Kekayaan musik khas daerah harus mendapatkan penghormatan selayaknya dan tempat sewajarnya. Upaya penghormatan juga harus diikuti oleh upaya pelestarian agar tidak punah dan dilupakan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
Di wilayah-wilayah tertentu di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang memiliki tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik tersebut mendapatkan penghargaan selayaknya dan tempat sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyesuaikan ibadat dan sifat perangai mereka.
Teks dari Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II itulah yang menjadi pemacu semangat Romo Karl-Edmund Prier untuk terus mendalami berbagai jenis musik Nusantara selama 52 tahun terakhir. Romo Prier melakukannya bersama Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, lembaga yang didirikannya pada 1971.
Romo Prier mengatakan, berdasarkan teks tersebut, Pusat Musik Liturgi (PML) sejak awal terus mencari dan berupaya bekerja sama dengan tokoh-tokoh musik tradisional dari berbagai penjuru Nusantara. Upaya mendalami untuk memberikan penghargaan pada musik daerah tersebut dilakukan Romo Prier dengan melakukan perjalanan keliling Nusantara.
”Tujuan kami bukan untuk mengkristenkan orang. Berdasar pada teks dari Konstitusi Liturgi tersebut, upaya yang dilakukan oleh PML adalah agar musik tersebut mendapatkan penghargaan selayaknya dan tempat sewajarnya,” ujarnya, Kamis (11/5/2023).
Romo Prier mengungkapkan hal itu dalam pidato ilmiahnya yang berjudul ”Hidup untuk Musik”. Pidato itu disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam rangka penganugerahan gelar doktor kehormatan (Dr HC) untuk dirinya dan Prof Gunnar Spellmeyer di Concert Hall ISI Yogyakarta, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari perjalanan keliling Nusantara tersebut, dia pun mengetahui bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan ragam budaya, termasuk budaya musik tradisional. Dalam perjalanan tersebut, Romo Prier menemukan kekayaan ragam dan tokoh-tokoh musik yang disebutnya sebagai ”mutiara terpendam”.
Di Kepulauan Mentawai, dia menemukan lagu-lagu khas yang kemudian disebutnya sebagai ”healing music”. Dinyanyikan oleh dukun yang disebut sikerei, lagu-lagu khas tersebut diyakini bisa membantu menarik jiwa atau nyawa orang yang sakit atau sekarat untuk kembali ke raganya. Di Flores, dia bertemu dengan suku Keo yang memiliki aransemen musik khas yang dimainkan dengan alat musik dari bambu serupa kentongan.
”Di daerah pelosok tanpa ada jaringan listrik, ketika itu kami mendapatkan pengalaman luar biasa menyaksikan penampilan dari orang suku Keo yang memainkan musik dengan tempo tinggi, diterangi oleh sinar lampu dari mobil jip yang kami tumpangi,” ujarnya.
Pengalaman menarik serupa juga dialaminya saat berkunjung ke Pulau Nias dan Kepulauan Aru. Semua yang disaksikannya tersebut terekam dan didokumentasikan dalam bentuk rekaman video.
Dalam rangkuman lagu-lagu dalam buku Madah Bakti, sentuhan budaya daerah tersebut kemudian dituangkan menjadi lagu gereja dengan sentuhan gaya musik daerah, seperti Jawa, Batak, dan Flores. Saat ini, upaya melakukan inkulturasi untuk melahirkan lagu-lagu baru dengan gaya kedaerahan tersebut dilakukan bersama mahasiswa dan komunitas berbagai suku di Indonesia yang berada di Yogyakarta.
Sementara itu, Prof Gunnar Spellmeyer, yang juga mendapatkan gelar doktor kehormatan, dinilai layak mendapatkan gelar tersebut karena konsistensinya menggelar workshop tahunan sejak tahun 2014 hingga sekarang.
Judul pidato ilmiah ’Hidup untuk Musik’ sudah menjelaskan tentang pengabdian tanpa batas yang akan terus dilakukan oleh Romo Prier.
Workshop tersebut dilakukan dengan kerja sama antara University of Applied Sciences and Arts Hannover, Jerman, dan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Melalui workshop tersebut, dia menyebarluaskan pemikiran design for life yang bisa diterapkan di mana saja di seluruh penjuru dunia.
Rektor ISI Yogyakarta Timbul Raharjo mengatakan, pihaknya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada dua tokoh yang mendapatkan penghargaan gelar doktor kehormatan tersebut.
Judul pidato ilmiah ”Hidup untuk Musik”, menurut dia, sudah menjelaskan tentang pengabdian tanpa batas yang akan terus dilakukan oleh Romo Prier. Hal itu dijalankan dengan berlandaskan keikhlasan.
Adapun pemikiran Prof Spellmeyer menjadi inspirasi dan mengingatkan setiap orang untuk merancang, mendesain kehidupan di bumi, sehingga menjadi kehidupan yang baik untuk diwariskan bagi generasi-generasi mendatang.