Mendorong Perdamaian dan Perubahan di Tengah Masyarakat
Perempuan adalah kunci perubahan. Bahkan, perempuan menjadi garda terdepan dalam menciptakan perdamaian. Kehadiran perempuan pelopor perdamaian sangat besar pengaruhnya di tengah masyarakat.
Perempuan memiliki kekuatan besar dalam menciptakan perdamaian dan pelopor perubahan di tengah masyarakat majemuk. Sejumlah perempuan di beberapa daerah di Tanah Air membuktikan bahwa perbedaan apapun bukanlah penghalang untuk merajut persaudaraan dan menolong sesama.
Di Poso, Sulawesi Tengah, para perempuan anggota Sekolah Perempuan yang dipimpin Roswin Wuri menjadi garda terdepan dalam mengakhiri konflik di tengah masyarakat. Kebun sayur menjadi jembatan mereka untuk menyatukan komunitas masyarakat Muslim dan Kristen yang selama ini terpecah karena konflik beberapa waktu lalu.
Awalnya memang sulit dan terasa berat. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan tembok pemisah kedua komunitas pun runtuh saat masing-masing pihak menerima perbedaan sebagai anugerah yang harus dirawat dengan hati yang tulus, tanpa prasangka, dan permusuhan.
”Sekolah perempuan menjadi laboratoriun toleransi dan perdamaian. Pada akhirnya kami saling menerima dan menghargai perbedaan,” ujar Roswin saat tampil pada unjuk bincang ”Perempuan Bertutur di Ruang D16ITALL: The Power of Storytelling and Dialogue for Peacebuilding” yang diselenggarakan AMAN Indonesia, akhir Maret 2023.
Selain sebagai Ketua Presidium Persatuan Sekolah Perempuan Perdamaian (PSPP) Poso Kota, Roswin dalam keseharian adalah seorang pendeta dan pengajar yang memiliki kecintaan kepada alam. Ia aktif dalam Kelompok Tani Green Fresh, yang anggotanya laki-laki dan perempuan.
Sebagian besar perempuan yang terlibat adalah anggota sekolah perempuan. Bahkan, pada tahun 2021, Green Fresh sepenuhnya dikelola oleh para perempuan karena petani laki-laki meninggalkan pertanian organik.
Bersama para ibu anggota sekolah perempuan dari Kristiani dan Muslim, pada tahun 2015 Wuri melanjutkan kelompok tani tersebut dengan tetap menjalankan pertanian organik dengan memanfaatkan lahan-lahan tidur, yang ditinggalkan oleh pemiliknya semasa konflik. Ada juga yang dibiarkan begitu saja.
Awalnya, pertanian organik dikembangkan di Dusun Toaro, Desa Sawidago. Beberapa tahun kemudian, kebun sayur pun dikembangkan di Desa Welincu.
Berbagai sayuran organik ditanam di kebun organik, seperti sawi, pakcoy, selada, bayam merah dan hijau, kol, tomat, cabai, dan berbagai bumbu dapur. Selain dikonsumsi sendiri, sayur organik tersebut juga dipasarkan di masyarakat.
Sayur yang dihasilkan dari kebun sayur organik menarik perhatian banyak pihak, termasuk Mad, penjual ikan dari komunitas Muslim yang berasal dari Desa Malei Lage, di Kecamatan Lage. Mad sering menawarkan barter antara sayur dan ikan. Belakangan, Mad tidak segan mengundang para ibu-ibu pengelola kebun organik dan keluarganya untuk berkunjung ke desanya agar silaturami kembali terjalin dengan lebih kuat lagi.
Hadirnya kebun sayur juga mendorong sejumlah keluarga Muslim di Desa Malei Lage bergabung dengan keluarga Kristen untuk belajar bertanam organik atau membeli produk organik. Hatimah, misalnya, bersama anaknya beberapa kali menemui tim pengelola kebun sayur organik untuk belajar membuat demplot dengan cara bertani organik sehingga bisa mengelola kebunnya yang kurang produktif.
Sekolah perempuan menjadi laboratoriun toleransi dan perdamaian. Pada akhirnya, kami saling menerima dan menghargai perbedaan.
Tahun 2018, Roswin dan sekolah perempuan memulai pasar sayur organik di Kota Tentena bekerja sama dengan pihak Kelurahan Pamona dan gereja. Seminggu sekali pasar sayur organik digelar dengan harga yang terjangkau masyarakat, sekitar Rp 5.000 per 200 gram.
Di pasar organik inilah, perempuan dan laki-laki dari berbagai latar belakang agama, suku, dan status sosial berkunjung dan membeli produk organik. Perjumpaan demi perjumpaan mengikat kembali persaudaraan mereka.
Kuncinya adalah mengubah cara pandang terhadap berbeda. Ketika para perempuan berubah cara pandangnya, dia akan mengubah cara pandang anak dan suaminya.
”Ketika keluarga berubah, masyarakat juga akan berubah, dan merawat nilai-nilai perdamaian. Kalau sebelumnya orang takut dan curiga turun ke Poso, sekarang tidak lagi. Karena sudah tumbuh rasa percaya. Kita saling mengunjungi,” ujar Roswin.
