Layanan Pengurangan Dampak Buruk Narkoba Masih Terbatas
Stigma dan kriminalisasi menghambat layanan pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba. Karena itu, perlu perubahan cara pandang dalam merumuskan kebijakan narkoba.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·4 menit baca
MELBOURNE, KOMPAS — Layanan pengurangan dampak buruk narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di berbagai negara, termasuk Indonesia, amat terbatas. Selain karena aspek sosial dan kesehatan belum jadi prioritas kebijakan narkoba, situasi ini dipicu oleh kuatnya stigma dan kriminalisasi terhadap pengguna narkoba.
”Layanan pengurangan dampak buruk narkoba di Indonesia amat terbatas dan baru tersedia di kota besar,” kata Human Right Lead Harm Reduction International Ajeng Larasati, di sela-sela Harm Reduction International Conference, di Melbourne, Australia, Senin (17/4/2023).
Padahal, layanan pengurangan dampak buruk narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) berfungsi untuk melindungi pengguna narkoba dan orang sekitarnya dari penularan berbagai penyakit infeksi, seperti HIV dan AIDS serta hepatitis C yang ditularkan melalui pemakaian jarum suntik bergantian.
Layanan pengurangan dampak buruk narkoba di Indonesia amat terbatas dan baru tersedia di kota besar.
Di Indonesia layanan pengurangan dampak buruk narkoba diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 57 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Terapi Rumatan Metadona. Terapi pengganti opiat ini untuk mengendalikan perilaku ketergantungan pada opiat dan mengurangi penularan HIV dan AIDS.
Namun, hingga kini implementasinya masih skala kecil. Layanan terapi metadona untuk mengurangi dampak buruk (harm reduction) penggunaan narkoba baru tersedia di beberapa puskesmas dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia. ”Layanan baru tersedia di kota besar,” ujarnya.
Hal itu mencerminkan fokus kebijakan narkoba di Indonesia masih pada aspek penegakan hukum sehingga cenderung memberi sanksi hukum pidana ataupun kewajiban menjalani rehabilitasi. ”Padahal, hanya 10 persen dari total pengguna narkoba yang kecanduan dan butuh rehabilitasi,” kata Ajeng.
Intervensi kesehatan
Staf Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Awaludin Muzaki menambahkan, kebanyakan tersangka kasus narkoba cenderung ditahan dibandingkan ditetapkan harus menjalani rehabilitasi. ”Perlu ada alternatif penahanan berbasiskan intervensi kesehatan,” tuturnya.
”Pendekatan kebijakan narkoba perlu mengedepankan aspek layanan sosial dan kesehatan dan hentikan kampanye kriminalisasi pengguna,” ucap Ajeng. Selain jumlah fasilitas layanan pengurangan dampak buruk narkoba terbatas, kuatnya stigma di masyarakat membuat para pengguna narkoba enggan mendapat layanan itu.
Persoalan lainnya adalah layanan terapi mengurangan dampak buruk narkoba menggunakan metadona yang mesti dikonsumsi setiap hari di bawah pengawasan tenaga kesehatan di puskesmas. Hal ini menghambat aktivitas sehari-hari pengguna narkoba misalnya bersekolah maupun bekerja.
”Kuantitas dan kualitas layanan pengurangan dampak buruk narkoba sudah saatnya ditingkatkan,” kata Ajeng. Sebagai contoh, pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) diberikan paket terapi metadona agar tidak perlu setiap hari pergi ke puskesmas.
Secara terpisah, Direktur Medik Ruang Injeksi yang Disupervisi tenaga medis North Richmond Community Health Australia Nico Clark menuturkan, ruang penyuntikan yang disupervisi tenaga medis berperan penting dalam layanan pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba.
”Keberadaan ruang penyuntikan ini untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan akibat overdosis serta solusi untuk pendampingan sosial dan kesehatan. Hal ini juga mengurangi layanan kegawatdaruratan akibat overdosis dan mengurangi penyebaran virus yang ditularkan lewat darah,” ujarnya.
Stigma
Menurut Ketua Komisi Global untuk Narkoba Helen Clark, inisiatif pengurangan dampak buruk narkoba menghadapi sejumlah tantangan kebijakan ataupun norma budaya dan masyarakat, termasuk stigma terhadap pengguna narkoba.
”Banyak pembuat kebijakan enggan menerima bahwa pemberantasan total narkoba tidak perlu dan mustahil. Mereka mungkin menganggap bahwa mendukung pengurangan dampak buruk membenarkan penggunaan narkoba. ”Butuh perubahan cara memandang masalah narkoba,” ujarnya.
Meski demikian, pengurangan dampak buruk berhasil dilakukan. Laporan Global State of Harm Reduction 2022 menunjukkan saat ini, 105 negara menyertakan referensi pendukung untuk pengurangan dampak buruk dalam dokumen kebijakan nasional mereka.
Laporan tersebut mencatat peningkatan jumlah negara yang menerapkan layanan utama pengurangan dampak buruk seperti program jarum suntik dan pengoperasian ruang konsumsi obat. Sebanyak 92 negara menerapkan satu program jarum suntik (NSP) atau naik dari 86 negara pada tahun 2020.
Pemeriksaan napza merupakan alat lain yang dapat meminimalkan bahaya dan mencegah kematian. Banyak negara kini menawarkan layanan ini, terutama di festival dan klub, serta pusat pengurangan dampak buruk dan pertukaran jarum suntik. Selandia Baru jadi negara pertama yang melegalkan pemeriksaan narkoba.
”Kami menyerukan pengembangan kerangka hukum nasional dan praktik seputar narkoba yang sejalan dengan norma hak asasi manusia. Karena itu, harus ada akses universal ke layanan pengurangan dampak buruk dan obat esensial terkontrol untuk pereda nyeri dan perawatan paliatif,” ujarnya.
Selain itu perlu dekriminalisasi penggunaan dan kepemilikan narkoba untuk penggunaan pribadi, dan diakhirinya kekerasan oleh polisi. Penahanan berlebihan dan sanksi tak proporsional, termasuk penerapan hukuman mati, harus dihentikan. ”Inklusi dan kesetaraan harus jadi prinsip dasar semua kebijakan,” kata Clark.
”Kami juga merekomendasikan penyelarasan kebijakan narkoba dengan penerapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Strategi penguatan sistem kesehatan juga mesti memasukkan pengurangan dampak buruk napza sebagai pilar agar tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal dalam pembangunan,” ujarnya.