Tanggung jawab besar mencerdaskan kehidupan bangsa tak menjamin guru dibekali kemewahan fasilitas. Mereka masih dibelenggu beragam keterbatasan. Guru di pelosok daerah menggali kreativitas menembus batasan-batasan itu.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Di ruangan berdinding dan berlantai papan, Nurhani Tawan (59) sibuk mengajar siswa-siswanya di kelas I SD Negeri 008 Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Rabu (12/4/2023). Ia sedang mengajarkan muridnya melafalkan bunyi-bunyi huruf dan menuliskan cerita pendek.
Akan tetapi, Nurhani tak menerapkan metode pembelajaran seragam untuk semua siswa. Ia menyadari, setiap murid mempunyai keterbatasan masing-masing sehingga memerlukan pendekatan belajar sesuai kebutuhan.
Tidak semua anak tertarik dengan cara belajar secara naratif. Jadi, diperlukan medium atau alat peraga sehingga siswa dan guru berinteraksi aktif dalam pembelajaran.
Agar siswa lebih mudah mengenali huruf, Nurhani menggunakan puzzle huruf. Beberapa siswa kemudian diminta menyusun puzzle dari huruf A-Z. Setelah itu, siswa melafalkan bunyi setiap huruf.
”Kalau cuma menghafal mungkin gampang. Namun, di sekolah, anak-anak harus bisa mengenali huruf dan membunyikannya. Agar mereka senang mempelajarinya, dibutuhkan cara-cara yang membuat siswa tidak merasa tertekan, tetapi seperti sedang bermain,” katanya.
Pembelajaran interaktif tersebut diterapkan Nurhani dan guru-guru lainnya sejak lima tahun lalu. Saat itu, sekolahnya bekerja sama dengan Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI). Program ini merupakan kemitraan antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia.
Meskipun tahun depan memasuki masa pensiun, Nurhani masih bergairah untuk terus belajar metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Lebih dari 30 tahun mengabdi sebagai guru, ia sudah terbiasa dipusingkan dengan perubahan kurikulum pendidikan.
Berbagai alat peraga atau medium belajar dipakai untuk menciptakan pembelajaran menyenangkan. Siswa pun lebih dominan di kelas. Dengan begitu, pembelajaran tidak lagi searah hanya berdasarkan kemauan guru.
”Jadi, di masa sekarang, siswa menjadi pusat pembelajaran. Sementara guru memfasilitasi sesuai kebutuhan siswa yang diperoleh melalui asesmen,” ujarnya.
Pembelajaran berbasis visual juga efektif membantu siswa memahami pelajaran. Namun, guru tidak dilengkapi dengan teknologi pendukung seperti proyektor untuk menampilkan obyek-obyek gambar. Jaringan internet di sekitar sekolah itu juga sangat terbatas.
Keterbatasan itu tak membuat Juliana (50), guru kelas kelas III SD Negeri 008 Tanjung Palas Timur, mengeluh. Dalam pelajaran membaca, misalnya, ia menggunakan buku bercerita bergambar yang dibacakan secara nyaring.
Ia membaca buku cerita sambil duduk di bangku. Sementara siswa-siswanya berlesehan di lantai papan beralas karpet plastik. Ketika lembar demi lembar halaman buku dibuka, sesekali siswa diminta untuk menyebutkan aktivitas yang terjadi pada gambar di buku tersebut.
Meskipun tahun depan memasuki masa pensiun, Nurhani masih bergairah untuk terus belajar metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Lebih dari 30 tahun mengabdi sebagai guru, ia sudah terbiasa dipusingkan dengan perubahan kurikulum pendidikan.
Selesai membaca buku cerita, Juliana membagikan potongan kertas bergambar beberapa obyek tertentu. Kemudian muridnya diminta menyusun potongan gambar tersebut berdasarkan alur cerita yang baru dibacakan.
”Anak-anak umumnya lebih suka melihat gambar dibandingkan teks. Cara ini yang kami perkuat agar anak-anak senang dan tidak cepat bosan,” ucapnya.
Akan tetapi, Juliana cukup kesulitan mencari gambar yang sesuai dengan materi pembelajaran. Dia belum terbiasa mengakses internet untuk mencari referensi gambar.
”Guru yang sudah tua seperti saya selalu kesulitan kalau berkaitan dengan teknologi. Jadi, kami sering minta tolong ke guru-guru muda,” jelasnya.
Juliana juga menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Para siswa dibagi dalam lima kelompok berdasarkan tingkatan kompetensinya. Pembagian ini sejalan dengan Kurikulum Merdeka yang diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Di awal semester I tahun ajaran 2022/2023, masih terdapat 13 siswa yang berada di kelompok pramembaca. Dalam kategori ini, siswa belum fasih mengenal huruf sehingga masih kesulitan mengeja. Sementara sembilan siswa masuk kelompok membaca lancar dan enam siswa sudah mahir membaca.
Saat ini, tinggal tujuh siswa yang berada di kelompok pramembaca. Adapun yang masuk kelompok mahir membaca mencapai 13 siswa.
Nyala inovasi pembelajaran
Ketika pertama kali ditugaskan di Sekolah Dasar Negeri 026 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, pada 2015, Sudarmuji (35), menyadari berbagai keterbatasan di sekolah itu. Ketimpangan fasilitas ataupun kualitas pembelajaran dibandingkan sekolah di kota-kota besar tak bisa disembunyikan.
Akan tetapi, ia tak ingin mengutuk keadaan. Guru kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 14 Mei 1987, itu justru tertantang melahirkan gagasan dan memantik nyala inovasi demi meningkatkan capaian pembelajaran siswa-siswanya.
”Yang pertama kali dilakukan adalah mengajak siswa terlibat dalam pembelajaran. Selama ini, siswa lebih sering pasif di kelas,” ucapnya.
Empat tahun lalu, ia mencetuskan penggunaan Jemuran Literasi Murid (Jelimu) dalam pembelajaran. Alat ini terdiri dari dua rak buku vertikal yang dimanfaatkan sebagai tiang. Kedua tiang itu dihubungkan dengan tali yang digunakan seperti jemuran.
Jelimu diletakkan di dalam kelas di samping pojok baca. Siswa selalu melihatnya setelah selesai pelajaran sekolah.
Hasil tugas siswa digantungkan atau dijemur di tali tersebut. Kebanyakan lembaran tugas karya murid disertai dengan berbagai gambar sehingga menarik untuk dilihat.
”Dengan adanya Jelimu, siswa bisa memantau pengalaman pembelajaran mereka. Dengan sendirinya, mereka sedang menyusun portofolio dari tugas-tugas yang dikerjakan,” jelasnya.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, esensi dari Kurikulum Merdeka adalah mengetahui kebutuhan belajar siswa. Oleh karena itu, diperlukan asesmen diagnostik sejak awal.
Kurikulum Merdeka mengasah kreativitas guru untuk menerapkan metode pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Mereka pun dituntut berinovasi, termasuk dalam menggunakan beragam perangkat pembelajaran.
Di tengah merosotnya capaian pembelajaran akibat terdampak pandemi Covid-19, guru-guru di pelosok daerah mempunyai beban berlipat untuk memulihkannya. Mereka memantik kreativitas dalam keterbatasan agar pendidikan generasi masa depan bangsa tidak semakin rapuh.