Pasien tuberkulosis resisten obat masih menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Kondisi Ini dapat menghambat pengobatan pasien.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Anak salah satu pasien membawa berkas dokumen seusai orangtuanya memeriksakan diri di Poliklinik Tuberkulosis Resisten Obat Rumah Sakit Umum Daerah Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (23/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pasien tuberkulosis resisten obat atau TBC RO masih menerima stigma negatif dan diskriminasi dari masyarakat. Hal ini dapat memperburuk kondisi pasien secara fisik dan psikis. Kondisi tersebut bahkan dikhawatirkan membuat pasien berhenti berobat.
Penyintas TBC RO sekaligus Ketua Yayasan Rekat Peduli Indonesia Ani Herna Sari bercerita, dirinya didiagnosis menderita TBC RO pada 2011. Saat itu, TBC RO menjadi momok bagi masyarakat, bahkan tenaga kesehatan. Ia pun tak luput dari stigma negatif hingga diskriminasi walau telah menjalani pengobatan.
Saat melahirkan pada 2012 di Surabaya, Jawa Timur, Ani tidak ditempatkan di ruang bersalin, tetapi di ruang isolasi TBC RO. Di ruangan itu ada satu pasien lagi yang belum mulai pengobatan, sementara Ani ada di bulan pengobatan ke-10. Situasi itu dikhawatirkan berdampak buruk bagi kesehatan Ani.
Stigma akan memengaruhi pelacakan kasus di lapangan, kepatuhan pasien untuk berobat, hingga keberhasilan pengobatan.
”Beruntung ada staf KNCV (Yayasan KNCV Indonesia) yang berjuang agar saya tidak ditempatkan di ruang isolasi. Alhamdulillah dipindah, tetapi masih di ruang paru-paru. Saya memaksa untuk pulang (dari rumah sakit) karena tidak diperlakukan seperti orang yang habis melahirkan,” kata Ani pada gelar wicara daring yang diadakan Stop TB Partnership Indonesia (STPI), Selasa (11/4/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas medis melakukan tes mantoux kepada warga dalam kegiatan Active Case Finding TBC di kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). Tes mantoux adalah tes yang dilakukan guna memeriksa ada tidaknya bakteri penyakit TBC pada tubuh seseorang.
Stigma juga melekat ke anak yang dilahirkan Ani secara prematur. Saat itu, anaknya mesti dirawat di rumah sakit selama delapan hari. Menurut Ani, anaknya dibiarkan minum susu sendiri dari botol yang disandarkan di sebelah kanan.
”Anak saya jadi harus menoleh ke kanan terus. Setelah delapan hari (kepalanya) miring ke kanan, kepalanya jadi rata di bagian kanan. Hal itu membuat saya benar-benar tidak bisa melupakan bagaimana perlakuan rumah sakit saat itu,” katanya.
Cerita Ani adalah salah satu stigma dan diskriminasi yang dialami pasien TBC RO. Ada pula bentuk lain, seperti dikucilkan lingkungan sekitar, dijauhi keluarga, diceraikan pasangan, bahkan ada pula yang mengalami diskriminasi di tempat kerja.
Dampak psikologis
Epidemiolog Universitas Udayana, Wayan Gede Artawan, mengatakan, TBC RO tidak hanya memberi dampak fisik, tetapi juga psikologis pada pasien. Stigma dan diskriminasi merupakan faktor risiko penyebab depresi dan kecemasan pada pasien. Itu sebabnya penanganan TBC RO mesti holistik dan mencakup kedua aspek tersebut.
”Dengan beban fisik saja sudah bisa menimbulkan kecemasan dan depresi, apalagi ditambah stigma dan diskriminasi,” ujar Artawan yang juga perwakilan Jaringan Riset Tuberkulosis (JetSet TB).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas medis memberi tanda pada lengan warga yang menjalani tes mantoux dalam kegiatan Active Case Finding TBC di kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). Kegiatan penampisan TBC ini menarget 200 warga di lingkungan tersebut.
Menurut Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia untuk Penanggulangan TBC (KOPI TB) Erlina Burhan, dampak stigma pada pasien TBC RO bisa jadi berbahaya. Stigma akan memengaruhi pelacakan kasus di lapangan, kepatuhan pasien untuk berobat, hingga keberhasilan pengobatan.
Adapun pasien TBC RO mesti berobat hingga tuntas untuk mencegah penularan dan perburukan penyakit. Selama ini, pengobatan berlangsung selama 9-24 bulan. Pasien mesti meminum belasan obat setiap hari. Pengobatan pun menimbulkan sejumlah efek samping, seperti mual, muntah, pusing, hingga halusinasi. Kompas mencatat bahwa pasien yang ”tidak kuat” berobat berisiko bunuh diri. Itu sebabnya, dukungan semua pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun pendukung pasien (patient supporter), dibutuhkan.
KRISTIAN OKA PRASETYADI
Jufri Larinda (31, kiri) berbincang dengan Heisye Kristin Rawung (38) di Puskesmas Bailang, Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, Rabu (9/6/2021). Petugas tuberkulosis (TBC) dan petugas laboratorium TBC itu mengeluhkan terhambatnya pemeriksaan spesimen dahak di Manado karena kerusakan infrastruktur kelistrikan di Puskesmas Paniki Bawah, puskesmas rujukan untuk pemeriksaan TBC.
Tanpa itu, pasien TBC RO berisiko menghentikan pengobatan di tengah jalan atau menolak diobati. Pasien yang tidak sembuh, tidak diobati, atau tidak terlacak berisiko menularkan penyakit ini.
Berdasarkan data Global TB Report 2022, kasus TBC RO di Indonesia diperkirakan 28.000 kasus. Namun, yang terdiagnosis hanya sekitar setengahnya. Adapun yang memulai pengobatan sekitar 8.000 pasien, sementara yang berobat hingga selesai diperkirakan hanya setengah dari 8.000 orang yang berobat.
”Selama masih banyak pasien TBC RO belum ditemukan, belum didiagnosis, dan belum dibantu obat sampai selesai, penularan akan terus terjadi,” ujar Ketua Yayasan STPI Nurul Nadia HW Luntungan.