Di tengah suhu panas yang tinggi, kecukupan konsumsi air minum pada anak menjadi sangat penting. Selain itu, hindari paparan sinar matahari langsung pada anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cuaca panas yang terjadi beberapa hari terakhir membuat tubuh menjadi mudah lemas. Dalam jangka panjang, cuaca panas ini bisa berdampak buruk pada kesehatan tubuh, termasuk pada anak-anak. Itu sebabnya pastikan anak tetap terhidrasi dengan baik serta dianjurkan untuk tidak terlalu lama berada di bawah sinar matahari langsung.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso di Jakarta, Kamis (27/4/2023), mengatakan, cuaca panas yang tidak biasa seperti saat ini membuat tubuh membutuhkan cairan yang lebih banyak. Pada anak, kebutuhan cairan pun harus dipastikan tercukupi, terutama pada anak yang sudah mulai melakukan banyak aktivitas di luar ruangan.
”Saat cuaca ekstrem begini, hal pertama yang harus diperhatikan adalah memastikan anak terhidrasi dengan baik. Pastikan cairan elektrolit dalam tubuh masih cukup. Selain itu, anak juga jangan terlalu lama terkena paparan sinar matahari langsung,” tuturnya.
Kebutuhan air minum pada anak berbeda dengan usia dewasa. Kebutuhan air semakin besar pada usia anak yang lebih dini. Pada anak usia satu tahun pertama, volume air total dalam tubuh mencapai 65-80 persen dari berat badannya. Jumlah itu semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia, yakni menjadi 55-60 persen pada usia remaja.
Diperkirakan, bayi usia 0-6 bulan memerlukan cairan 700 mililiter (mL) per hari yang didapatkan dari ASI. Sementara pada bayi usia 7-12 bulan memerlukan cairan sekitar 800 mL per hari. Anak usia 1-3 tahun memerlukan setidaknya 1.300 mL cairan per hari, anak usia 4-8 tahun sebanyak 1.700 mL per hari, anak usia 9-13 tahun sebanyak 2.100-2400 mL per hari, serta anak usia 14-18 tahun sebanyak 2.300-3.300 mL per hari. Cairan ini dapat berasal dari makanan ataupun minuman.
Pastikan cairan elektrolit dalam tubuh masih cukup. Selain itu, anak juga jangan terlalu lama terkena paparan sinar matahari langsung.
Kebutuhan cairan tersebut akan semakin meningkat dalam kondisi tertentu, seperti ketika berolahraga, berpergian jauh, serta cuaca ekstrem, baik di cuaca panas maupun dingin. Anak akan lebih mudah mengalami dehidrasi dibandingkan usia dewasa karena sensibilitas rasa haus yang dimiliki lebih rendah. Pada usia dini, anak juga belum dapat mengekspresikan rasa hausnya dengan baik.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Gastro-Hepatologi IDAI, Himawan Aulia Rahman, menuturkan, orangtua sebaiknya lebih memperhatikan tanda dari dehidrasi pada anak. Adapun tanda dehidrasi pada anak, antara lain, merasa haus, berkurangnya produksi urine, urine yang berwarna pekat, mata cekung, kurangnya produksi air mata ketika menangis, kulit kering, serta kesadaran yang menurun.
Kondisi tersebut perlu segera ditangani. Anak yang mengalami dehidrasi akan mudah merasa lemas. Biasanya anak juga cenderung lebih mudah tidur. Pada kondisi dehidrasi yang berat, anak bisa mengalami syok yang dapat mengancam jiwa.
”Pada beberapa anak, kondisi panas yang ekstrem juga membuat anak mudah mengalami mimisan, terutama pada anak yang pembuluh darah di hidungnya tipis. Untuk itu, pada kondisi anak seperti ini sebaiknya jangan terlalu terpapar sinar matahari langsung,” kata Himawan.
Penggunaan tabir surya bisa diberikan pada anak untuk mencegah paparan sinar ultraviolet yang berbahaya. Meski begitu, menurut Himawan, menghindari anak terkena matahari langsung lebih baik dibandingkan dengan penggunaan tabir surya yang terlalu sering, khususnya pada bayi atau anak usia dini.
Piprim menambahkan, kebutuhan nutrisi pada anak juga harus tercukupi. Konsumsi makanan yang mengandung protein hewani tinggi serta sayuran hijau sangat dianjurkan bagi anak. Makanan yang berisiko menimbulkan penyakit, seperti makanan cepat saji dan makanan ultra proses juga sebaiknya dihindari.
Kondisi cuaca saat ini cenderung ekstrem. Selain panas yang tinggi, hujan pun terkadang masih terjadi. Cuaca yang tidak menentu seperti itu rentan menimbulkan penyakit. Karena itu, daya tahan tubuh anak perlu dipastikan terjaga dengan baik. Selepas mudik lebaran, anak juga rentan mengalami kelelahan. Orangtua pun diharapkan bisa lebih memperhatikan waktu istirahat anak. Pastikan pula anak memiliki waktu tidur yang cukup.
Himawan menyampaikan, hal lain yang juga patut diperhatikan pada kondisi kesehatan anak setelah libur Lebaran adalah munculnya gangguan pencernaan. Saat libur Lebaran, anak biasanya akan mengalami perubahan pola kehidupan sehari-hari. Anak juga cenderung kelelahan, stres, makan tidak teratur, dan kurang tidur.
Akibatnya, sejumlah persoalan kesehatan yang terkait dengan pencernaan bisa terjadi. Itu seperti, diare, sakit perut, muntah, konstipasi atau sembelit, intoleransi makanan dan alergi, serta keracunan makanan. ”Untuk itulah, orangtua sebaiknya harus lebih waspada akan berbagai gangguan pencernaan tersebut. Penanganan yang tepat perlu segera diberikan untuk mencegah kondisi yang lebih buruk,” ujarnya.