Para dosen merasa lelah dengan berbagai perubahan kebijakan, terutama pada urusan administratif. Masa depan perguruan tinggi dan dosen Indonesia tak kunjung bergerak maju.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·8 menit baca
DOKUMENTASI CHANGE.ORG
Tangkapan layar petisi para dosen Indonesia di laman www.change.org. Dosen Indonesia digambarkan sebagai dosen super dengan banyak beban administrasi, tetapi belum fokus pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan dosen.
Pada April 2023 ini, grup media sosial dosen dipenuhi dengan perbincangan dan komentar tentang para dosen yang merasa kena prank secara nasional. Awalnya ramai tentang para dosen di perguruan tinggi negeri dan swasta yang panik. Hal ini lantaran dalam waktu yang singkat di bulan Ramadhan, mereka harus bisa memasukkan dokumen-dokumen pendukung secara daring untuk pengajuan penilaian angka kredit dosen agar tidak hangus. Kini, soal pengembalian bantuan upah subisidi hingga tunjangan sertifikasi dosen yang belum cair secara merata.
Ketidakberdayaan dosen yang lagi-lagi harus mengurusi soal administrasi yang memakan waktu cukup lama, berbuah petisi di laman change.org hingga Rabu (19/4/2023) kemarin sudah didukung lebih dari 10.000 orang. Akhirnya, selang hitungan hari ketika protes dosen mencuat secara nasional, tenggat waktu pengajuan penilaian angka kredit (PAK) agar tidak hangus di tingkat perguruan tinggi yang awalnya ditetapkan 15 April 2023 diundur sampai 15 Mei 2023. Targetnya agar tetap memenuhi tenggat waktu Kemenpan dan RB maksimal 30 Juni 2023. Aturan ini pun diberlakukan untuk dosen berstatus aparatur sipil negara.
Saat urusan administrasi untuk mengurusi pengajuan PAK agar tidak hangus, yang bisa berdampak pada kenaikan pangkat/jabatan fungsional hingga sertifikasi dosen mereda, beredar kembali kisah para dosen yang merasa kena prank alias dikerjain secara mendadak oleh pemerintah. Ada edaran dari masing-masing Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti), Kemendikbudristek, di berbagai wilayah yang menyertakan nama-nama dosen yang harus mengembalikan bantuan subsidi upah (BSU).
Menjelang beberapa hari Lebaran, percakapan dosen kembali ramai soal kewajiban mengembalikan BSU sebesar Rp 1,692 juta yang disalurkan Kemendikbudristek pada Desember 2020. Alokasi BSU diberikan bagi para dosen yang terdata di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19. Bantuan diberikan untuk dosen yang gajinya di bawah Rp 5 juta per bulan dan belum menerima sertifikasi dosen.
”Prank lagi, menyedihkan. Yang salah siapa, yang kena dosen,” kata seorang dosen DW.
Di LL Dikti Wilayah III DKI Jakarta, misalnya, ada 214 dosen PTS yang harus mengembalikan BSU. Hal ini untuk menindaklanjuti surat Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendibudristek pada 26 Januari 2023 perihal Tindak Lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
”Kepada pendidik dan tenaga kependidikan penerima BSU yang namanya terlampir untuk melakukan penyetoran ke kas negara sebelum tanggal 10 Mei 2023. Demikian untuk dapat dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab,” ujar Kepala LL Dikti Wilayah III Paristiyanti Nurwardani dalam suratnya tertanggal 13 April.
Seruan bagi dosen PTS untuk mengembalikan BSU juga disampaikan Kepala LL Dikti Wilayah XVI (Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah) Munawir Razak. Ada sekitar 100 dosen dan tenaga kependidikan yang wajib mengembalikan dana yang sudah masuk ke rekening. Para dosen yang menerima upah di atas Rp 5 juta/bulan sebenarnya tidak masuk dalam kriteria atau eligible, tetapi ada yang menerima.
Baru (selesai) operasi sesar, disuruh duduk di depan laptop selama berjam-jam, tapi kebijakan seketika berubah.
