Kebakaran Hutan Berkontribusi pada La Nina Tiga Tahun Terakhir
Penelitian terbaru ini menemukan, kebakaran hutan hebat di Australia pada 2019–2020 berkontribusi mendorong anomali suhu Pasifik Tropis dan menjadi peristiwa La Nina selama tiga tahun terakhir.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
REUTERS
Truk pemadam kebakaran berada tak jauh dari kobaran api kebakaran hutan di Nana Glen, dekat Coffs Harbour, Australia, 12 November 2019.
JAKARTA, KOMPAS — El Nino bisa memicu intensitas kebakaran hutan dan lahan, sebaliknya kebakaran hutan juga bisa memicu La Nina. Penelitian terbaru ini menemukan, kebakaran hutan hebat di Australia pada 2019–2020 berkontribusi pada pendinginan lautan hingga ribuan mil jauhnya, yang pada akhirnya mendorong anomali suhu Pasifik Tropis dan menjadi peristiwa La Nina selama tiga tahun terakhir.
Penelitian ini dipimpin oleh para peneliti dari National Center for Atmospheric Research (NCAR), Amerika Serikat, dan dipublikasikan di Science Advances.
Peristiwa La Nina disebabkan oleh pendinginan Pasifik Tropis yang berdampak pada iklim musim dingin di Amerika Utara, menyebabkan kondisi yang lebih kering dan lebih hangat daripada rata-rata di Amerika Serikat bagian barat daya, dan sebaliknya memicu cuaca yang lebih basah di Australia dan Indonesia.
Penelitian baru ini membantu menjelaskan perkiraan iklim yang terlewatkan dan menyoroti pentingnya penggunaan model sistem Bumi yang digabungkan, yang mencakup atmosfer dan lautan, sebagai alat perkiraan iklim.
”Banyak orang dengan cepat melupakan kebakaran Australia, terutama ketika pandemi Covid-19 meledak, tetapi sistem Bumi memiliki ingatan yang panjang, dan dampak kebakaran bertahan selama bertahun-tahun,” kata ilmuwan NCAR, John Fasullo, penulis utama studi tersebut.
La Nina langka
La Nina merupakan fenomena yang sudah berulang terjadi. Akan tetapi, kejadian La Nina selama tiga musim berturut-turut jarang terjadi. Perjalanan La Nina baru-baru ini dimulai pada 2020–2021, berlanjut pada 2022 dan baru berakhir pada awal tahun, merupakan peristiwa ketiga dalam catatan sejarah, yang dimulai pada 1950.
Peristiwa La Nina baru-baru ini juga tidak biasa karena merupakan satu-satunya yang tidak mengikuti El Nino yang kuat. Berbeda dengan La Nina, peristiwa El Nino merupakan pemanasan, alih-alih pendinginan di Pasifik Tropis dengan dampak iklim yang serupa, tetapi berlawanan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Awan hitam bergelayut di langit Jakarta jelang hujan, Kamis (9/6/2022). Hal ini dipengaruhi La Nina.
Para ilmuwan sebelumnya telah menetapkan bahwa peristiwa di sistem Bumi, termasuk letusan gunung berapi besar di Belahan Bumi Selatan dapat menggeser kemungkinan munculnya La Nina. Dalam kasus gunung berapi, emisi yang dimuntahkan tinggi ke atmosfer dapat menghasilkan pembentukan partikel pemantul cahaya yang disebut aerosol, yang dapat mendinginkan iklim dan pada akhirnya menciptakan kondisi yang mendukung La Nina.
Mengingat besarnya skala kebakaran hutan di Australia pada 2019–2020, yang membakar sekitar 46 juta hektar, Fasullo dan rekan penulisnya bertanya-tanya apa dampak iklim yang mungkin ditimbulkan oleh emisi yang dihasilkan. Sebagai perbandingan, luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 2019 seluas 1,6 juta hektare dan 296.942 hektare pada 2020.
Para peneliti menggunakan model komputer yang disebut Community Earth System Model versi 2 untuk menjalankan dua kumpulan simulasi pada sistem Cheyenne di NCAR-Wyoming Supercomputing Center. Semua simulasi dimulai pada Agustus 2019 sebelum kobaran api di Australia menjadi besar secara historis, tetapi hanya satu set yang memasukkan emisi dari kebakaran hutan, seperti yang diamati oleh satelit. Simulasi lain menggunakan emisi kebakaran hutan rata-rata, praktik normal saat menjalankan simulasi model iklim jangka panjang.
