya tidak tergesa-gesa menegasi yang supernatural atau tak perlu berpretensi mengetahui yang supernatural, mengingat itu berada di luar cakupan metode empirisnya,” tulisnya.
Adapun Franz Magnis-Suseno membuat tulisan berjudul ”Kucing Schrödinger dan Mengapa Agama Tidak Boleh Menyingkirkan Ilmu Pengetahuan”. Menurut dia, koleganya di STF Driyarkara itu mempunyai beberapa keunikan. Yang paling mencolok, Karlina merupakan satu-satunya filsuf di lembaga itu dengan keahlian ilmu astronomi.
Dalam tulisannya, Franz Magnis-Suseno menguraikan fisika pascatradisional mengenai topik alam raya antropik yang diangkat Karlina dalam disertasinya. Selain itu, ia juga menyinggung teori relativitas khusus (TRK) dan teori relativitas umum (TRU) Albert Einstein.
”Ruang dan waktu lekuk, artinya bentuknya tergantung dari adanya massa-massa berat. Tak mungkin ada ruang kosong dan waktu kosong. Geometri yang nyata-nyata berlaku tidak bersifat euklidis, geometri euklidis hanyalah salah satu kemungkinan,” jelasnya.
Festschrift tersebut ditutup dengan tulisan Simon Petrus Lili Tjahjadi. Tulisan berpola tanya-jawab ini menggali banyak hal tentang Karlina, mulai dari latar belakangnya mendalami filsafat, pandangannya terkait kontribusi sains terhadap teologi, hingga persoalan-persoalan yang menggerakannya meminati feminisme.
Adapun penulis lainnya yang berkontribusi dalam buku itu adalah Justinus Sudarminta, Adrianus Sunarko, Premana Wardayanti Permadi, Thomas Hidya Tjaya, Agustinus Setyo Wibowo, Antonius Sudiarja, Alexius Andang Listya Binawan, Francisia Saveria Sika Seda, dan Budi Hernawan.
Acara peluncuran buku juga disertai dengan diskusi. Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Prof Melani Budianta mengatakan, ke-13 penulis berbagi pengalaman mengenal dan berinteraksi dengan Karlina secara nyata, bukan sekadar membaca tulisan-tulisannya. Berdasarkan relasi intersubyektivitas, mereka membagikan pikirannya, yang dianggap paling berkaitan dengan sosok Karlina, sesuai dengan latar belakang dan kepakaran masing-masing.
”Karlina di sini adalah poros dari persembahan ke-13 tulisan. Ia berada di luar, tetapi gaungnya, atau pantulannya terbaca dalam refleksi para penulis,” katanya.
Menurut Melani, buku tersebut membukakan pengetahuan yang kaya karena cakupannya luas dan multidisiplin, dari aspek sains, fisika ke kosmologi, teologi, filsafat, sosiologi, sampai sastra dan ekonomi-politik. Selain itu, pembahasannya juga membuka dialog dan perspektif antar dan trans-disiplin atau keilmuan.
”Pembahasan seperti ini mengajak pembaca dari disiplin lain untuk lebih mudah memahami. Kerja pengeditan dengan apik membangun efek Karlina yang menjadi benang merah sumbangan kepakaran multidisiplin para penulis,” ujarnya.