Merayakan Adat untuk Menjaga Laut
Masyarakat Biak Karon menari-nari dan bernyanyi-nyanyi sepanjang hari untuk merayakan pesta besar atas kebersamaan. Dari yang muda hingga tua berbaur dalam satu tujuan, yakni menjaga budaya sekaligus laut mereka.
Kampungku Weruri yang kucintai/ Pasirnya hitam dan bersih.
Daun kelapa melambai-lambai / Memanggil kami pulange.
Pulange pulange/ Apa tempo kami pulange.
Kulihat dari jauh gunung Tambrauw terpele/ Apa tempo kami pulange.
Dengan penuh sukacita lagu ”Kampungku Weruri” itu dinyanyikan masyarakat keret Yappen di Kampung Werur, Distrik Bikar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya. Ada yang bertepuk tangan kecil, ada yang sambil menggendong anaknya, dan ada pula yang menggerakkan badannya ke kiri dan ke kanan.
Nyanyian tersebut seakan juga menjadi penanda keberhasilan dari pulangnya nelayan setelah setengah hari melaut. Tidak tanggung-tanggung, satu kapal kayu ukuran sedang hampir penuh dengan ikan tuna yang setiap ekornya bisa berbobot tiga sampai empat kilogram. Hasil laut memang menjadi salah satu komoditas utama bagi masyarakat Werur, selain hasil perkebunan.
Kisah itu yang kemudian menginspirasi kami di generasi sekarang ini untuk hidup damai bersama, baik secara internal antarkeret maupun dengan pihak lain.
Regina Mambrasar Yappen (63) atau yang biasa disapa Mama Regina tampak paling semangat bernyanyi. Ketika ditanya apa arti dari bait terakhir lagu tersebut, Mama Regina menjawab, ”Kapan kembali lagi. Seperti Nona, setelah pergi nanti kapan akan kembali lagi ke Werur?”
Kampung Werur merupakan salah satu kampung di Distrik Bikar yang terletak di pesisir utara Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya. Suku Biak Karon atau yang disebut suku Bikar sudah ada sejak tahun 1.500 silam. Mengutip cerita rakyat Koreri atau kehidupan abadi dari buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Provinsi Papua Barat (2020), suku ini awalnya berasal dari suku Biak yang bermigrasi dari daerah Biak Numfor ke Tambrauw.
Dikisahkan, saat itu terdapat enam perahu yang masing-masing dikemudikan keret (marga) dari suku bangsa Biak saat menuju Tanah Karon. Setiap perahu memiliki nama yang berbeda, yaitu perahu irombe dari keret Mayor, perahu manswan dari keret Mirino, perahu marbudi dari keret Mambrasar, perahu soar milik keret Paraibabo, perahu womok milik keret Yappen, dan perahu imponi milik keret Mar.
Seorang pendeta yang juga tokoh masyarakat di suku Biak Karon, Harold Maran (56), menuturkan, dari tradisi lisan disebutkan sebelumnya para leluhur dari berbagai keret hidup dalam permusuhan. Terkadang terjadi konflik antarkeluarga besar. Namun, para leluhur akhirnya memilih hidup bersama dan berdampingan satu dengan yang lain.
”Kisah itu yang kemudian menginspirasi kami di generasi sekarang ini untuk hidup damai bersama, baik secara internal antarkeret maupun dengan pihak lain. Semuanya demi membangun kampung kami menjadi lebih baik serta memastikan masa depan yang lebih baik bagi anak cucu,” katanya.
Sayangnya, tradisi turun-temurun dari para leluhur suku adat Biak Karon semakin dilupakan. Anak-anak kini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia untuk bahasa sehari-hari dan melupakan bahasa ibu mereka, bahasa asli Biak. Tidak hanya itu, tradisi lain, seperti tarian, makanan, serta kerajinan, juga sudah tidak banyak yang tahu.
Tradisi
Padahal, suku Biak Karon memiliki berbagai tradisi yang unik. Salah satunya tarian wor. Dalam tradisi lisan yang disampaikan tokoh adat setempat, Hans Mambrasar (64), tarian wor bisa digunakan sebagai penanda peperangan dimulai. Tarian ini sekaligus memiliki makna magis untuk mempersiapkan peperangan.
Tarian Wor juga bisa diartikan secara luas yang dilakukan sebagai tarian untuk pembayaran mas kawin (ararem), transaksi makan (fanfan), serta tarian adat. Tarian Wor ini memiliki nilai untuk mempererat hubungan manusia dengan Sang Pencipta ataupun hubungan antarsesama manusia dengan alam.
Selain itu, ada juga tarian khas Biak lain yang sudah jarang dipertunjukkan, yaitu Apen Bayeren. Apen memiliki arti batu yang dibakar, sementara bayeren berarti kesepakatan. Tarian ini dilakukan untuk menyatukan perbedaan frekuensi antara manusia dan bara batu.
Baca juga: Tumbuhkan Pemahaman Budaya Lewat Tari Tradisional
Ketika semua tidak lagi berbeda, bara batu yang diinjak tidak akan terasa panas. Dalam atraksi ini, sejumlah tokoh adat akan melafalkan neno-neno yang berarti pujian. Tarian ini memiliki filosofi sebagai persembahan dari manusia kepada Tuhan.
Hans menyampaikan, tradisi lain yang juga memiliki makna baik yang diajarkan leluhur adalah tradisi sasisen. Tradisi ini dilakukan dengan menutup dan melarang masyarakat mengambil hasil laut di suatu wilayah adat dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk memastikan sumber daya laut yang dilindungi bisa berkembang biak dengan baik. Tradisi ini sama dengan konsep konservasi wilayah laut.
