Pengembangan Bioenergi Berpotensi Timbulkan Masalah Lingkungan dan Pangan
Pengembangan bioenergi dinilai dapat menimbulkan masalah lingkungan dan mengancam ketahanan pangan. Mengalokasikan bahan pangan untuk kepentingan energi dapat merampas kehidupan orang dalam mengakses pangan tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Mourole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2021). PLTU Ropa dengan kapasitas 2x7 megawatt (MW) mulai memanfaatkan metode co-firing dengan memanfaatkan biomassa sebesar 5 persen sebagai substitusi atau campuran batubara.
JAKARTA, KOMPAS — Proyek transisi energi dengan fokus pengembangan bioenergi dinilai dapat menimbulkan masalah lingkungan dan konflik lahan sekaligus mengancam ketahanan pangan. Program transisi energi ini perlu dilakukan secara partisipatif dengan mengedepankan aspek keadilan ekologis.
Manajer Portofolio Bioenergi Trend Asia Amalya Okta mengemukakan, salah satu program pengembangan bioenergi, yakni co-firing atau pembakaran bersama biomassa pelet kayu dan batubara, dapat menimbulkan deforestasi besar-besaran. Sebab, sebanyak 8 juta ton dari total kebutuhan 10,2 juta ton biomassa untuk co-firing tersebut berasal dari hutan tanaman energi (HTE).
”Pada awal pengembangan bioenergi, pemerintah menyebut bahwa program ini akan mengatasi masalah limbah karena banyak menggunakan limbah sebagai bahan baku. Namun, ternyata pengembangan ini bersumber dari HTE yang pembukaannya memicu deforestasi,” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Potensi deforestasi dari pengembangan bioenergi ini juga telah ditunjukkan melalui hasil kajian Trend Asia tentang co-firing biomassa khusus dari kayu terhadap 52 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) eksisting dari 2021-Mei 2022. Trend Asia menemukan bahwa risiko terjadi deforestasi dan permintaan batubara akan tetap meningkat meski telah ada program co-firing.
Alih-alih mengatasi masalah lingkungan, meningkatnya deforestasi di berbagai wilayah untuk pengembangan bioenergi akan berimplikasi pada kenaikan emisi karbon. Implikasi lain dari deforestasi ini, yaitu hilangnya biodiversitas, sumber air, dan pangan, serta bertambahnya eskalasi bencana.
Di sisi lain, peningkatan kebutuhan lahan perkebunan sawit untuk pengembangan bioenergi ini berpotensi menimbulkan konflik. Sebab, program B50 yang merupakan pencampuran solar dengan 50 persen bahan bakar nabati yang dicanangkan untuk 2025 akan membutuhkan tambahan lahan seluas 9,29 juta hektar.
Selain itu, pengembangan program bioenergi lainnya, yakni B30, juga berdampak pada stabilitas harga pangan. Hal ini karena pangsa minyak kelapa sawit (CPO) untuk industri makanan semakin mengalami penurunan. Sebaliknya, konsumsi biofuel semakin naik dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah mengatakan, mengalokasikan bahan pangan untuk kepentingan energi dapat merampas kehidupan orang dalam mengakses pangan tersebut. Hal ini karena banyak penelitian menunjukkan bahwa mengelola bahan pangan untuk masyarakat lebih bermanfaat dibandingkan sekadar memenuhi kebutuhan energi.
Akses masyarakat terhadap pangan akan melemah dan memicu gizi buruk ketika ketersediaan atau produksi pangan berkurang.
”Akses masyarakat terhadap pangan akan melemah dan memicu gizi buruk ketika ketersediaan atau produksi pangan berkurang. Apabila hal ini terjadi, sesungguhnya negara telah melakukan pelanggaran besar karena merampas hak pangan masyarakat,” tuturnya.
Guna mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan pangan, Amalya menekankan agar program transisi energi ini perlu dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat lokal. Di sisi lain, tata kelola pangan dan kehutanan juga harus mengedepankan aspek keadilan ekologis.
Kebutuhan biodiesel
Pada akhir 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan penjualan biosolar di tahun 2023 akan mencapai angka 37,5 juta kiloliter. Adapun estimasi kebutuhan biodiesel untuk mendukung implementasi B35 sebesar 13,14 juta kiloliter atau meningkat sekitar 19,25 persen dibandingkan alokasi tahun 2022 sebesar 11,02 juta kiloliter.
Petugas menunjukkan contoh bahan bakar B40 saat seremoni pelepasan uji jalan kendaraan berbahan bakar B40 di Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Sebelumnya, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo menyatakan, pelaksanaan program bionenergi dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi negara. Bahkan, negara berpotensi menghemat devisa sekitar Rp 200 triliun apabila menerapkan program B40 pada tahun 2023.
”Substitusi BBM (bahan bakar minyak) ke BBN (bahan bakar nabati) adalah upaya strategis dalam hal penghematan devisa akibat menurunnya impor minyak solar. Peningkatan nilai tambah crude palm oil (CPO), membuka lapangan kerja sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan bauran energi baru terbarukan di Indonesia,” tuturnya
Meski demikian, keputusan sidang kabinet pada Desember 2022 menyatakan bahwa saat ini Indonesia baru dapat menjalankan program B35, bukan B40. Ketersediaan bahan baku, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO), kapasitas produksi Badan Usaha BBN, dan standar spesifikasi yang harus dipenuhi menjadi pertimbangan digunakannya B35 (Kompas, 2/1/2023).