Stunting di Perkotaan, Sebuah Ironi
Penyakit TBC dan stunting kerap berhubungan. Kondisi ini berakar pada kemiskinan yang belum bisa dilepaskan sebagian warga Jakarta.

Nurjanah (16, kiri) menggendong anaknya yang berusia 15 bulan untuk melakukan pemeriksaan tinggi dan berat badan di rumahnya, Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Sabtu (8/4/2023). Anaknya didiagnosis mengalami "stunting" atau tengkes, serta tuberkulosis (TBC). Nurjanah pun mengikuti program penanganan "stunting" di posyandu agar anaknya kembali sehat.
Nurjanah menuntun anak 15 bulannya ke ruang konsultasi gizi di Puskesmas Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Ibu 16 tahun itu rutin mengonsultasikan kesehatan bayi laki-lakinya, Rafka, yang enam bulan terakhir didiagnosis stunting dan terinfeksi tuberkulosis atau TBC.
Tenaga gizi yang menyambut mereka kemudian memeriksa fisik Rafka. Tubuh bayi itu ditimbang kemudian diukur tinggi badannya. Pengukuran menunjukkan, berat Rafka 7,9 kilogram (kg) dan tinggi badannya 75 centimeter.
"Bulan lalu beratnya 8,1 kg. Sekarang 7,9 kg. Tingginya sudah bertambah sedikit demi sedikit," kata Hanna Claudia, tenaga gizi yang sejak awal menangani Rafka, Selasa (4/4/2023).
Bagi Hanna, hasil pengukuran itu masih meninggalkan catatan. Badan Rafka seharusnya lebih berat dari bulan sebelumnya, sekalipun belum bisa mengejar berat badan ideal bayi seusianya, yakni sekitar 10 kg hingga 11 kg. Sementara itu, kenaikan tinggi badannya cukup baik meski tidak signifikan.
Nurjanah yang rutin memeriksakan anaknya ke puskesmas pertama kali mengetahui berat badan anaknya lambat naik sejak usia 9 bulan. Di usia itu, berat Rafka hanya 5 kg, jauh dari berat ideal bayi laki-laki yang berkisar 7 kg sampai 10 kg.
Baca juga: 7.450 Anak di Jakarta Idap TBC, Tengkes Diwaspadai sebagai Faktor Pemicu
Diperkirakan, ini terjadi karena pemberian makanan selain ASI yang terlalu cepat saat usia 4 bulan. Nurjanah juga sudah lama tidak memberikan ASI dan menggantinya dengan susu formula.
Pada waktu hampir bersamaan, Rafka juga terinfeksi TBC. Ini dicurigai ketika Rafka kerap demam berhari-hari, batuk, dan kehilangan nafsu makan. Setelah puskesmas melakukan tes Mantoux atau tuberculin skin test (TST) dan menyatakan Rafka positif TBC, bayi itu pun harus dirawat di rumah sakit karena kompleksitas masalah kesehatannya.
Fitri Hidayati, Penanggung Jawab Program TB di Puskesmas Cakung Barat, mengatakan, bayi di bawah satu tahun rentan tertular bakteri TBC dari orang dewasa. Oleh karena itu, puskesmas dengan bantuan para kader ikut memeriksa dahak keluarga yang kerap berinteraksi dengan Rafka. Hal ini untuk mengetahui sumber penyakit dan memutus rantai penularan di tempat tinggal pasien. Dari situ diketahui, Rafka tertular teman ibunya yang main sering bermain di rumah mereka.
Stunting tidak bisa dipisahkan dari kemiskinan. Kondisi ekonomi yang terbatas membuat sebagian orang sulit mengakses makanan bergizi seimbang buat anak.
"Rafka sudah selesai pengobatan TBC selama 6 bulan yang dievaluasi setiap bulan. Tinggal dilanjutkan perbaikan gizinya, karena harus dilihat perkembangannya apakah tambah naik atau turun. Kami juga bantu ibunya agar memberikan pola makan yang sehat dan seimbang di rumah," kata Fitri.
Pengobatan dan perawatan stunting dan TBC, yang akan dijalani jangka panjang itu didapat anak Nurjanah secara gratis di puskesmas. Jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dimiliki keluarga Nurjanah juga telah banyak membantu.
