Pelaku Bisnis Berpeluang Memanfaatkan Kekayaan Hutan
Selain mencari profit dari bisnis di sektor kehutanan, pelaku usaha bisa berkontribusi menurunkan emisi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Mereka dapat memanfaatkan hutan dengan sistem multiusaha kehutanan.
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan hutan lestari berbasis multiusaha kehutanan dapat memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha sektor hutan untuk berkembang sekaligus mencapai target pengurangan emisi karbon. Namun, peluang tersebut belum dioptimalkan oleh para pelaku usaha di sektor kehutanan.
Kebijakan mengenai multiusaha kehutanan telah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) Nomor 11 Tahun 2020.
Selanjutnya aturan itu diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8/2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justiano menegaskan, kebijakan multiusaha kehutanan dalam pengelolaan hutan lestari tidak lagi membenturkan antara kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Jadi multiusaha kehutanan merupakan peluang bagi pelaku usaha melakukan diversifikasi produk hasil hutan.
”Program ini diharapkan memperkuat program pengelolaan hutan lestari melalui sistem agroforestri, payment for ecosystem services atau pembayaran jasa lingkungan, maupun hasil hutan kayu. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah peran bisnis global,” ujarnya.
Agus menyampaikan hal itu dalam diskusi antarpemangku kepentingan bertema ”Bisnis Kehutanan Regeneratif” yang diadakan Kamar Dagang dan Industri Regenerative Forest Business Subhub (Kadin RFBSH), di Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Kadin RFBSH merupakan salah satu program dari perkumpulan para pengusaha dan pebisnis di Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). Diskusi yang dihadiri oleh para pelaku usaha di sektor kehutanan itu membahas peluang usaha pemanfaatan hasil hutan.
Data KLHK menyebutkan, produksi kayu bulat meningkat dari 55,50 juta ton meter kubik pada tahun 2021 menjadi 56,43 juta ton meter kubik pada 2022. Peningkatan juga terjadi pada produksi hasil hutan bukan kayu dari 689.000 ton pada tahun 2021 menjadi 922.567 ton pada 2022.
Agus menambahkan, pemerintah turut mendorong pemanfaatan kawasan hutan dengan penyederhanaan izin usaha. Penyederhanaan diatur dalam UUCK 11/2020, yakni izin usaha yang semula hanya berlaku untuk satu kegiatan berubah menjadi satu izin usaha untuk multiusaha.
Penerapan multiusaha kehutanan berbasis lanskap diharapkan jadi kesempatan bagi para pelaku usaha untuk memanfaatkan hasil hutan sekaligus berkontribusi dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168/2022 tentang Indonesia's Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim, sektor kehutanan ditargetkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca atau GRK sebesar 60 persen.
Sebagaimana telah tercantum dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada September 2022, Indonesia menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan kemampuan sendiri 31,89 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,20 persen.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman menambahkan, FOLU Net Sink merupakan kondisi sektor kehutanan yang memiliki tingkat penyerapan karbon lebih besar daripada emisi. Sebab, sektor kehutanan berperan ganda dalam hal emisi, yakni sumber emisi sekaligus sumber serapan emisi.
Sumber emisi pada sektor kehutanan berasal dari kebakaran gambut, dekomposisi gambut, dan deforestasi. Sementara serapan emisi pada hutan berasal dari tanaman tahunan, regenerasi hutan sekunder, reforestasi, dan hutan tanaman.
Masih ada sekitar 20 juta hektar yang harus kita tanami. Artinya, masih banyak kesempatan untuk memanfaatkan lahan. Lalu, terdapat 18,4 juta hektar sebaran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) hutan alam yang ada di 18 provinsi dan terdapat terdapat 11 juta hektar sebaran PBPH hutan tanam di 25 provinsi.
”Capaian FOLU Net Sink 2030 ditentukan oleh tingkat pengurangan emisi dari deforestasi, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut. Lalu, kapasitas serapan hutan melalui pengurangan degradasi serta peningkatan regenerasi juga mententukan capaian itu," kata Ruandha.
Sejauh ini perbaikan tata air gambut, restorasi, dan rehabilitasi hutan dengan penanaman pohon turut menjadi acuan capaian FOLU Net Sink 2030. Selain itu, pengelolaan hutan lestari dilakukan dengan mengoptimalkan lahan tidak produktif untuk pembangunan Hutan Tanaman dan Tanaman Perkebunan.
Selama delapan tahun terhitung sejak 2012 sampai 2020, luasan hutan tanaman stagnan pada angka 5 juta hektar. Padahal, luasan hutan tanaman seharusnya mampu menutup deforestasi selama periode tersebut.
”Masih ada sekitar 20 juta hektar yang harus kita tanami. Artinya, banyak kesempatan untuk memanfaatkan lahan. Lalu, terdapat 18,4 juta hektar sebaran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) hutan alam di 18 provinsi dan terdapat 11 juta hektar sebaran PBPH hutan tanam di 25 provinsi,” imbuh Ruandha.
Baca Juga: Hutan, Pangan, dan Perubahan Iklim
Tantangan
Besarnya peluang untuk memanfaatkan lahan tersebut menjadi kesempatan bagi para pelaku usaha untuk meningkatkan bisnisnya. Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid, mengutarakan, selain bisa menjalankan bisnisnya, para pelaku usaha dapat berkontribusi pada upaya memperbaiki hutan dan mengurangi emisi karbon.
”Jadi, ada dampak sosial, lingkungan, dan bisnis yang diberikan. Kami juga akan bekerja sama dengan KLHK serta mengajak para pengusaha lainnya untuk berpartisipasi. Namun, pengusaha perintis biasanya cenderung wait and see. Mereka masih mempertimbangkan risiko,” ucap Arsjad.
Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kadin Indonesia Silverius Oscar Unggul menyebut, Indonesia belum mengoptimalkan potensi dari pemanfaatan lahan hutan. Berdasarkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2021, sektor kehutanan hanya menyumbang 0,6 persen.
Padahal, Indonesia memiliki area hutan sebesar 125,76 juta hektar atau 63 persen daratan di Indonesia adalah hutan. Dari jumlah tersebut, sebesar 68,79 juta hektarnya merupakan kawasan hutan konservasi dan 29,23 juta hektarnya adalah hutan produksi.
”Kalau kokoa, kopi, dan vanila, kita kembangkan sebagai tanaman kombinasi di hutan, tanaman tersebut dapat menjadi the next Crued Palm Oil. Justru ini bisa menjadi alternatif baru,” kata Oscar.
Hal itu kemudian diperkuat dengan temuan dari hasil penelitian oleh Lembaga Ekoabel Indonesia (LEI). Berdasarkan analisis finansial komoditas, vanila merupakan salah satu komoditas yang memberikan keuntungan terbesar.
Direktur Eksekutif LEI Herryanto menyebut, vanila memiliki nilai revenue per cost ratio (R/C) paling tinggi, yakni 12,4 dalam penghitungan per hektar selama 25 tahun. Sementara komoditas lain, seperti aren, kopi, dan kayu putih rasionya lebih dari 2.
Baca Juga: Rehabilitasi 1,8 Juta Hektar Hutan dan Lahan untuk Capai Penyerapan Bersih 2030
”Untuk sektor kehutanan, rasio (R/C) yang menarik adalah lebih dari angka 2. Jika melihat rasio vanila, komoditas tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang diharapkan tanpa membutuhkan modal besar,” ujar Herryanto.