”Sebagian besar dari para dosen yang namanya termasuk harus mengembalikan, tidak pernah klaim. Alias dananya masih ada di bank karena mereka tidak eligible menerima. Saat itu, ada yang sedang tugas belajar kuliah di luar negeri, tapi tetap terdata sebagai penerima BSU karena status di PD Dikti masih aktif,” ujar Munawir.
Menurut Munawir, para dosen tetap diminta untuk mengembalikan. Ada misalnya dosen-dosen penerima BSU di salah satu PTS yang gajinya sudah Rp 10 juta tetap mendapat BSU.
”Kami tinggal mendata saja untuk identifikasi. Uangnya memang tidak pernah masuk ke rekening dosen atau kampus, tapi masih ada di bank penyalur,” jelas Munawir.
Kebijakan BSU bagi guru, dosen, dan tenaga kependidikan non-PNS diambil pemerintah untuk membantu kehidupan mereka karena dampak Covid-19. Bantuan yang diberikan pemerintah senilai Rp 1,8 juta. Data pemberian BSU berdasarkan data Kemendikbudristek pada 30 Juni 2020 yang dipadankan data BPJS dan Kartu Prakerja Ketenagkerjaan guna menghindari tumpang tindih bantuan.
Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikbudristek Abdul Kahar mengatakan, para dosen dan tenaga kependidikan penerima BSU yang diminta mengembalikan berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mereka dinilai tidak memenuhi syarat karena berpenghasilan di atas Rp 5 juta/bulan. Adapun ketentuan penerima BSU, khusus untuk dosen yang berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta.
”Data yang kami gunakan adalah data PD Dikti. Boleh jadi mereka tidak meng-update data penghasilannya sehingga datanya tertarik dari sistem,” ujar Kahar.
Menurut Kahar, sekarang tinggal sedikit yang belum mengembalikan karena sudah banyak penerima yang melaporkan ke Kemendikbudristek. ”Ada yang memang mengembalikan dan ada hanya memberi data pendukung kalau benar dia berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta. Jadi, data yang disampaikan BPK tidak semuanya mengembalikan, justru yang lebih banyak dosen yang bersangkutan menyampaikan surat keterangan yang membuktikan bahwa dia berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta yang diketahui oleh unsur pimpinan perguruan tinggi tempat dia mengajar,” tutur Kahar.
Seorang dosen perempuan R mengaku namanya termasuk yang harus mengembalikan. Dia sudah mengajukan keberatan dan melampirkan slip gaji masih di bawah Rp 5 juta dan belum menerima sertifikasi dosen (serdos), tapi tetap disuruh mengembalikan. Padahal, ada beberapa dosen yang mempunyai jabatan strategis di kampusnya juga ikut mengambil BSU padahal gaji sudah lebih dari ketentuan.
”Padahal gaji saya di bawah Rp 3 juta. Sempat mengulur waktu tapi ’diteror’ terus oleh pihak kampus dengan alasan menjaga nama baik lembaga,” ujar R.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah mahasiswa Teknik Kimia Program Studi Pengolahan Minyak dan Gas Bumi Politeknik Negeri Lhokseumawe (PNL), Lhokseumawe, Naggroe Aceh Darussalam, saat praktik simulator pengeboran dan pemasangan pipa tambang di laboratorium mereka, Selasa (28/2/2023).
Kisah berbeda disampaikan dosen pria AA. Menurut dia, BSU awal Covid-19 unutk dosen diserahkan tiga kali sebesar Rp 700.000/bulan. ”Saya juga dapat surat harus mengembalikan. Tetapi dengan mengajukan surat keterangan layak menerima dengan beberapa lampiran, urusannya selesai. Jadi tidak harus mengembalikan,” ujar AA.
Keluhan soal keuangan dari pemerintah untuk dosen menjelang Lebaran ini juga terkait tunjangan serdos yang belum diterima semua dosen yang berhak. Para dosen yang sudah serdos menerima tunjangan sebesar satu kali gaji pokok/bulan. Ada dosen di wilayah LL Dikti 1 (Sumatera Utara) menyampaikan ada dosen yang sudah menerima untuk Januari-Feberuari, tapi yang Maret-April belum menerima.
Harapan untuk menanti tunjangan serdos cair sebelum Lebaran tiba juga terus mengemuka. ”Kami yang lulusan serdos tahun 2022 belum juga cair, masih menunggu. Semoga saja sebelum Lebaran ini cair,” harap seorang dosen.