Dalam acara Hari Perempuan Internasional 2023 dan Perayaan 16 Tahun AMAN Indonesia, cerita praktik baik juga disampaikan dua perempuan pemimpin sekolah perempuan perdamaian (SPP) AMAN Indonesia. Keduanya adalah Rohimah Aisyah, Ketua Sekolah Perempuan Pondok Bambu, Jakarta Timur, dan An’an Yuliati, Ketua Sekolah Perempuan Tasikmalaya sekaligus Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Tasikmalaya, Jawa Barat.
Rohimah Aisyah sehari-hari adalah ibu rumah tangga. Namun, saat pandemi Covid-19 mulai melanda, Rohimah dan para ibu di Sekolah Perempuan Pondok Bambu dipercayakan menjadi bagian dari tim Satgas Covid 19 di tingkat rukun warga.
Selain verifikasi data kelompok rentan dan marginal, ia memastikan keluarga yang membutuhkan masuk di dalam daftar penerima bantuan. Rohimah dan sekolah perempuan juga menyalurkan bantuan dan termasuk mobilisasi dukungan warga untuk para tetangganya yang isolasi mandiri.
Kehadirannya di tim satgas Covid memberi warna tersendiri karena Rohimah dan sekolah perempuan memberikan berbagai masukan terkait bantuan yang diberikan agar sesuai dengan kebutuhan khusus perempuan dan anak-anak.
Tak hanya itu, Rohimah juga memberi perhatian pada isu perkawinan anak. Untuk memberi contoh pada masyarakat, ia menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi. Rohimah pun mendorong suaminya untuk berbagi peran dalam mengurus rumah tangga.
Alhasil, kini suaminya tak segan-segan melakukan pekerjaan seperti mencuci, membersihkan rumah, membuat kopi, atau pekerjaan rumah yang lainnya.
Baca juga: Suara Perempuan Papua untuk Perdamaian
Bela korban kekerasan
Amanat yang diberikan pemerintah kepada An’an Yuliati untuk menjadi Ketua P2TP2A mendorong dirinya tampil membela dan melindungi perempuan dan anak korban kekerasan seksual. An’an berhasil mencegah perkawinan korban kekerasan dengan pelaku.
Pengetahuan yang diperolehnya di sekolah perempuan diterapkannya saat menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, misalnya dengan menggunakan pendekatan dialog yang mempertemukan aktor-aktor kunci, An’an meyakinkan para pemangku kebijakan dan pihak yang terkait agar mencari solusi terbaik demi kepentingan korban.
Misalnya, saat menangani kasus pemerkosaan terhadap bayi berusia 16 bulan. Seluruh keluarga bungkam dan tidak bersedia melaporkan kejadian tersebut. Namun, An’an mendorong keluarga korban untuk melaporkan kasus tersebut kepada kepolisian dan akhirnya pelaku dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Begitu juga saat menangani kasus pemerkosaan terhadap seorang remaja oleh dua pemuda di desanya, An’an pun melakukan dialog dalam menyelesaikan masalah tersebut saat orangtua dan tokoh masyarakat bersepakat untuk menikahkan korban dengan salah satu pelaku.
An’an memberikan kesempatan bagi korban bersuara sehingga keluarga dan tokoh masyarakat sepakat menyerahkan pelaku kepada kepolisian hingga akhirnya diproses hukum dan dipidana penjara. ”Kita harus bertanya kepada korban keinginannya apa. Sebelum itu kita berikan kenyamanan pada korban sehingga dia yakin kita itu hadir untuk dia,” katanya.
Roswin, Rohimah, dan An’an adalah tiga dari sepuluh tokoh penggerak sekolah perempuan perdamaian yang didokumentasikan oleh AMAN Indonesia. Selain, menunjukkan praktik baik perempuan di akar rumput dalam membangun ketahanan di masyarakat, para pemimpin sekolah perempuan tersebut juga dinilai berhasil memberikan perubahan di masyarakat serta memberikan solusi atas beragam problematika sosial,
Misalnya terkait perkawinan anak, perampasan tanah warga, pendampingan keluarga eks napiter (narapidana terorisme), dan lain sebagainya. Cerita perjuangan perempuan akar rumput selain didokumentasikan dalam bentuk kompilasi buku juga dibuat dalam bentuk video unjuk bincang yang dipublikasikan melalui channel Youtube ”She Builds Peace Indonesia She Builds Peace Indonesia”.
Melalui publikasi digital, cerita-cerita para perempuan dari sekolah perempuan AMAN Indonesia tersebut pun diketahui publik dan menginspirasi para perempuan-perempuan di Tanah Air agar menjadi pelopor perdamaian dan agen perubahan.
Country Representative AMAN Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah, mengungkapkan bahwa kepemimpinan perempuan jauh lebih baik, inklusif, dan bisa melibatkan banyak pihak yang termarginal. ”Kami ingin ruang demokrasi bisa dinikmati siapa saja di Indonesia,” kata Rubiyanti.
Sementara itu, Yuniyanti Chuzaifah, Executive Board AMAN Indonesia, menilai, perempuan rentan terhadap berbagai kekerasan di dunia digital. Karena itulah, perempuan di mana pun, termasuk di pelosok, mesti memiliki akses untuk berbicara di ruang luring dan daring agar mereka tidak termarjinalisasi.
Sebab, narasi perempuan menjadi penting dan memiliki kekuatan yang besar untuk mendorong berbagai perubahan di Tanah Air, terutama menghapus budaya patriarki yang masih mendiskriminasi ruang partisipasi perempuan.