Sementara itu, Faradila Ayu (3) lahir dengan berat badan normal 2,9 kilogram. Ibunya, Nasihatul Karomah (26), pun dinyatakan sehat selama hamil. Kondisi tersebut mendukung Ayu untuk tumbuh sehat. Namun, Ayu tercatat sebagai 1 dari 11 anak stunting di RW 09 Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.

Seorang anak stunting bermain di kawasan rumahnya di Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Sabtu (8/4/2023). "Stunting" adalah kondisi gagal tumbuh kembang pada anak karena kurang gizi sehingga berakibat ke terganggunya perkembangan otak, fisik, dan metabolisme tubuh anak. Dalam jangka panjang, tengkes menurunkan kemampuan kognitif dan kekebalan tubuh. Anak pun berisiko terhadap berbagai penyakit, seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular, hingga disabilitas saat dewasa.
Kader posyandu Cakung Barat, Martini, menduga Ayu stunting karena sering membeli jajanan di warung, baik permen maupun makanan ringan. Ayu pun kenyang padahal jajanan yang ia konsumsi minim gizi. Saat diperiksa di posyandu, berat badan Ayu turun secara konsisten hingga berada di bawah garis merah, indikator anak kurang gizi sedang hingga berat di Kartu Menuju Sehat (KMS).
“Ayu ikut (program penanganan stunting) pas November 2022. Waktu itu beratnya 9,6 kilogram,” kata Nasihatul, Sabtu (8/4/2023).
Kini, berat badan Ayu 11,4 kilogram dan tingginya 89 sentimeter. Pertumbuhan Ayu positif setelah diberi makanan tambahan berupa abon ayam, susu, dan zinc. Pemberian makanan tambahan dan vitamin ini bagian dari program penanganan stunting oleh kecamatan.
Nasihatul mulanya enggan ikut program penanganan stunting. Ia minder dan khawatir dengan omongan orang lain karena anaknya kurang gizi. Setelah diberi pengertian oleh kader-kader posyandu, ia memutuskan ikut program ini. Kader posyandu juga berjanji membantu menjawab omongan sumbang tetangga.
Kemiskinan
Stunting tidak bisa dipisahkan dari kemiskinan. Kondisi ekonomi yang terbatas membuat sebagian orang sulit mengakses makanan bergizi seimbang buat anak. Nurjanah, misalnya, mengantongi rata-rata Rp 30.000 per hari untuk biaya makan dia dan Rafka. Jika sedang tidak beruntung, Nurjanah bisa tidak memegang uang belanja sama sekali.
Hanya suami Nurjanah yang bekerja di rumah itu. Suaminya digaji Rp 185.000 per hari sebagai sopir. Namun, belakangan gajinya dipotong Rp 60.000-Rp 100.000 per hari sebagai biaya ganti rugi usai menabrakkan mobil bosnya saat bekerja. Dengan estimasi sisa gaji Rp 125.000 per hari dan Nurjanah diberi Rp 30.000, suaminya memegang uang Rp 95.000 per hari.
“Itu dipakai dia buat makan, ngopi, beli rokok, beli token listrik, sama untuk (sewa) rumah kontrakan Rp 600.000 per bulan,” kata Nurjanah. “Suami kuat merokok. Sehari bisa habis Rp 30.000 (untuk beli rokok),” tambahnya.
Nurjanah pernah memprotes suaminya soal uang belanja dan uang rokok yang besarnya sama. Namun, suaminya tidak mengindahkan protes itu. Padahal, Nurjanah juga butuh uang untuk membelikan makanan bergizi buat Rafka yang stunting sekaligus TBC.

Kemudahan dalam mengakses fasilitas kesehatan di perkotaan tidak cukup untuk memutus mata rantai masalah kesehatan keluarga. Keluarga mereka menjadi potret masyarakat Jakarta yang terkungkung dalam masalah kesehatan karena jerat keterbelakangan dan kemiskinan.
