Tradisi lisan memuat unsur kebudayaan dan sejarah. Produk tradisi lisan, seperti cerita rakyat, pantun, hingga mitos, dapat ditelaah sebagai salah satu sumber penelitian sejarah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produk tradisi lisan, seperti cerita rakyat, mitos, dan nyanyian, tidak hanya memuat kebudayaan, tetapi juga sejarah dan memori kolektif masyarakat suatu daerah. Produk tradisi lisan pun dipertimbangkan sebagai salah satu sumber sejarah yang patut diteliti.
Menurut Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sastri Sunarti, sumber sejarah tidak terbatas pada bangunan, artefak, relief, dan dokumen tertulis saja. Sumber lisan juga dapat dijadikan referensi penelitian sejarah.
”Dalam mitos juga ada kebenaran, fakta sejarah. Tidak semua yang lisan itu mitos atau dongeng (belaka). Artefak, dokumen tertulis, dan sumber lisan saling terkait sebagai sumber sejarah. Ketiganya saling melengkapi,” kata Sastri pada diskusi buku Keajaiban Negeri Emas Zabaj: Indonesia dalam Catatan Dunia Islam Masa Abbasiyah secara hibrida, di Jakarta, Selasa (2/5/2023).
Ia mencontohkan, masyarakat di kawasan Pantar, Nusa Tenggara Timur, merunut sejarah identitas mereka melalui sumber lisan. Mereka meyakini bahwa mereka keturunan Kerajaan Majapahit yang kini bermukim di Pantar. Keyakinan itu didukung dengan sejumlah bukti, seperti kata Jawa yang diserap dalam bahasa lokal dan adanya beberapa tempat di Pantar yang disebut Kampung Jawa.
Dalam mitos juga ada kebenaran, fakta sejarah. Tidak semua yang lisan itu mitos atau dongeng (belaka). Artefak, dokumen tertulis, dan sumber lisan saling terkait sebagai sumber sejarah. Ketiganya saling melengkapi.
Sastri menambahkan, tradisi lisan itu memuat memori kolektif masyarakat Pantar tentang asal-usul mereka. Adapun pemahaman masyarakat soal Majapahit ia sebut berbeda dengan yang tercantum di buku sejarah. Hal ini dapat dimaknai sebagai kekayaan perspektif sejarah.
Ragam perspektif sejarah juga tampak pada kisah Adityawarman, salah satu penguasa di Sumatera Barat yang memerintah pada abad ke-14. Dalam ingatan dan sejarah lisan masyarakat, Adityawarman meninggal karena diracuni di rumah Datuak Bandaro Kuniang di Limo Kaum, Tanah Datar.
Menurut penelusuran bacaan sejarah di internet yang dilakukan, Rabu (3/5/2023), Adityawarman hanya disebutkan wafat dan kemudian anaknya naik takhta. Tidak disebutkan alasan kematian Adityawarman.
Sastri mengatakan, sejarah lisan juga merekam ingatan kurang menyenangkan dari Adityawarman. Berdasarkan hasil wawancara dengan dua datuk atau tokoh adat, Adityawarman dikenal dengan nama Raja Anggang yang datang dari Laut. Ia dikenang sebagai raja yang bengis. Adapun Sastri menilai sumber lisan mesti ditelaah dalam penelusuran sejarah.
”Menurut datuk-datuk di Minangkabau, ada sejarah yang kabur di sana selama lebih kurang 500 tahun. Itu sebabnya memori kolektif mesti digali. Itu (memori) tidak bisa dihapus jika ini masih ditransfer (ke generasi selanjutnya). Ini bisa jadi permulaan membuka sejarah,” ujar Sastri.
Sumber lisan
Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurrahman berpendapat, sumber lisan, seperti folklor, pantun, tembang, dan dongeng, merupakan salah satu sumber yang dapat memanfaatkan ini untuk merekonstruksi sejarah. Pemanfaatan sumber lisan—yang termasuk obyek pemajuan kebudayaan—pun sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) DKI Jakarta Yahya Andi Saputra menilai bahwa dongeng atau cerita rakyat umumnya mengandung nilai sejarah. Sebab, cerita rakyat dibuat dengan mengadaptasi kondisi sosial dan budaya masyarakat di periode dan lokasi tertentu.
Sebagai contoh, cerita Si Pitung menggambarkan kondisi masyarakat Betawi di masa kolonial. Masyarakat hidup sulit karena tindakan tuan tanah dan pihak Belanda yang sewenang-wenang. Si Pitung lantas berguru ke Haji Naipin untuk melawan para penindas. Ia menggunakan ilmunya untuk mencuri harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin. Masyarakat lantas menganggap Si Pitung sebagai pahlawan.
”Dalam konteks masa kini, cerita itu mengajarkan bahwa kita tidak boleh putus harapan. Harapan akan dibawa oleh seseorang dan bisa dicapai bersama. Harapan itu macam-macam, misalnya harapan agar tidak korupsi dan harapan kebaikan,” kata Yahya (Kompas.id, 1/2//2023).