Memutus Pusaran Kekerasan Berbasis Jender dan Disabilitas
Perempuan penyandang disabilitas memiliki kerentanan berlapis terhadap berbagai kekerasan, terutama kekerasan seksual. Dukungan dan kehadiran negara dan masyarakat untuk melindungi para korban kekerasan sangat penting.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Kendati memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta berbagai regulasi pendukung, dukungan terhadap penyandang disabilitas yang menghadapi kekerasan berbasis jender dan disabilitas masih jauh dari harapan. Akibatnya, mereka terus berada dalam pusaran kekerasan dan kasusnya masih seperti fenomena gunung es.
Data terkait kekerasan berbasis jender disabilitas (KBJD) yang dialami perempuan dan anak disabilitas pun sangat minim. Tidak semua keluarga perempuan korban kekerasan berani melaporkan kekerasan yang terjadi. Kalaupun dilaporkan ke kepolisian atau lembaga layanan, untuk sampai ke proses pengadilan yang sesuai dengan rasa keadilan, korban harus melewati jalan berliku dengan berbagai hambatan.
Perjuangan perempuan penyandang disabilitas korban KBJD untuk mendapatkan keadilan jauh lebih berat dibandingkan korban kekerasan pada umumnya. Bahkan, pada tingkat peradilan, perempuan disabilitas harus berjuang keras untuk membuktikan dirinya menjadi korban.
Begitu banyak cerita, suka-duka. Namun, potret dokumentasi jarang dipublikasikan.
Situasi kekerasan berbasis jender dan disabilitas di Indonesia tersebut diangkat Sentra Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (SAPDA) dalam webinar ”Peran Perempuan dan Perempuan Disabilitas dalam Penyelenggaraan Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas” pada medio Maret 2023.
Pada webinar tersebut, SAPDA mendiseminasikan data KBJD sepanjang tahun 2022 yang dikumpulkan oleh SAPDA bersama 25 lembaga pengada layanan di delapan provinsi di Indonesia. Pendataan yang didukung Pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) akan didokumentasikan dalam bentuk Catatan Tahunan (Catahu) 2022.
Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani menegaskan, pencatatan kasus dalam rangka penyusunan Catahu tersebut menjadi ruang partisipasi dan kontribusi yang bermakna bagi perempuan disabilitas dari berbagai lembaga pengada layanan. Mereka saling berbagi dan mendokumentasikan kasus kekerasan berbasis jender dan disabilitas.
Harapannya, data tersebut dimaknai bukan hanya sekadar angka, melainkan juga cerita dibalik angka sehingga kebutuhan-kebutuhan terkait layanan terhadap penyandang disabilitas teridentifikasi.
Pada webinar yang dihadiri Deputi Team Leader AIPJ2 Peter Riddell Carre, Koordinator Rumah Cakap Bermartabat (RCB) SAPDA, Arini Robi Izzati, memaparkan beberapa temuan dan catatan sementara yang diperoleh dari pendokumentasian sepanjang tahun 2022.
Ada 81 kasus KBJD yang terlaporkan. Sebagian besar terjadi pada penyandang disabilitas dengan ragam disabilitas rungu-wicara sebanyak 31 kasus disusul ragam disabilitas intelektual (22) dan ragam disabilitas mental (14). Mayoritas korban perempuan yakni 76 korban, sedangkan laki-laki enam korban dengan usia paling banyak 15-19 tahun.
Dari bentuk kekerasan, kekerasan seksual yang paling tinggi (48 kasus) disusul kekerasan berbasis disabilitas (39), kekerasan psikis dalam rumah tangga (31), dan kekerasan dalam pacaran (11). Kekerasan tersebut terjadi di ranah privat dan publik.
”Dapat dilihat angka kekerasan lebih tinggi dari jumlah korban. Kenyataannya korban tidak hanya mengalami satu jenis kekerasan. Kekerasan berbasis disabilitas menyertai kekerasan utama, misalnya KDRT ada irisan dengan kekerasan berbasis disabilitas,” kata Arini.
Akumulasi hambatan berlapis
Berdasarkan catatan dan temuan kasus, kerentanan terhadap kekerasan pada perempuan penyandang disabilitas merupakan akumulasi dari hambatan berlapis yang dialami di tingkat individu, keluarga, lingkungan, dan kebijakan/regulasi.
Pada tingkat individu, akses informasi yang terbatas menjadi hambatan berarti bagi perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan. Minimnya referensi menjadikan mereka keterbatasan dalam memaknai berbagai bentuk kekerasan yang dialami.
Pada tingkat keluarga, penerimaan dari keluarga justru menjadi hambatan yang sering ditemui dalam penanganan kasus kekerasan pada penyandang disabilitas. Keluarga tidak mendukung dan memilih jalur damai. Bahkan, ada yang mengatakan korbannya sendiri tidak paham sehingga kasusnya tidak usah diteruskan.
Pada beberapa kasus, justru keluarga menjadi pelaku kekerasan. Dari 81 kasus pelaku, terbanyak dari keluarga (20 kasus), tetangga (15), suami (14), teman (12) pacar/mantan pacar (10). Sisanya pelaku berada dalam lingkup dan pendidikan/pengasuhan, aparat pemerintah, dan tidak terindentifikasi.
Saat dalam proses peradilan, berbagai hambatan dihadapi para perempuan penyandang disabilitas menjadi korban. Korban sering disangsikan kapasitas hukumnya. Sementara masih banyak aparat penegak hukum dan pengada layanan dalam penanganan kasus belum berperspektif disabilitas.
Selain data dari SAPDA, Siti Mazuma, Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) perempuan korban kekerasan, menyebutkan, sepanjang Desember 2022-Februari 2023, FPL mencatat dari 94 kasus yang dilaporkan, empat di antaranya korban dengan ragam disabilitas.
”Kami melakukan dukungan dan advokasi pendanaan, serta melakukan lobi bersama dan penguatan pada korban,” kata Siti.
Kendala lapangan
Terkait dengan hambatan dan kendala dalam rangka penegakan hukum, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Polri Ajun Komisaris Besar Ema Rahmawati mengakui, sebenarnya sudah ada UU dan peraturan pelaksana tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Riau Diah Sulastri Dewi mengungkapkan, dalam penanganan kasus di pengadilan sudah ada Peraturan Mahkamah Agung 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Rainy Hutabarat dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan, pendataan penyandang disabilitas sangat penting. Namun, dia mengakui hingga kini tidak ada data terpilah terkait penyandang disabilitas merupakan tantangan yang dihadapi.
Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Valentina Ginting menegaskan, penyandang disabilitas korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, mendapat perhatian kementeriannya.
Namun, sampai saat ini data kasus kekerasan seksual, termasuk yang dialami perempuan dan anak penyandang disabilitas, banyak yang tidak terlaporkan. ”Ini fenomena gunung es. Banyak data yang tidak dlaporkan. Kita tidak tahu bahwa ternyata perempuan dan anak banyak menjadi korban,” ujar Valentina.
Berbagai kasus yang dialami perempuan dan anak disabilitas menunjukkan betapa pentingnya kehadiran negara dan masyarakat untuk melindungi mereka. Seperti komitmen dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), jangan biarkan satu orang pun ditinggalkan dalam pembangunan (no one left behind).