Stop Politisasi Perbedaan Idul Fitri
Perbedaan penentuan Idul Fitri harusnya bisa diselesaikan dengan dialog, bukan saling mengkriminalkan. Dialog perlu dilakukan dengan kepala dingin dan semangat menyatukan umat dalam satu sistem kalender Islam Indonesia.
Untuk pertama kalinya, setelah mengalami perbedaan Idul Fitri hampir 40 tahun, beda Idul Fitri 1444 Hijriah/2023 Masehi berakhir dengan penangkapan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional oleh polisi.
Ketegangan diskusi penentuan Idul Fitri akhirnya berujung menjadi masalah hukum. Upaya menyatukan umat Islam Indonesia dalam satu sistem kalender hijriah sepertinya masih jauh dari harapan.
Tahun 2023, umat Islam Indonesia memasuki Ramadhan secara bersamaan dan mengakhirinya dengan berbeda. Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H pada Jumat (21/4/2023), sedangkan pemerintah dan sejumlah organisasi massa Islam ber-Lebaran pada Sabtu (22/4/2023). Situasi itu berkebalikan dengan kondisi tahun 2022 saat kedua kelompok itu memulai Ramadhan berbeda dan Lebaran bersama.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tekanan psikologis yang muncul akibat perbedaan Idul Fitri jauh lebih besar dibandingkan beda awal Ramadhan atau Idul Adha. Terlebih sejak awal Ramadhan, potensi beda Idul Fitri itu sudah digaungkan berdasarkan penanggalan dan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan kalender yang disusun pemerintah.
Dalam kalender Muhammadiyah, awal bulan (month) ditentukan menggunakan kriteria hisab wujudul hilal (terbentuknya hilal). Sementara kalender pemerintah dan sebagian besar ormas Islam lain disusun berdasarkan hisab imkan rukyat (kemungkinan terlihatnya hilal) sesuai kriteria Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) baru.
Khusus untuk tiga bulan yang terkait ibadah wajib, yaitu Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, hasil hisab dalam kalender pemerintah dan ormas Islam itu harus dibuktikan dengan rukyat atau pengamatan hilal langsung. Pola ini juga digunakan banyak negara Islam. Di Indonesia, hasil rukyat itu dijadikan pertimbangan utama dalam penetapan awal ketiga bulan hijriah itu melalui sidang isbat.
Perbedaan sistem penentuan awal bulan dalam kalender hijriah itu masih sulit dipahami awam. Akibatnya, perbedaan itu disimplifikasi karena Muhammadiyah memakai hisab dan pemerintah beserta ormas Islam lain memakai rukyat.
Padahal, sering kali yang didebatkan awam adalah hisab wujudul hilal dan hisab imkan rukyat. Sementara persoalan rukyat jauh lebih kompleks dibandingkan yang dibayangkan publik.
Hisab dan rukyat sejatinya setara. Hisab yang baik harus didasarkan pada hasil rukyat yang berkualitas, demikian sebaliknya rukyat yang baik harus dilandasi pada hisab yang akurat.
Perbedaan hari raya yang selama ini terjadi di Indonesia ataupun di negara-negara Islam lain disebabkan belum ada kriteria tunggal penentuan awal bulan hijriah.
Sejak akhir Ramadhan 1444 H, bermunculan konten-konten di media sosial dan berita di sejumlah media daring yang menarasikan pilihan hari Idul Fitri-nya yang paling benar dan pilihan yang lain salah.
Berbagai argumen pembenar pun diajukan, mulai dari terjadinya gerhana matahari 20 April 2023, kesamaan dengan perkiraan Idul Fitri di Arab Saudi, hingga gugatan terhadap pengamatan hilal dan sidang isbat yang dianggap tidak efektif dan membutuhkan dana sangat besar.
Baca juga : Gerhana Matahari Bukan Tanda Awal Bulan dalam Kalender Hijriah
Tema konten penentuan awal hari raya itu sejatinya tidak banyak berubah dengan berbagai gagasan yang disampaikan dalam diskusi terbuka tentang penentuan awal bulan hijriah selama setidaknya 20 tahun terakhir. Persoalan yang digugat selalu berputar-putar pada pokok persoalan yang sama.
Sebenarnya, berbagai pandangan untuk menjawab gugatan itu juga sudah banyak diberikan oleh astronom atau ahli falak. Namun, sepertinya sistem penentuan awal bulan kalender hijriah masih sulit dipahami mengingat kalender Islam bukanlah kalender yang digunakan sehari-hari oleh banyak umat Islam.
Bahkan, jumlah umat Islam yang tahu bulan ini menjadi urutan bulan ke berapa dalam kalender Islam kemungkinan juga hanya sedikit.