Emisi kebakaran
Tim peneliti menemukan bahwa emisi dari kebakaran hutan, yang dengan cepat mengelilingi Belahan Bumi Selatan, memicu rantai interaksi iklim. Tidak seperti letusan gunung berapi, sebagian besar emisi kebakaran hutan tidak membuatnya cukup tinggi di atmosfer untuk mendinginkan iklim dengan memantulkan sinar matahari secara langsung.
Sebaliknya, aerosol yang terbentuk dari emisi kebakaran hutan dan lahan ini mencerahkan awan di belahan bumi selatan dan terutama di lepas pantai Peru, yang mendinginkan dan mengeringkan udara di wilayah tersebut, yang pada akhirnya menggeser zona tempat angin pasat utara dan selatan bertemu. Hasil akhirnya adalah mendinginnya Samudra Pasifik Tropis, tempat terbentuknya La Nina, selama beberapa tahun.
SCIENCE ADVANCES (2023)
Evolusi ansambel rata-rata beban POM (primary organic matter) dari 30 S hingga 60” S (A) dalam kontrol dan AF (abu-abu) dan distribusi spasial perbedaannya pada Desember 2019 (B). Tanggapan terkait dalam anomali ketidakseimbangan radiasi interhemispheric (C) dan belahan bumi selatan (SH) atas radiasi atmosfer (D) (matahari, tebal; gelombang panjang, tipis) juga ditampilkan. Tanggapan dalam beban POM (putus-putus), didefinisikan sebagai perbedaan antara garis dalam (A), diskalakan agar sesuai dengan data target dan tumpang tindih dalam (C) dan (D) untuk mengilustrasikan hubungan dalam fase mereka. Shading sesuai dengan dua kali kesalahan standar ansambel. Stippling ditunjukkan pada (B) di mana anomali melebihi dua kali kesalahan standar ansambel.
”Ini adalah Rube Goldberg dari interaksi iklim yang hanya dapat kami identifikasi karena model kami sekarang mewakili detail spesifik dalam evolusi interaksi asap dan awan-aerosol, sebuah peningkatan baru pada kemampuannya,” kata Fasullo.
Memperbaiki perkiraan cuaca
Pada bulan Juni 2020, beberapa bulan sebelum La Nina terbentuk, beberapa prakiraan musiman masih memprediksi kondisi El Nino-Southern Oscillation (ENSO) netral di Pasifik Tropis, yang berarti baik La Nina maupun El Nino tidak bakal terjadi. Nyatanya, La Nina terjadi selama tiga tahun berturut-turut.
Fasullo mengatakan, penelitian baru ini membantu menjelaskan perkiraan iklim yang terlewatkan dan menyoroti pentingnya penggunaan model sistem Bumi yang digabungkan, yang mencakup atmosfer dan lautan, sebagai alat perkiraan iklim.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Pemadaman api dari udara di kawasan konsesi APP Sinar Mas di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (6/2/2023).
Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya memiliki perhitungan emisi kebakaran hutan yang realistis, baik dalam prediksi iklim musiman maupun proyeksi iklim jangka panjang. Saat ini, emisi pembakaran biomassa di sebagian besar simulasi model iklim ditentukan, artinya emisi tersebut dikenakan pada model yang dijalankan dan tidak ditentukan oleh interaksi yang terjadi di dalam model. Misalnya, periode panas dan kering yang disimulasikan dalam simulasi model tidak akan menyebabkan lebih banyak kebakaran hutan, dan karena itu lebih banyak emisi dalam simulasi.
”Saat iklim berubah, emisi dari kebakaran hutan juga akan berubah,” kata Fasullo. ”Tapi, kami tidak memiliki umpan balik itu dalam model. Ini adalah tujuan dari pekerjaan kami saat ini untuk memasukkan efek ini serealistis mungkin.”
Periode EL Nino
Kini, setelah periode panjang La Nina, Organisasi Meterologi Dunia (WMO) memprediksi bahwa tahun ini bakal terjadi El Nino. Dalam laporan Keadaan Iklim Global yang dikeluarkan pada Rabu (3/5), WMO menyebutkan, La Nina saat ini telah berakhir dan Samudra Pasifik Tropis saat ini berada dalam keadaan ENSO-netral.
”Ada peluang 60 persen untuk transisi dari ENSO-netral ke El Nino selama Mei-Juli 2023, dan ini akan meningkat menjadi sekitar 70 persen pada Juni-Agustus dan 80 persen antara Juli dan September,” ujar WMO.
Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas mengingatkan, El Nino kemungkinan besar akan menyebabkan lonjakan baru dalam pemanasan global dan meningkatkan peluang untuk memecahkan rekor suhu. Karena itu, dia meminta dunia untuk bersiap menghadapi perkembangan El Nino, yang bisa berbeda di tiap wilayah.