Kesejahteraan jurnalis masih menjadi tantangan di tengah perannya untuk menjadi penjernih informasi. Masih banyak perusahaan media yang belum menggaji jurnalisnya secara layak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upah yang layak bagi jurnalis secara umum masih jauh dari harapan. Kenyataannya masih banyak jurnalis yang menerima upah jauh di bawah upah minimum daerah, apalagi dari kebutuhan hidup. Selain itu, perlindungam terhadap jurnalis dari perusahaan medianya juga belum optimal.
Dalam Peluncuran Survei Upah Layak Jurnalis 2023 oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Selasa (11/4/2023), Ketua Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Jakarta Irsyan Hasyim mengatakan, di tahun 2022, hitungan upah layak untuk jurnalis di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan Rp 8,090 juta. Di tahun 2023 naik di kisaran Rp 8.299.229.
Namun kenyataannya, gaji yang diterima jurnalis berkisar dari paling rendah Rp 2 juta hingga paling tinggi sekitar Rp 8 juta/bulan. Survei ini melibatkan 97 responden jurnalis pemula dari 51 perusahaan media (terbanyak media daring) dengan masa kerja 0-3 tahun di area kerja Jabodetabek pada Februari 2023. Dari jumlah itu, ada 43 responden jurnalis dengan gaji di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2023. Bahkan, ada satu jurnalis di media daring menjawab upah dibayar sesuai pageview.
Menurut Irsyan, secara umum, jurnalis pemula ini pasrah saja dengan kondisi kerja dan upah yang jauh dari kebutuhan hidup. Padahal, ada jurnalis dengan jam kerja lebih dari 8 jam/hari, tanpa ada upah lembur.
”Terkait perhitungan beban kerja dan pendapatan yang sesuai kebutuhan hidup di Jakarta saat ini, sebanyak 86 menjawab tidak layak. Hanya enam yang menjawab sudah layak, dan sisanya tidak tahu.” kata Irsyan.
Meski jurnalis memiliki beban kerja yang panjang dan fleksibel, masih banyak jurnalis yang belum mendapatkan fasilitas kesehatan mental dan pemulihan trauma. Demikian juga untuk asuransi, lebih banyak ditanggung pribadi dan keluarga. Padahal, jurnalis rawan mengalami tindak kekerasan. Bahkan, ada yang tidak didaftarkan kepesertaan BPJS Kesehatan dan dan Ketenagakerjaan.
Negoisasi
Program Officer pada Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta Lusiani Julia mengatakan, pekerjaan sebagai jurnalis yang seharusnya membutuhkan pendidikan dan kompetensi seharusnya dibayar dengan layak. ”Namun, dari paparan survei upah yang dilakukan secara regular ini, tentunya jadi bertanya-tanya. Kok, kayaknya jurnalis terpojok menerima upah. Apa tidak ada negoisiasi?” ujar Lusiani.
Lusiani juga menyoroti jam kerja jurnalis yang lebih panjang, tetapi tidak berbanding lurus dengan upah yang diterima. Padahal, pekerja pabrik saja justru mendapat upah yang banyak jika banyak lembur.
Menurut Lusiani, pihaknya tidak hanya melihat kesejahteraan jurnalis yang rendah dari sisi kepentingn pekerja. Yang perlu didorong adalah perundingan bersama dari manajemen perusahaan dan pekerja untuk melihat kemampuan pengupahan. ”Untuk memastikan pekerja media dapat gaji sesuai standar, ILO mengadvokasi kebijakan upah kepada pemerintah yang lebih adil dan membuat kebijakan berdasarkan bukti. Pemerintah bisa menetapkan upah secara lebih empiris,” ujar Lusiani.
Meski jurnalis memiliki beban kerja yang panjang dan fleksibel, masih banyak jurnalis yang belum mendapatkan fasilitas kesehatan mental dan pemulihan trauma.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut mengatakan, hasil survei AJI selaras dengan survei yang pernah dilakukan AMSI saat mendata kondisi media siber di masa pandemi Covid-19. Di tahun 2020, penurunan pendapatan media mencapai 45 persen. Terdapat sekitar 30 perusahaan media siber besar. Mereka menghadapi disrupsi terlebih mayoritas kue iklan kini dinikmati berbagai platform.
Menurut Wenseslaus, saat ini ada sekitar 47.000 media yang bisa jadi terseleksi secara alamiah jika menyerahkan pada ekosistem sekarang. Karena itu, derajat jurnalis supaya dipandang sebagai profesi, bukan seperti pekerja biasa, perlu ditingkatkan. Dengan demikian, kesejahteraan jurnalis dengan penghasilan layak sekitar Rp 8 juta per bulan bisa terpenuhi.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pengupahan jurnalis dan karyawan media sebenarnya mengikuti aturan Dewan Pers sebagai prasyarat lolos administrasi. Perusahaan media sanggup memberikan upah layak bagi pegawai, minimal setara UMP. Ketika perusahaan media diverifikasi, selain punya kantor, harus mampu membayar gaji. Meskipun sudah disepakati untuk media minimal 10 orang, ada saja permintaan untuk mengurangi ketentuan tersebut. Ninik tidak menampik ada perusahaan media yang ”nakal” dan Dewan Pers akan menjatuhkan sanksi.
Menurut Ninik, kalau pengupahan UMP sebenarnya sudah tidak layak. ”Bahkan di daerah, hampir rata-rata tidak sanggup membayar sesuai UMP. Di satu sisi bicara tentang hak, di sisi lain tentang media berkelanjutan,” kata Ninik.
”Tentang upah untuk jurnalis ini, minimal setara UMP. Kami belum berani menetapkan lebih tinggi dari UMP. Sebab, Dewan Pers tidak bisa sendiri dan menyesuaikan juga dengan konstituen,” kata Ninik.
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menuturkan, di tahun 2020 ada 150 pengaduan jurnalis terkait pemotongan upah hingga PHK. Di tahun 2021 ada 80 pengaduan dan di tahun 2022 ada 35 pengaduan.
Menurut Ade, tren setelah UU Cipta Kerja diterbitkan sampai ada PP turunannya, kasus ketenagakerjaan hingga pengadilan cenderung turun. Dalam ketentuan di Dewan Pers, perusahaan media dapat dibekukan atau dicabut verifikasinya jika tidak membayar upah, menunggak upah, atau tidak membayar pesangon.