Menumpas Penyakit Raja Singa
Kasus raja singa atau sifilis di Indonesia meningkat 70 persen dalam 5 tahun terakhir. Sekalipun pengobatan dapat dilakukan, pencegahan dari penularan harus tetap diutamakan.
Penyakit sifilis atau yang juga dikenal dengan sebutan penyakit raja singa sudah ada sejak beberapa abad yang lalu. Namun, penyakit tersebut belum juga berhasil dituntaskan. Kasus baru sifilis bahkan dilaporkan meningkat hampir 70 persen di Indonesia dalam lima tahun terakhir.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat 20.783 kasus infeksi sifilis yang dilaporkan pada 2022. Jumlah itu meningkat signifikan dari laporan kasus tahun 2018 yang tercatat sebanyak 12.484 kasus. Dari jumlah yang dilaporkan, sebagian besar ditemukan pada kelompok usia 25-49 tahun sebesar 63 persen.
Sementara proporsi antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, yakni 54 persen pada laki-laki dan 46 persen pada perempuan. Berdasarkan kelompok populasi, kasus sifilis paling banyak ditemukan pada kelompok LSL (laki-laki seks dengan laki-laki) sebesar 28 persen dan ibu hamil sebesar 27 persen.
Staf pengajar Departemen Dermatologi & Venereologi Divisi Infeksi Menular Seksual Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Wresti Indriatmi dihubungi di Jakarta, Kamis (11/5/2023) menuturkan, infeksi sifilis pada ibu hamil perlu diwaspadai karena bisa risiko menular pada bayi yang dikandung (sifilis kongenital). Jika tidak segera ditangani, sifilis kongenital tersebut dapat menyebabkan kecacatan ataupun kematian ketika bayi dilahirkan.
”Itu sebabnya program triple elimination dari pemerintah melalui skrining sifilis, HIV, dan hepatitis B pada ibu hamil sangat penting. Deteksi dini kasus sifilis pada ibu hamil yang kemudian dilanjutkan dengan pengobatan yang tepat dapat mencegah penularan pada bayi yang dikandung,” tuturnya.
Risiko penularan sifilis dari ibu ke bayi yang dikandung sebesar 69-80 persen. Namun, hanya 25 persen dari sekitar lima juta kehamilan per tahun yang mendapatkan penapisan sifilis.
Karena itu, menurut Wresti, sosialisasi serta edukasi terkait pemeriksaan sifilis pada ibu hamil perlu lebih masif dilakukan di seluruh fasilitas kesehatan. Pemeriksaan infeksi menular seksual, seperti sifilis, HIV, dan hepatitis B telah menjadi pelayanan standar dalam pelayanan antenatal di puskesmas untuk kehamilan pada trimester pertama. Pemeriksaan tersebut perlu dipastikan juga berjalan di fasilitas kesehatan lain, seperti layanan bidan praktik mandiri dan fasilitas kesehatan lainnya.
Baca juga: Kasus Penularan Sifilis Melonjak, Risiko Penularan dari Ibu ke Bayi Tinggi
Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Infeksi sifilis atau yang disebut penyakit raja singa ini bisa ditularkan dari ibu hamil ke bayi yang dikandung, maupun melalui jarum suntik, produk darah yang tercemar, serta hubungan seks.
Tanda dan gejala sifilis
Wresti menyampaikan, tanda awal terjadinya infeksi sifilis berupa luka pada tempat hubungan seks dilakukan, baik di kelamin, anus, maupun mulut. Biasanya hanya satu luka yang muncul serta tidak disertai nyeri. Pada luka akan ada batas yang jelas dengan permukaan di sekelilingnya yang lebih tinggi.
”Luka yang tidak terasa nyeri ini yang terkadang membuat pasien cenderung mengabaikannya. Terkadang pasien juga tidak tahu, apalagi jika luka di tempat yang tertutup seperti di vagina atau anus. Padahal, jika didiamkan saja, infeksi bisa berlanjut menjadi sifilis stadium dua,” tuturnya.
Dalam Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar yang diterbitkan pada 2013 disebutkan terdapat tiga stadium pada penularan sifilis. Stadium pertama atau primer terjadi dengan ditandai dengan luka serta ada pembesaran kelenjar getah bening di lokasi tertentu. Selanjutnya, infeksi dapat berlanjut pada stadium kedua atau sekunder dengan tanda dan gejala berupa bercak merah di telapak tangan dan kaki serta muncul lesi kulit. Tanda dan gejala lain pada stadium sekunder yakni demam, malaise atau lelah, meningitis, retinitis atau peradangan pada retina mata, serta patchy alopecia (botak secara sporadis).
Infeksi sifilis atau yang disebut penyakit raja singa ini bisa ditularkan dari ibu hamil ke bayi yang dikandung, maupun melalui jarum suntik, produk darah yang tercemar, serta hubungan seks.