Diskusi publik penentuan awal bulan hijriah pun sering kali keluar dari konteks keilmuan dan lebih menyerang individu ataupun organisasi. Kondisi ini akhirnya sering memancing emosi kedua belah pihak hingga berakhir dengan ancaman seperti yang terjadi pada Idul Fitri tahun ini.
Ancaman itu membuat Pemuda Muhammadiyah akhirnya melaporkan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Andi Pangerang Hasanuddin ke Badan Reserse Kriminal Polri pada Selasa (25/4/2023) atas dugaan ujaran kebencian. Andi pun sudah ditahan sejak Minggu (30/4/2023) dan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sains-agama
Sejak awalnya terjadi perbedaan Idul Fitri, astronom dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), sekarang BRIN, dan Institut Teknologi Bandung dilibatkan untuk mencari jalan tengah. Kehadiran ilmuwan diharapkan bisa menjembatani perbedaan yang ada di antara mereka yang menggunakan hisab atau rukyat sebagai cara utama dalam penentuan hari raya.
Sistem hisab modern berbasis komputasi pun dikenalkan sehingga hasil penghitungan antara lembaga-lembaga sains dan banyak ormas Islam menjadi mirip. Teleskop sebagai alat bantu pengamatan pun dikenalkan.
Meski prosesnya lambat di awal, kini hampir semua pengamatan hilal, termasuk yang dilakukan pesantren atau ormas Islam, sudah dilengkapi dengan teleskop dan kamera sehingga pengamatan hilalnya lebih akurat dan bisa dikonfirmasi pihak lain.
Namun, masih banyak teknologi dan metode pengamatan yang perlu dibicarakan. Nyatanya, memadukan sains dan agama memang tidak mudah. Pengenalan teknologi atau metode baru sering kali berbenturan dengan hukum fikih (hukum Islam) saat ini, seperti penggunaan kamera peranti muatan-tergandeng (CCD) atau pengamatan hilal sebelum maghrib.
Selain itu, rukyat atau pengamatan hilal pun makin ramai. Selain petugas Kementerian Agama, Badan Pengadilan Agama, pesantren, dan ormas Islam, ada juga pengamat hilal dari dosen ilmu falak sejumlah universitas Islam negeri (UIN) dan juga staf Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang bertanggung jawab terhadap tanda waktu.
Baca juga : Posisi Bulan Menyatukan Awal Ramadhan 1444 Hijriah di Indonesia
Bahkan, meski secara organisatoris Muhammadiyah tidak menggunakan rukyat dalam penentuan awal bulan hijriah, sejumlah dosen dan staf beberapa universitas Muhammadiyah yang memiliki observatorium juga ikut mengamati hilal.
Upaya menyatukan sistem kalender hijriah melalui kriteria tunggal yang bisa diterima secara hukum agama dan keilmuan astronomi pun mengalami kemajuan pesat.
Sejak awal 1990-an, kriteria awal bulan hijriah yang digunakan pemerintah adalah kriteria MABIMS yang mensyaratkan tinggi hilal minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan usia minimal Bulan (moon) 8 jam.
Syarat ini menjadikan kriteria ini populer dengan sebutan kriteria 2-3-8. Kriteria ini digunakan sebagai dasar hisab penyusunan kalender Islam dan batasan diterimanya hasil rukyat hilal.
Namun, kriteria 2-3-8 itu bermasalah secara astronomi karena tidak pernah ada laporan melihat hilal pada batas serendah itu dari berbagai penjuru dunia. Kriteria itu disusun berdasarkan satu data pengamatan hilal di masa lalu yang sulit diverifikasi.
Karena itu, Majelis Ulama Indonesia akhirnya membentuk tim untuk menyusun kriteria baru awal bulan hijriah yang belakangan dikenal sebagai kriteria MABIMS baru dengan batas tinggi hilal 3 derajat dan elongasi Matahari-Bulan 6,4 derajat.
Kriteria MABIMS baru pun butuh waktu untuk diterima ormas Islam. Persatuan Islam adalah ormas pertama yang memakai kriteria itu sejak 2013 dan waktu itu masih bernama kriteria Lapan. Kriteria ini disepakat anggota MABIMS pada akhir 2021 dan langsung diterapkan Kementerian Agama dalam penentuan hari raya 2022.
Nahdlatul Ulama baru menerima kriteria ini menjelang Ramadhan 2022 meski mereka menggunakan elongasi geosentrik (dihitung dari pusat Bumi), bukan elongasi toposentrik (diukur dari permukaan Bumi).
