405 Kabupaten/Kota Ditargetkan Bebas Malaria pada 2024
Tantangan masih dihadapi pemerintah dan pemangku kepentingan dalam mewujudkan target eliminasi malaria. Dibutuhkan strategi penanggulangan malaria yang baik demi mewujudkannya.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan menaikkan target eliminasi malaria di sejumlah wilayah di Indonesia hingga akhir 2024. Pemenuhan target tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan dan kendala dari berbagai aspek.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, per 27 April 2023 ditemukan sebanyak 55.525 kasus. Pada 2022 terdapat 443.530 kasus dengan kasus tertinggi di Provinsi Papua, disusul Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi penanggulangan malaria yang baik dari seluruh pihak.
Hingga 2022 tercatat 372 kabupaten/kota dinyatakan mencapai eliminasi malaria atau memenuhi 72 persen dari target 514 kabupaten/kota pada 2030. Sementara pada tahun ini, Kabupaten Sorong di Provinsi Papua Barat Daya merupakan satu dari 28 kabupaten/kota yang akan menerima sertifikat eliminasi malaria.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menyampaikan, sebanyak 405 kabupaten/kota ditargetkan bebas malaria pada akhir 2024. Jumlah ini naik 1,08 persen dari sebelumnya 372 kabupaten/kota yang dinyatakan mencapai eliminasi malaria pada 2022.
”Kita masih menghadapi sejumlah tantangan dan kendala untuk mencapai target itu, seperti pembiayaan program malaria yang belum merata dan sejumlah kabupaten/kota yang stagnan mencapai eliminasi malaria,” kata Imran pada konferensi pers Hari Malaria Sedunia bertema ”Waktunya Mewujudkan Bebas Malaria: Investasi, Inovasi, Implementasi” yang diselenggarakan secara daring, Selasa (2/5/2023).
Lebih lanjut, kata Imran, di beberapa kabupaten/kota yang tingkat endemisitasnya sudah tidak terlalu tinggi, masyarakat dan pemerintah daerah menjadi lengah. Malaria tidak lagi menjadi perhatian. Alhasil, akan sulit membebaskan wilayah endemis menjadi bebas malaria.
Tantangan lain yang juga dihadapi adalah terbatasnya peran lintas sektor dan lintas program dalam penanggulangan malaria termasuk swasta. Kemudian, eliminasi malaria terkendala wilayah geografi yang sulit dan terpencil, khususnya wilayah Indonesia bagian timur.
Kegiatan program eliminasi 1-2-5 dan surveilans migrasi belum optimal khususnya dalam hal pemetaan daerah berisiko serta fokus penanggulangan malaria. Selain itu, penanggulangan vektor terpadu juga belum optimal ditambah ketersediaan logistik, seperti obat dan alat skrining atau alat penapisan malaria yang masih diimpor dari China.
Program eliminasi 1-2-5, menurut situs internet Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah pada hari pertama kasus malaria diperiksa dan diinformasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Investigasi epidemiologi akan diluncurkan pada hari kedua sebagai dasar intervensi epidemiologi pada hari kelima.
Secara terpisah, dosen Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Risalia Reni Arisanti, berpandangan, eliminasi malaria di kabupaten/kota yang stagnan banyak dipengaruhi oleh sistem.
”Diperlukan dukungan teknis dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kemenkes, dan organisasi nirlaba lokal yang dapat membantu mengurangi masalah stagnasi tersebut. Meskipun demikian, saya yakin target eliminasi pada akhir 2024 dapat terwujud,” tutur Risalia saat dihubungi pada Selasa (2/5/2023).
Strategi penanggulangan malaria dibutuhkan demi mencapai target eliminasi. Hal itu, antara lain, penjaminan mutu pengobatan dan pengendalian vektor terpadu, seperti penggunaan kelambu berinsektisida. Kemudian, penguatan surveilans, seperti peningkatan penemuan kasus malaria.
Komitmen pemerintah pusat dan daerah eliminasi malaria serta pencegahan kembali sangat dibutuhkan. Di sisi lain, masyarakat juga perlu aktif berperan dalam perubahan perilaku dan penemuan kasus secara aktif oleh kader malaria. Sistem kesehatan peru diperkuat serta penelitian dan inovasi perlu dikembangkan.
Pada 2021, Organisasi Kesehatan Dunia meresmikan vaksin RTS,S atau Mosquirix untuk mengatasi malaria pada anak. Setelah munculnya vaksin RTS,S, para peneliti dari University of Oxford dan mitra mereka melaporkan temuan baru dari uji coba fase 2b pemberian dosis booster dari kandidat vaksin malaria, R21/Matrix-M pada 7 Desember 2022. (Kompas.id, 12/9/2022).
Hasilnya, dosis booster pada satu tahun setelah rezim tiga dosis utama mempertahankan kemanjuran tinggi terhadap penyakit malaria pada anak. Sejumlah negara, seperti Nigeria dan Ghana, telah menerbitkan izin penggunaan vaksin malaria, salah satunya R21 buatan Oxford tersebut.
Di sisi lain, saat ini Indonesia masih mengacu pada vaksin rekomendasi WHO, yaitu RTS,S. Namun, Kemenkes juga belum mencantumkan vaksin itu sebagai salah satu program imunisasi pencegahan malaria.
Ketua Tim Kerja Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI Helen Dewi Prameswari menyatakan, pihaknya terus mengikuti perkembangan vaksin RTS,S sejak diresmikan pada 2021 silam, bukan R21.
”Tepat saat diresmikannya vaksin RTS,S ke dunia, kami langsung merespons dengan berkirim surat ke WHO agar Indonesia mendapatkan jatah vaksin tersebut. Namun, vaksin itu belum diperuntukkan bagi negara lain, selain Afrika,” ucap Helen.
Vaksin RTS,S dan R21 masih difokuskan untuk negara Afrika yang merupakan negara dengan jumlah kasus malaria terbesar di dunia. Sebanyak 234 juta (95 persen) dari 247 juta kasus malaria global berasal dari Afrika pada 2021.
Produksi vaksin RTS,S yang saat ini menjadi acuan Indonesia, kata Helen, masih terbatas, yakni hanya 15 juta per tahun, sedangkan kebutuhan global mencapai 100 juta per tahun. Alhasil, Indonesia belum berkesempatan mendapatkan stok vaksin RTS,S tersebut.