Nurjanah mengaku sering kali tidak makan karena memprioritaskan kebutuhan makanan sehat untuk anaknya. "Saya pernah enggak makan tiga kali sehari, tapi saya kuat. Kalau untuk anak harus teratur, dikasih sayur, telur, ikan, kadang sama ayam," kata perempuan kelahiran Cakung itu.
Baca juga: Kemiskinan Ekstrem di Jakarta Naik, Penanganan Mesti Efektif dan Tepat Sasaran
Untuk kebutuhan papan, ia dan suami juga hanya mampu mengontrak rumah dua petak yang disewa dengan harga Rp 600.000 sebulan.
Rumahnya jauh dari kata sehat. Tidak ada ventilasi yang secara bebas mengalirkan udara dari luar. Satu-satunya jendela yang tersedia di ruang kamar ditutup karena berbatasan langsung dengan rumah tetangga. Untuk keperluan mandi dan mencuci, mereka pun harus menggunakan kamar mandi bersama.
Fitri mengakui, lingkungan RW 007 Kelurahan Cakung Barat tempat tinggal keluarga Nurjanah yang padat dan kumuh itu menjadi sumber penularan TBC. Fitri mencatat, RW itu rata-rata memiliki minimal 10 pasien TBC per tahun.
"Untuk kesehatan, rumah itu seharusnya memiliki luas cukup dengan ventilasi memadai, tetapi ternyata sampai saat ini rata-rata luas rumah di lingkungan padat dan kumuh itu terbatas. Warga yang rata-rata tinggal mengontrak tidak bisa mengubah tempat tinggal jadi lebih baik, yang tinggal di rumah tetap pun punya keterbatasan," tuturnya.
Putus mata rantai
Peneliti dari Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Renny Nurhasana, berpendapat, untuk membantu keluarga keluar dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup bisa dilakukan melalui intervensi pendidikan, keterampilan untuk menunjang pekerjaan baru, dan intervensi pemberian bantuan ekonomi untuk keluarga. "Namun, bantuan ekonomi pun tidak bisa berjalan dengan baik jika perilaku dasarnya belum berubah," katanya saat dihubungi di Jakarta.
Perilaku dasar yang dimaksud sebagai contoh, merokok. Kebiasaan merokok orang dewasa dalam berbagai penelitian memiliki keterkaitan langsung dengan penularan TBC. Kebutuhan untuk rokok mengurangi kemampuan keluarga untuk membeli makanan sehat. Akibatnya, masalah gizi seperti stunting muncul.
"Stunting karena malnutrisi dan kemiskinan berkaitan dengan TBC. Bahkan, penelitian menyebut, 47 persen masyarakat berpotensi jatuh miskin karena TBC kalau tidak kita bantu," kata Nancy Dian Anggraeni, Asisten Deputi dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, di Jakarta 21 Maret 2023.
Baca juga: Berjibaku Entaskan 95.668 Warga Miskin Ibu Kota
Dukungan menyeluruh untuk mengatasi TBC, stunting, dan kemiskinan ekstrem pun menjadi perhatian pemerintah pusat melalui Kemenko PMK. Penanggulangan TBC seperti diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 menjadi basisnya. Sampai akhir Maret 2023, tercatat ada 7.450 anak penderita TBC di wilayah Jakarta. Jumlah itu mencapai 16,4 persen dari total 45.320 pasien TBC yang sedang ditangani atau diobati.
Pemerintah pusat merumuskan program dalam Aksi Proteksi (Program Terpadu Kemitraan Penanggulangan TBC) dan khusus di Jakarta ada Jakarta Beraksi (Bergerak Atasi Stunting TBC). Program itu dilakukan mulai dari skrining penderita TBC dan malnutrisi, integrasi data pasien dengan data kemiskinan, pemberian bantuan sosial prioritas, sampai intervensi kesehatan dalam berbagai program. Anak penderita stunting menurut data 2022 mencapai sekitar 110.000 balita atau 14 persen dari total populasi 790.000 balita.
Adapun angka kemiskinan ekstrem di Ibu Kota periode Maret 2022 sebanyak 0,89 persen atau setara 95.668 jiwa dari total penduduk yang berada dalam golongan kemiskinan. Jumlah tersebut naik 0,29 persen dibandingkan dengan Maret 2021 sebanyak 0,6 persen.