Christiaan Snouck Hurgronje, Sosok yang Dikagumi Sekaligus Dibenci
Buku biografi Christiaan Snouck Hurgronje dalam bahasa Indonesia resmi dirilis di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Peluncuran buku juga dirangkaikan dengan pameran foto di lantai 4 Perpustakaan Nasional, 12-25 Mei 2023.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dikagumi dan dibenci, demikianlah penggambaran kepada Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) dalam biografinya yang ditulis Wim van den Doel. Snouck Hurgronje dikagumi pemerintah kolonial karena pengetahuan dan kinerjanya, tetapi pada akhirnya juga dicela karena gagasannya yang semakin progresif.
Di Indonesia, Snouck Hurgronje dikenal sebagai ilmuwan besar dengan karya-karya Islam di Nusantara. Namun, dia juga dipandang sebagai seorang mata-mata kolonial Belanda yang rela menyatu dengan masyarakat Nusantara demi berbagai informasi intelijen.
Peluncuran perdana biografi Snouck Hurgronje dalam bahasa Indonesia dilakukan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (13/5/2023). Sebelumnya, edisi obituari dalam bahasa Belanda telah dirilis di Belanda pada awal 2021.
”Perjalanan hidup yang menarik dari Snouck selama di Arab, Indonesia, dan Belanda. Kisah seorang yang tidak terlalu baik, tetapi ada banyak kekecewaan di akhir hidupnya,” kata Van den Doel yang juga merupakan Guru Besar Universitas Leiden, Belanda.
Peluncuran terjemahan buku biografi Snouck Hurgronje diinisiasi Koninklijk Instituut voor Taal–,Land–en Volkenkunde (KITLV) Jakarta bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, dan Galeri Foto Jurnalistik Antara.
Setelah peluncuran secara resmi, acara dirangkaikan dengan diskusi bedah buku, antara penulis dan sejumlah akademisi dalam negeri. Seusai diskusi, rangkaian acara dilanjutkan dengan pembukaan pameran foto perjalanan hidup Snouck selama di Indonesia di lantai 4 Perpustakaan Nasional, 12-25 Mei 2023. Foto-foto yang ditampilkan merupakan koleksi digital Perpustakaan Universitas Leiden.
”Sebagai profesor Melayu di Leiden, keilmuan Snock mengukir sejarah Islam berperan besar sebagai penyumbang ide menjadi gagasan bagi penulis dan akademisi Indonesia dalam pemahaman sejarah keislaman Nusantara,” ujar Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando.
Di dalam buku tersebut, Van den Doel mengulas beragam riwayat perjalanan hidup Snouck Hurgronje. Perjalanan hidup Snouck Hurgronje meliputi kisah keemasannya saat menjadi mahasiswa, kehidupannya selama 17 tahun di Hindia-Belanda (Indonesia), serta akhir kisah hidupnya yang penuh penghargaan dan pencelaan.
Pria kelahiran Oosterhout-Brabant, Belanda, Minggu 8 Februari 1857 ini dianggap sebagai sosok genius. Snouck meraih gelar doktor pada usia 23 tahun dengan disertasi berjudul Het Mekkaansche feest (Perayaan Mekkah). Dia mengkaji Al Quran dan berbagai penulis Arab dari abad-abad pertama setelah perjalanan Muhammad ke Mekkah untuk mencari tahu ciri asli dari ritual-ritual di Mekkah.
Pada Maret 1889, dia berangkat dari Leiden menuju Batavia (Jakarta) dengan tugas meneliti Islam di Jawa. Demikianlah, awal masa kariernya sebagai penasihat Urusan Pribumi dan Arab pemerintah kolonial kala itu di Hindia Belanda yang berlangsung selama 17 tahun.
Pada 1891 dan 1892, ketika tinggal di Aceh, Snouck Hurgronje berhasil melakukan pendekatan dengan dengan masyarakat setempat. Dia mempelajari bahasa Aceh dan meneliti keadaan politik dan sosial di wilayah itu. Berkat strategi darinya, pemerintah kolonial Belanda saat itu saat mampu menumpas perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin Teuku Umar.
”Kemampuan Snouck adalah observasi yang baik. Dia mengobservasi cara-cara ulama Jawa mempraktikkan Islam. Dengan demikian, tingkat penetrasi Islam dalam kehidupan kaum Muslim dapat diukur,” kata dosen Sejarah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jajat Burhanudin.
Dari waktu ke waktu, dia semakin yakin akan nilai bentuk pemerintahan yang demokratis. Pemikiran Snouck Hurgronje semakin progresif dan mendorong otonomi sebesar-besarnya di negara kolonial, termasuk di Indonesia.
Selama di Indonesia, Snouck Hurgronje dua kali menikah dengan perempuan pribumi. Dari kali pernikahan tersebut, dia dikaruniai lima anak. Pada 1906, dia kembali ke Belanda dan meninggalkan keluarga Indonesia-nya di Jawa.
Dalam perjalanan hidupnya tersebut, sekembalinya di Belanda, dia didapuk menjadi guru besar di Universitas Leiden pada 1907. Setelah kepulangan itu, ia mendapat beragam penghargaan, termasuk diundang untuk bertemu langsung dengan Ratu Wilhelmina dan diundang dalam berbagai diskusi sebagai panelis di Eropa serta Amerika Serikat.
Selama menjadi pengajar di Universitas Leiden, ia banyak menuangkan pikiran dalam banyak karya ilmiahnya tentang Islam di Nusantara. Karya-karya tersebut menjadi pedoman-pedoman keilmuan Islam bagi penulis dan akademisi di Indonesia.
Sementara itu, seiring perjalanan waktu, visi Snouck Hurgronje tentang dunia berubah akibat kekejaman Perang Dunia Pertama. Dari waktu ke waktu, dia semakin yakin akan nilai bentuk pemerintahan yang demokratis. Pemikiran Snouck Hurgronje semakin progresif dan mendorong otonomi sebesar-besarnya di negara kolonial, termasuk di Indonesia.
”Karena perang dan nasionalisme yang juga membuat rekan-rekannya di luar negeri menjadi korban, dia kehilangan semua kepercayaan pada keunggulan peradaban Eropa,” ucap Van den Wim.
Setelah mengalami sakit pendarahan otak sejak Februari 1933, Snouck Hurgronje akhirnya tutup usia pada 26 Juni 1936 di rumahnya, Rapenburg, Belanda.