Meski Telah Terdeteksi di Awal, Masyarakat Masih Takut Terdiagnosis Kanker
Tingginya jumlah pasien kanker stadium lanjut yang datang ke rumah sakit disebabkan masih rendahnya kesadaran akan deteksi dini. Masyarakat masih cenderung takut mengetahui hasil diagnosis dan pengobatannya.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran masyarakat akan deteksi dini kanker masih rendah. Alhasil, persentase pasien kanker stadium lanjut masih sangat tinggi. Masyarakat enggan melakukan pemeriksaan karena takut terdiagnosis kanker serta menghadapi rangkaian proses pengobatan panjang. Padahal, jika terdeteksi lebih awal, pasien kanker memiliki tingkat kesembuhan dan harapan hidup lebih tinggi.
Persentase pasien kanker stadium akhir atau stadium lanjut yang datang ke rumah sakit mencapai 60-70 persen di Indonesia. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, yaitu 10-20 persen.
”Soal deteksi dini kanker, pengetahuan masyarakat soal ini memang masih rendah. Walaupun sudah terdeteksi di awal, masyarakat cenderung takut untuk mengetahui kebenaran soal kankernya sehingga akan berhenti di deteksi awal saja, tidak didiagnosis,” ujar Dokter Spesialis Onkologi dan Radiologi Gregorius Ben Prajogi saat ditemui seusai acara peringatan hari ulang tahun ke-20 Cancer Information and Support Center (CISC) di Anjungan Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu (7/5/2023).
Setelah deteksi, masyarakat harus berani menghadapi hasil dan tahapan lanjutannya.
Lebih lanjut, Ben mengatakan, keengganan masyarakat memeriksakan kanker merupakan bentuk pembantahan atau denial untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Namun, jika hal itu terus dilakukan, akan berdampak pada kecepatan, kemudahan, serta hasil pengobatan di masa depan.
”Tidak ada bedanya diagnosis kanker saat ini dengan ketika ditunda hingga tahun depan. Sama-sama kanker, hanya saja bedanya terletak pada tingkat keparahan kanker tersebut. Jika kanker segera ditangani, proses akan lebih mudah, murah, dan hasil pengobatannya baik. Berbeda jika sudah stadium lanjut,” tutur Ben.
Oleh karena itu, kesadaran mendeteksi kanker sejak dini perlu ditingkatkan dengan berbagai upaya, salah satunya kampanye. Namun, menurut Ben, adanya kampanye soal deteksi dini kanker perlu dilakukan berulang, tidak hanya satu kali dalam setahun. Upaya kampanye berulang tersebut hingga kini masih sulit diterapkan secara rutin.
”Deteksi dini dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan seperti meraba area payudara (kanker payudara) atau melihat bentuk tahi lalat (kanker kulit), maupun ke dokter. Setelah deteksi, masyarakat harus berani menghadapi hasil dan tahapan lanjutannya,” lanjut Ben.
Berdasarkan data Global Cancer Observatory (Globocan) tahun 2020, terdapat 19.292.789 kasus kanker baru di dunia dengan tiga kasus terbanyak adalah payudara, paru-paru, dan kolorektal (kanker usus). Di Indonesia, terdapat 396.914 kasus kanker baru di tahun yang sama dengan sebagian besar pasien datang berobat pada stadium lanjut.
Kanker payudara dan kanker leher rahim (serviks) mendominasi kasus kanker pada wanita. Sementara, kanker paru-paru dan kolorektal mendominasi kasus kanker pada pria. Kanker menjadi peringkat tiga besar penyebab kematian di dunia. International Agency of Cancer Research (IARC) memprediksi, pada 2040 angka kasus kanker baru dapat mencapai 30,2 juta kasus dengan angka kematian mencapai 16,3 juta kasus.
Tak siap
Ketua Umum CISC Aryanthi Baramuli Putri meminta para penyintas kanker yang telah terdiagnosis agar segera datang ke rumah sakit dan melakukan pengobatan lanjutan. Meskipun begitu, tidak sedikit orang yang berani dan siap menjalani rangkaian pengobatan, sekalipun kanker belum mencapai stadium lanjutan.
”Ketika sudah terdeteksi dan terdiagnosis kanker, harus segera mencari dokter. Jangan mudah menerima informasi yang menyesatkan atau misleading, sehingga menyulitkan diri mendapatkan fasilitas pengobatan,” tutur Aryanthi, Minggu (7/5/2023).
Salah seorang anggota CISC yang juga penyintas dua jenis kanker, yaitu serviks dan kelenjar getang bening, Nur Zakiyah, mengungkapkan kesedihannya saat pertama kali didiagnosis kanker. Dirinya merasa tidak siap jika harus menjalani serangkaian pengobatan yang panjang.
”Saat itu, 19 Mei 2021, saya terdeteksi kanker serviks karena pendarahan sejak 1-19 Mei tidak berhenti. Saya merasa dunia ini gelap sekali, karena saya memikirkan anak-anak saya yang masih kecil,” ujar Zakiyah saat menghadiri HUT CISC.
Zakiyah menderita kanker serviks dengan tipe sel adenosarcoma yang sangat ganas. Hal ini menunjukkan, kanker serviks yang diderita Zakiyah telah berada pada stadium lanjut. Kanker ini umumnya berkembang perlahan dan baru menunjukkan gejala jika sudah memasuki stadium lanjut tersebut.
Penyintas kanker lainnya, Winiati Pratiwi, mengatakan, hingga saat ini terus mengikuti regulasi rumah sakit mengenai pengobatan kankernya, yaitu kanker rahim atau endometrium stadium 3C2. Saat pertama kali terdiagnosis kanker, Winiati mengaku tidak siap menghadapi proses pengobatannya, hingga berniat mengakhiri hidup.
”Saya tidak siap menghadapi proses panjang yang mengerikan, rasanya ingin bunuh diri saja. Saya seperti terjun bebas, tanpa batas,” ucapnya.