Infeksi pun dapat berlanjut hingga stadium ketiga atau tersier yang dapat menyerang organ tubuh lain, seperti jantung dan otak. Apabila sudah terjadi neurosifilis, gejala yang muncul bisa bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai nyeri kepala, vertigo, perubahan kepribadian, dan demensia.
”Perlu diperhatikan juga bahwa bisa terjadi sifilis laten. Pada kondisi ini sifilis tidak bergejala seperti menghilang. Sifilis laten biasanya terjadi ketika akan masuk ke fase sekunder. Ini yang sering tidak disadari kemudian dirasakan kembali setelah stadium lanjut,” tutur Wresti.
Terapi sifilis
Wresti menuturkan, berbeda dengan HIV, sifilis dapat disembuhkan hingga tuntas. Terapi dapat diberikan dengan antibiotik benzathine benzylpenicillin. Pemberiannya melalui injeksi dengan dosis tunggal. Namun, pada sifilis laten injeksi perlu diberikan sebanyak tiga kali dengan jarak antarsuntikan satu minggu.
”Setelah injeksi diberikan akan dilakukan tes lagi setelah tiga bulan, enam bulan, sembilan bulan, 12 bulan, 18 bulan, dan 24 bulan kemudian. Jadi itu harus dipantau secara rutin melalui pemeriksaan serologi untuk memastikan benar-benar sembuh,” katanya.
Selain melalui injeksi, terapi juga bisa diberikan melalui terapi oral dengan doksisiklin. Pada pasien yang mendapatkan terapi oral, pengobatan diberikan selama 14-30 hari tergantung pada stadium.
Baca juga: Infeksi Menular Seksual pada Anak Muda
Terapi oral diberikan pada pasien yang memiliki alergi pada penisilin. Karena itu, sebelum terapi dengan injeksi benzathine benzylpenicillin diberikan perlu dilakukan uji penisilin terlebih dahulu untuk memastikan pasien tidak ada alergi terhadap penisilin.
Pencegahan sifilis
Sekalipun pengobatan dapat diberikan pada pasien hingga sembuh, upaya pencegahan dari penularan sifilis harus tetap diutamakan. Hal ini terutama untuk mencegah penularan sifilis kongenital. Langkah yang paling efektif untuk mencegah penularan sifilis yakni tidak melakukan hubungan seks yang berisiko.
Selain itu, sebaiknya hindari berhubungan seks dengan banyak pasangan. Kesadaran pencegahan infeksi sifilis harus semakin ditingkatkan untuk memutus rantai penularan di masyarakat.
Wresti mengatakan, penggunaan kondom dapat mengurangi risiko penularan sifilis. Namun, itu hanya efektif jika kondom menutupi luka sifilis. ”Kondom tidak bisa 100 persen mencegah penularan sifilis karena bisa jadi luka ada di pangkal penis yang tidak tertutupi kondom,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi menyampaikan, sifilis menjadi salah satu penyakit infeksi menular seksual yang menjadi prioritas penanganan pemerintah. Sifilis bahkan dapat meningkatkan risiko penularan HIV hingga 300 kali lipat. Itu sebabnya, epidemi penyakit infeksi menular seperti HIV sangat berkaitan dengan penanggulangan penyakit sifilis.
Kemenkes kini telah membuka akses layanan infeksi menular seksual di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke daerah perifer. Upaya deteksi sifilis juga sudah masuk dalam program Triple Eliminasi pada ibu hamil melalui skrining HIV, sifilis, dan hepatitis B. Jika merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2017 tentang Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak, eliminasi ketiga penyakit infeksi menular tersebut ditargetkan bisa tercapai pada 2022. Namun, hingga saat ini penularan masih ditemukan.
Pada daerah lain yang mengalami penularan sifilis tinggi juga dilakukan notifikasi pasangan pada kasus sifilis, khususnya pada populasi kunci seperti kelompok LSL. Penemuan dan pengobatan kasus dini juga dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan dan penularan di masyarakat.
”Intervensi dan upaya Kementerian Kesehatan tidak hanya berfokus pada program pengobatan saja tetapi juga pencegahan melalui edukasi seksual pada kelompok risiko tinggi serta informasi infeksi menular seksual pada masyarakat umum. Intervensi perubahan stigma dan diskriminasi juga dilakukan pada layanan kesehatan,” ujar Imran.
Baca juga: Khawatir Tertular Penyakit Menular Seksual
Ia menambahkan, pemerintah juga memastikan akses layanan infeksi menular seksual bisa menjangkau semua populasi. Edukasi serta pencegahan juga digalakkan di masyarakat. ”Sifilis merupakan great imitator (peniru yang baik) sehingga gejala infeksi bisa berubah-ubah menyerupai penyakit lainnya. Karena itu, peningkatan pengetahuan dan pencegahan sangat perlu untuk mengetahui kasus sejak dini. Ketersediaan obat dan alat pemeriksaan juga kami pastikan tersedia,” kata Imran.