Daya Tawar Produk Kayu Asal Indonesia Dapat Diperkuat
Aturan produk bebas deforestasi dan degradasi lahan dari Uni Eropa dipandang sebagai peluang untuk lebih memperkuat daya tawar produk kayu asal Indonesia. Namun, posisi pengusaha kayu skala kecil pun perlu diperkuat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pekerja memilih bahan dari limbah kayu jati untuk dibuat kerajinan di Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Februari 2017.
JAKARTA, KOMPAS — Selain sawit, aturan produk bebas deforestasi dan degradasi lahan dari Uni Eropa juga berimbas pada produk kayu Indonesia. Aturan tersebut dipandang sebagai peluang untuk lebih memperkuat daya tawar produk kayu asal Indonesia. Namun, Uni Eropa tetap perlu menyediakan dukungan untuk memperkuat posisi pengusaha kayu skala kecil.
Kayu merupakan salah satu produk yang diatur dalam Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi dan Degradasi Lahan dari Uni Eropa (EUDDR) yang mulai berlaku bulan ini. Aturan ini pun akan berimbas ke produk kayu dalam negeri mengingat Indonesia merupakan salah satu negara eksportir kayu terbesar ke UE.
Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Ichwan menyampaikan, sampai saat ini sebenarnya belum ada panduan teknis terkait pengaturan kayu dalam EUDDR secara detail. Namun, pada prinsipnya EUDDR dipandang tetap bisa memperkuat daya tawar produk kayu asal Indonesia.
EUDDR bisa dibilang beyond (melebihi) FOLU. Keduanya sama-sama diniatkan untuk menekan laju kenaikan suhu bumi.
”Meski mengatur adanya larangan produk hasil deforestasi masuk ke UE, aturan ini tidak akan menghambat perdagangan kayu. Dengan catatan, selama produk kayu tersebut tidak mengakibatkan deforestasi,” ujarnya, Rabu (3/5/2023).
Menurut Ichwan, dalam hak pengusahaan hutan (HPH), selama ini Indonesia sudah menerapkan pembalakan selektif atau memakai sistem pembalakan ramah lingkungan (reduced impact logging/RIL). Sistem tersebut merupakan teknik atau metode pemanenan untuk mengurangi dampak negatif lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pembalakan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu lokasi wilayah yang diduga dirambah para pembalak liar, Rabu (10/9/2020). Lokasi tersebut masuk dalam kawasan hutan produksi dan berada di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Sementara hasil produk kayu dari hutan tanaman industri (HTI) juga tidak akan dipermasalahkan jika tidak menyebabkan deforestasi setelah Desember 2020. Dalam aturan EUDDR, jangka waktu deforestasi yang ditetapkan UE yakni setelah Desember 2020.
Selain itu, dengan adanya aturan ini, setiap pelaku usaha produk kayu seperti mebel juga perlu menyertakan asal-usul kayu yang mereka kirim. Informasi ini termasuk mencakup penanda lokasi (geolocation) yang menjadi tempat kayu tersebut berasal.
Ichwan juga menilai, penerapan EUDDR akan memperkuat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Indonesia sebagai instrumen pasar yang lebih moderat. Namun dengan catatan, EUDDR tetap harus mampu mendorong proses perlindungan sosial, ekologi, dan transparansi tata kelola, serta memperkuat posisi pengusaha kayu skala kecil (UMKM).
”Sebelum EUDR ini digagas atau diimplementasikan, SVLK sendiri terus mengalami perbaikan. Terakhir melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9895 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Verifikasi dan Kelestarianjuga sudah mengakomodasi tentang aspek geolokasi,” ujarnya.
Meski bisa memperkuat daya tawar produk kayu Indonesia, Ichwan juga menyebut bahwa EUDDR juga bisa menjadi beban tambahan bagi pelaku bisnis perkayuan. Hal ini tidak terlepas dari penerapan article 13 voluntary partnership agreement (VPA) yang sejauh ini dianggap belum optimal dipenuhi oleh pihak UE.VPA merupakan upaya bersama antara Indonesia dan UE memberantas perdagangan kayu ilegal.
Mendukung karbon bersih
Dari aspek lingkungan, Ichwan meyakini penerapan EUDDR juga dapat mendukung upaya penyerapan karbon bersih dari sektor kehutanan dan tata guna lahan (FOLU Net Sink). Bahkan, aturan ini lebih tegas melarang produk yang merusak hutan mengingat dalam dokumen FOLU Net Sink masih merencanakan deforestasi seluas 300.000 hektar tiap tahun.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Alat berat melansir kayu-kayu hasil tebangan liar dari kawasan hutan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, Sabtu (16/3/2019). Hasil kayu dipasok ke dua wilayah itu bahkan hingga Lampung dan Banten.
”Artinya, EUDDR bisa dibilang beyond (melebihi) FOLU. Keduanya sama-sama diniatkan untuk menekan laju kenaikan suhu bumi. Namun, poin ini bagi sebagian pihak akan dianggap menghambat pembangunan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong saat memberikan sambutan dalam acara Forest Agriculture Commodities Trade (FACT) Retreat di Inggris akhir Maret lalu menyebut bahwa EUDDR telah mencampakkan usaha Indonesia dalam membangun SVLK. Padahal, SVLK telah dilakukan Indonesia sejak tahun 2001 dalam kerangka Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT).
Dalam kesempatan tersebut, Alue pun mengajak FACT Dialogue yang juga beranggotakan negara UE untuk dapat mendukung sikap Indonesia dalam mengantisipasi regulasi uji tuntas dalam EUDDR tersebut. Ia pun menekankan agar setiap negara anggota dapat membicarakan permasalahan perdagangan komoditas kehutanan, perkebunan, dan pertanian.