Kini, sebagian besar ormas Islam Indonesia sudah menggunakan kriteria MABIMS baru untuk menentukan awal bulan hijriahnya dan disepakati elongasi yang digunakan adalah elongasi geosentrik.
Meski demikian, hingga kini Muhammadiyah belum menerima kriteria MABIMS baru itu dan mempertahankan kriteria wujudul hilal. Dalam kriteria wujudul hilal ini, awal bulan hijriah dimulai asal konjungsi terjadi sebelum maghrib, Matahari lebih dulu terbenam dibandingkan Bulan, dan saat maghrib hilal sudah di atas ufuk tanpa mempermasalahkan besaran ketinggiannya.
Dengan capaian kriteria MABIMS baru itu, dan dinamika yang muncul dari ormas-ormas Islam yang ada, perbedaan penentuan awal bulan hijriah, termasuk penentuan Idul Fitri, sejatinya bisa diselesaikan lewat dialog.
Proses ini sudah berlangsung lama dan melelahkan. Namun, hanya melalui dialog dengan kepala dingin, saling menghargai, dan niat kuat untuk mewujudkan kesatuan umat dalam berhari raya, cita-cita mewujudkan satu kalender Islam Indonesia bisa terwujud.
Jika kesatuan nasional itu bisa dicapai, upaya memperjuangkan kalender Islam global akan jauh lebih mudah. Sejauh ini, dari data Proyek Pengamatan Hilal (ICOP), awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha di seluruh dunia selalu terdiri dari dua hingga tiga jenis hari berbeda.
Pada Idul Fitri 1444/2023, negara-negara Asia Tenggara, Asia Selatan, dan sebagian kecil negara Arab ber-Idul Fitri pada 22 April, sedangkan sebagian besar negara Arab dan Afrika ber-Lebaran pada 21 April.
Perbedaan hari raya yang terjadi juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan sosial-politik yang ada. Pada dekade 2000-an, ego organisasi memang lebih kuat dalam menyikapi perbedaan hari raya hingga kerap menimbulkan ketegangan di masyarakat. Seiring waktu, ketegangan itu mereda.
Namun, munculnya pandangan sebagian kecil umat Islam, bahwa hari raya di Indonesia harus sama dengan Arab Saudi, tanpa mau tahu bagaimana sistem kalender Islam bekerja dan aspek lokalitas dalam penentuan waktu ibadah, ketegangan itu meningkat lagi.
Semua kembali ke umat Islam Indonesia, apakah siap menjadi bagian dari kemajuan bangsa atau akan terus berdebat akibat perbedaan hari raya.
Menyikapi perbedaan tersebut, sidang isbat tetap bermakna penting untuk menyatukan umat. Sidang isbat adalah bentuk otoritas tunggal dalam menjaga kalender Islam Indonesia, seperti yang dilakukan Gereja Katolik Vatikan dalam menjaga kalender masehi yang digunakan secara global hingga kini.
Baca juga : Sidang Isbat, Relasi Agama dan Sains
Jika sidang isbat ditiadakan, bayangkan kerumitan dan kekacauan yang terjadi akibat setiap ormas Islam bebas mengumumkan hari rayanya sendiri. Toh, dalam perbedaan yang terjadi, putusan pemerintah tetap ditunggu sebagian besar umat Islam Indonesia.
Untuk menyatukan sistem kalender Islam Indonesia itu, selain menggunakan jalur formal antarormas Islam dengan pemerintah dalam penyatuan sistem kalender Islam, edukasi dan diskusi publik tentang sistem kalender hijriah juga perlu digencarkan.
Selain untuk membangun pengetahuan yang benar tentang sistem kalender Islam, pengetahuan awam ini diperlukan untuk membangun penghargaan dan penghormatan kepada kelompok lain sepanjang perbedaan hari raya belum bisa disatukan.
Terlebih, hari raya Idul Adha yang akan datang dua bulan lagi juga akan berbeda. Muhammadiyah menetapkan Idul Adha 1444/2023 pada Rabu, 28 Juni 2023, dan pemerintah serta ormas Islam lain kemungkinan akan merayakan hari raya Kurban pada Kamis, 29 Juni 2023.
Bagaimanapun, umat Islam harus bergerak maju, tidak terjebak dalam persoalan yang sama setiap beda hari raya terjadi. Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama saat menerima calon wartawan harian Kompas pada 2003 pernah berkata, ”Bangsa Indonesia akan maju jika umat Islamnya maju.”
Kini, semua kembali ke umat Islam Indonesia, apakah siap menjadi bagian dari kemajuan bangsa atau akan terus berdebat akibat perbedaan hari raya.