Tradisi-tradisi tersebut sejatinya merupakan warisan yang tidak bernilai. Setiap tradisi mengandung makna tersendiri yang baik bagi masyarakat juga alam di sekitarnya. ”Kita harus kasih tahu anak cucu kita. Sekarang ini bukan situasi yang biasa. Ini sesuatu yang sudah hilang yang harus kita kembalikan lagi,” kata Hans.
Pesta besar
Keresahan akan pudarnya tradisi leluhur ini akhirnya menggugah para tetua adat suku Biak Karon untuk menggelar Festival Adat Munara Beba Byak Karon. Dalam bahasa Biak, munara beba berarti pesta besar. Festival pertama yang digelar di Kabupaten Tambrauw tersebut berlangsung pada 22-25 Maret 2023.
Baca juga: Festival Munara Beba Byak Karon Digelar
Ketua Pesta Adat Munara Beba Jonathan Yappen mengatakan, pesta adat ini bertujuan untuk membangkitkan kembali tradisi dan budaya suku Biak Karon kepada generasi muda yang selama ini mulai hilang. Pesta adat ini pun diharapkan bisa terus berlanjut.
”Sesuai dengan tema yang diangkat, kobe oser kosamrab ma kobawes yang artinya kita berkumpul, kita maju, dan kita membangun, kegiatan ini punya tujuan untuk memperkuat kebersamaan masyarakat adat Biak Karon,” tuturnya.
Dalam festival yang berlangsung selama empat hari tersebut, berbagai acara diselenggarakan. Itu antara lain tari-tarian, pidato berbahasa biak, pameran kuliner dan kerajinan tangan khas Biak Karon, lomba folksong lagu tradisional biak, lomba memancing tradisional, serta lomba dayung perahu adat. Pada lomba dayung perahu, setiap keret menggunakan perahu khas masing-masing lengkap dengan motif dan penandanya.
Pada perahu manswan dari keret Mirino misalnya, ada bentuk khas menyerupai kepala burung yang terletak di ujung perahu. Kepala keret Mirino, Andarias Tommi Mirino (59) mengatakan, manswan merupakan burung laut yang oleh nenek moyang keret Mirino dipercaya sebagai penunjuk arah ketika berlayar. Burung manswan menjadi tanda untuk sampai ke daratan yang hendak dituju. Itu sebabnya berdasarkan pengetahuan lisan yang diterima Andarias, perahu dari keret Mirino selalu berada di paling depan sebagai penentu arah bagi perahu-perahu lainnya.
Sasisen
Tradisi sasisen dilakukan sebagai puncak Festival Adat Munara Beba Byak Karon. Kegiatan ini sengaja diletakkan pada akhir acara sebagai tanda bahwa upaya untuk menjaga kelestarian laut baru bisa dilakukan jika masyarakat adat sudah memiliki kebersamaan dan kesatuan yang kuat.
Tradisi sasisen menjadi penting bagi masyarakat adat Biak Karon karena pada 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memfasilitasi mengakui dan melindungi 27 masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, salah satunya masyarakat hukum adat (MHA) Biak Karon di Werur Raya. Aturan tersebut kemudian diturunkan dalam Peraturan Bupati Tambrauw Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Werur di Distrik Bikar dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Berbasis Hukum Adat Kabupaten Tambrauw.
Adapun luas wilayah pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PPBM) di wilayah MHA Biak Karon di Werur Raya mencapai 14.000 hektar. Wilayah ini amat penting bagi keseimbangan ekosistem perairan di sekitarnya karena memiliki tutupan karang yang masih baik. Selain itu, wilayah ini juga menjadi titik kemunculan biota laut yang dilindungi, seperti manta, hiu, serta dugong.
Hans menuturkan, penutupan sasi atau penutupan laut yang dilakukan di wilayah PPBM MHA Biak Karon dilakukan selama satu tahun penuh. Selama kurun waktu tersebut, masyarakat dilarang mengambil hasil laut, berupa lola atau kerang, teripang, udang, siput mata bulan, penyu, dan juga paniki atau kelelawar. Karang pun menjadi biota yang dilindungi sehingga perahu atau kapal yang melintas tidak diperbolehkan menurunkan jangkar yang dapat merusak karang.
Hukum adat diberlakukan bagi siapa pun yang melanggar aturan tersebut. Selain sanksi sosial, denda juga diberikan bagi pelanggar berupa gelang atau piring porselen. Proses hukum bisa berlaku jika pelanggar menolak terhadap sanksi yang diberikan.
Manajer Senior Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk wilayah bentang laut kepala burung Papua Lukas Rumetna mengatakan, ada dua hal utama yang diharapkan dapat terwujud melalui Festival Munara Beba Byak Karon, yaitu membangun keharmonisan dan memperkuat adat istiadat masyarakat setempat serta memperkuat upaya perlindungan laut berbasis masyarakat.
Pada praktiknya, keterlibatan pihak lain, seperti YKAN, pun sangat diperlukan untuk membantu pemberdayaan masyarakat hukum adat Biak Karon agar bisa mengelola wilayah pengelolaan perikanan secara lebih baik dan berkelanjutan. Pemerintah pun diharapkan bisa hadir untuk mendukung perencanaan dalam pengelolaan serta pengawasan dan pengendalian yang lebih kuat.
Seperti lagu yang dinyanyikan Mama Regina, masyarakat adat Biak Karon diharapkan bisa selalu kembali pulang ke kampung halaman mereka. Pulang untuk merasakan indahnya Kampung Werur yang mereka cintai yang selalu mereka jaga bersama-sama.