Demotivasi
Beragam kebijakan di kalangan dosen yang sarat administrasi, sering kali dengan ancaman terhadap karier maupun pembayaran tunjangan, membuat banyak dosen yang terdemotivasi. Para dosen Indonesia diminta menjadi dosen super dengan segudang tugas, termasuk melaksankan Tri Dharma (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Pelaporan pun dilakukan berkali-kali di berbagai aplikasi, mulai dari aplikasi di perguruan tinggi, LL Dikti, hingga yang dimiliki Kemendikbudristek. Namun, berbagai aplikasi tersebut nyatanya tidak terkoneksi dan terus menuntut pengisian berulang oleh dosen.
Dengan berseloroh ada dosen yang mengaku sampai lupa akun dan kata sandi beragam aplikasi yang harus dimiliki dosen. Ada Sister untuk melaporkan beban kerja dosen, untuk pelaporan publikasi ada Sinta yang terhubung dengan Garuda. Ada juga untuk hibah penelitian memaki aplikasi Bima. Untuk mengajukan jabatan fungsional ada aplikasi lagi. Bahkan yang terbaru ada Seruni untuk pembayaran tunjangan serdos.
Saat keluar Permenpan dan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional Dosen dengan penyesuaian PAK terhitung Januari 2023, para dosen pun terkena imbasnya. Ditjen Diktiristek mengeluarkan aturan bagi semua dosen untuk mengajukan PAK yang belum pernah diajukan hingga 31 Desember 2022. Tenggatnya mepet. Padahal permintaan dokumen sebagai bukti harus disiapkan, bahkan ada yang 10 tahun lalu. Yang menyulitkan, dokumen harus diunggah lagi secara manual di sistem daring yang berbeda dari yang selama ini tersedia.
”Dengan kewajiban seabrek dosen di Indonesia, rasanya jadi demotivasi. Bagaimana tidak, jenjang karier dosen dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, untuk bisa menjadi guru besar. Tapi obral untuk pejabat jadi doctor honoris causa dan profesor kehormatan begitu mudah,” kata seorang dosen.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Dosen dan profesor dari perguruan tinggi Indonesia mendapat dukungan untuk meningkatkan publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi melalui program World Class Professor (WCP). Sejumlah peserta WCP 2018 berbagi pengalaman menjalankan kolaborasi publikasi bersama profesor dalam dan luar negeri berkelas dunia di acara seminar tahunan WCP 2018 di Jakarta, Kamis (15/11/2018).
Kepanikan akan angka kredit hangus jika tidak diajukan membuat panik seorang dosen perempuan D. Dirinya baru melahiran sesar. Lantaran takut angka kredit/KUM-nya hangus, dia rela lembur. Namun, tiba-tiba pengumuman pengajuan PAK sesuai Permenpan dan RB terbaru diperpanjang dan hanya untuk ASN.
”Semoga si pembuat peraturan selalu sehat ya Pak, selalu lancar urusannya, biar enggak prank kebijakan lagi ke kami. Baru (selesai) operasi sesar, disuruh duduk di depan laptop selama berjam-jam, tapi kebijakan seketika berubah,” ujar D.
Meskipun perasaan kesal dengan kebijakan sarat beban administratif dengan ancaman serta waktu yang mendadak, sejumlah dosen yang merasa di-prank tetap melihat sisi positif. ”Hikmahnya adalah jadi bisa mengurus kenaikan jabatan fungsional yang sudah lama terlupakan,” ujar D.
Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Satria Unggul Wicaksana P menyampaikan dalam pernyataan sikapnya KIKA menilai ada cara pandang pemerintah/Diktiristek yang selama ini keliru, seolah-olah seperti rektor/dan atau tim sumber daya manusia universitas seluruh Indonesia. Seharusnya para dosen dipandang sebagai mitra yang sejajar bukan seperi bawahan.
”Ada kekhasan dari perguruan tinggi dibandingkan dengan lembaga birokrasi lainnya. Upaya penyeragaman aspek birokrasi pada perguruan tinggi dan dosen merugikan masa depan perguruan tinggi Indonesia dan para dosen,” ujar Satria.