Penelitian Arkeologi-Filologi Perkaya Pemahaman Sejarah
Memadukan ilmu arkeologi dan filologi diyakini dapat memperdalam hasil penelitian sejarah. Penelitian integratif seperti ini membutuhkan kolaborasi para ilmuwan lintas disiplin ilmu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkawinan ilmu arkeologi dan filologi dalam penelitian sejarah dapat memperkaya pemahaman atas jejak Indonesia di masa lalu. Sumber sejarah untuk dikaji pun melimpah, mulai dari manuskrip, artefak, hingga produk tradisi lisan di masyarakat. Namun, penelitian dengan pendekatan arkeologi-filologi dinilai belum optimal.
Hal tersebut mengemuka pada peluncuran dan diskusi buku Keajaiban Negeri Emas Zabaj: Indonesia dalam Catatan Dunia Islam Masa Abbasiyah secara hibrida di Jakarta, Selasa (2/5/2023). Buku tersebut merupakan terjemahan dari berbagai naskah tentang Asia Tenggara yang berasal dari abad ke-9 dan ke-10 Masehi.
Salah satu naskah berjudul Ajaib al-Hind Barruhu wa Bahruhu wa Jazayiruhu karya Buzurq bin Syahriar Al-Ramhurmuzi, seorang nakhoda kapal. Naskah yang ditulis pada abad ke-10 itu berisi sejarah pelayaran Samudra Hindia. Naskah itu juga menceritakan pelayaran dari Timur Tengah ke China.
Di tengah pelayaran, para pelaut berhenti di negeri emas yang disebut Zabaj untuk menunggu pergantian angin muson. Zabaj yang dimaksud adalah Nusantara, utamanya kawasan Sumatera. Beberapa pihak juga menyebut Zabaj sebagai Negeri Emas.
Kajian filologi tersebut diperkuat dengan temuan arkeologis berupa fragmen kapal di Situs Bongal, Sumatera Utara. Menurut penelitian, kapal ini dibuat dengan teknologi tambuku-terikat yang dikenal di Asia Tenggara sejak berabad-abad silam. Adapun kayu kapal itu sangat lebar sehingga diduga kuat kapal dibuat agar bisa berlayar di samudra. Temuan ini memperkuat hipotesis bahwa kapal digunakan untuk mengangkut komoditas ke jejaring perdagangan Samudra Hindia. Selain fragmen kapal, ada pula temuan keramik dari Dinasti Tang di Situs Bongal.
”Dari pembacaan naskah abad ke-9, tidak semua kapal berlayar dari Arab sampai ke China. Tapi, temuan keramik yang melimpah di sini (Situs Bongal) berarti ada pertukaran perdagangan besar yang terjadi,” ucap penulis buku Keajaiban Negeri Emas Zabaj, Abu Bakar Said.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (BRIN) Sonny C Wibisono menambahkan, saat mengkaji sejarah, beberapa pihak meragukan kebenaran naskah kuno. Untuk itu, manuskrip bisa diverifikasi silang dengan meneliti peninggalan arkeologis seperti artefak. Proses verifikasi antara manuskrip dan artefak ini ia sebut sebagai textcavation.
Untuk menerapkan textcavation, peneliti dari berbagai disiplin ilmu mesti berkolaborasi. Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra BRIN Herry Jogaswara mengatakan, riset di masa kini tidak bisa berdiri sendiri. Ilmu maupun ilmuwan terkait mesti membuka diri untuk kolaborasi. Ini agar hasil penelitian mendalam dapat dimaknai dari berbagai konteks.
Mati suri
Menurut Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurrahman, pendekatan arkeologi-filologi dapat digunakan dalam penelitian sejarah Islam di Nusantara. Pendekatan ini sempat dilakukan sejumlah tokoh, seperti sejarawan mendiang Uka Tjandrasasmita, tetapi kini tak banyak digunakan.
”Arkeologi-filologi Islam seperti mati suri saat ini, baik secara SDM maupun hasil-hasil penelitiannya,” ujar Oman.
Ia menilai, penelitian arkeolog-filologi pun belum optimal. Dari ribuan peninggalan arkeologis Islam di Indonesia (seperti situs dan artefak), baru sebagian kecil yang telah diteliti. Studi manuskrip sebagai panduan riset juga belum optimal.
Padahal, jika dipadukan, materi arkeologis dan filologis dapat merekonstruksi kebudayaan manusia masa lampau. Lebih jauh, metode ini membuat penelitian tidak berhenti di kajian artefak saja, tetapi hingga menelisik kehidupan manusia pencipta artefak. Dengan demikian, pengungkapan sejarah menjadi komprehensif.
Di tengah pelayaran, para pelaut berhenti di negeri emas yang disebut Zabaj untuk menunggu pergantian angin muson. Zabaj yang dimaksud adalah Nusantara, utamanya kawasan Sumatera.
”So what kalau sudah terungkap? Itu berkaitan dengan jati diri bangsa. Yang mengerti jati diri bangsanya akan lebih bisa menghayati spiritualitasnya,” katanya. ”Ini juga berkaitan dengan UU Pemajuan Kebudayaan. Baik artefak arkeologis maupun manuskrip termasuk obyek pemajuan kebudayaan. Ini berarti kajian integratif adalah sebuah keniscayaan,” tambahnya.
Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN Sastri Sunarti mengatakan, sumber lisan dapat melengkapi penelitian sejarah. Sumber ini berasal dari tradisi lisan masyarakat yang antara lain berupa cerita rakyat, nyanyian, dan pantun.
Sumber lisan dinilai tidak sepenuhnya berupa mitos. Sebaliknya, sumber lisan dinilai mengandung kebenaran sejarah yang kadang tidak terekam dalam buku sejarah. Sumber lisan juga dipahami sebagai memori kolektif masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun.
”Memori kolektif mesti digali. Itu (memori) tidak akan bisa dihapus jika ini masih ditransfer (ke generasi selanjutnya). Ini bisa jadi permulaan membuka sejarah,” tutur Sastri.