Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melakukan modifikasi alat fiksasi C-Clamp yang digunakan untuk terapi patah tulang panggul bagian belakang. Inovasi yang dihasilkan ini lebih praktis dan fleksibel.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Kasus patah tulang menjadi salah satu akibat yang paling sering terjadi dari kecelakaan lalu lintas. Selain kecelakaan lalu lintas, patah tulang atau fraktur bisa disebabkan oleh kecelakaan kerja, bencana alam, atau kejadian lain yang menyebabkan benturan, pemukulan, atau terjatuh dengan posisi miring.
Dari berbagai kasus patah tulang yang terjadi, patah tulang bagian pelvis atau tulang panggul merupakan jenis patah tulang yang kerap dikeluhkan. Hal ini perlu menjadi perhatian karena patah tulang pada bagian pelvis menjadi bentuk cedera tulang yang bisa mengancam jiwa.
Komplikasi yang patut diwaspadai, yakni adanya instabilitas atau ketidakstabilan akibat lesi posterior atau kerusakan dari patah tulang panggul belakang. Pada kondisi ini sebanyak 15-30 persen pasien bisa mengalami perdarahan hingga renjatan atau syok. Jika sampai terjadi shock akibat perdarahan tersebut, risiko kematian menjadi tinggi hingga mencapai 6-35 persen.
Maka dari itu, pasien yang mengalami patah tulang pada bagian panggul atau pelvis harus segera ditangani. Untuk mencegah instabilitas pada pasien patah tulang pervis, alat bantu fiksasi akan digunakan untuk mengurangi risiko dan memperbaiki kondisi patah tulang yang terjadi.
Alat bantu tersebut digunakan pada kedua sisi tulang panggul yang berseberangan untuk menjaga agar tulang dapat terfiksasi atau dipertahankan pada posisi seharusnya. Selama ini, alat yang umum digunakan, yaitu C-clamp invensi Ganz. Namun, alat ini dinilai tidak praktis untuk digunakan karena membutuhkan alat tambahan dalam pemasangannya. Selain itu, alat ini juga sulit digunakan pada pasien anak ataupun pasien dengan perut besar karena hanya tersedia dalam satu ukuran.
Kendala tersebut kemudian mendorong peneliti yang juga Guru Besar Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Ismail Hadisoebroto Dilogo, untuk mengembangkan alat fiksasi tulang panggul yang lebih fleksibel. Alat yang dikembangkan ini merupakan alat fiksasi untuk terapi patah tulang pelvis bagian belakang yang dimodifikasi dari alat C-clamp sebelumnya.
”Alat fiksasi pelvis modifikasi C-clamp ini lebih fleksibel dan dapat dipasang dengan cepat secara manual tanpa alat khusus. Alat ini juga bisa disesuaikan dengan tinggi dan lebar sesuai bentuk dan ukuran badan pasien,” kata Ismail saat ditemui di Jakarta, Rabu (29/3/2023), sesuai acara peluncuran produk inovasi Alat Fiksasi Pelvis Modifikasi C-Clamp dan Alat Fiksasi Eksterna Periartikuler. Kedua alat tersebut dikembangkan oleh Ismail dan tim.
Dalam prosesnya, alat fiksasi pelvis modifikasi C-clamp dikembangkan menggunakan beberapa konsep pada mekanika struktur serta merujuk pada produk referensi dan produk yang sudah ada. Pengembangan pun disesuaikan dengan kemampuan manufaktur di dalam negeri.
Alat ini terdiri dari batang, mur, holder clamp, dan shanz crew. Adapun bahan yang digunakan dengan stainless steel 304 atau aluminium dengan maksud untuk meminimalisasi efek karat akibat terkena cairan kimia dan cairan dari tubuh.
Ismail menyampaikan, alat ini didesain dengan bentuk yang nyaman untuk digenggam. Selain itu, desain pemegang paku disertai lubang dan nok setelan sehingga tinggi pemegang paku mudah diatur secara manual sesuai dengan bentuk tubuh pasien.
Alat fiksasi pelvis modifikasi C-clamp ini lebih fleksibel dan dapat dipasang dengan cepat secara manual tanpa alat khusus. Alat ini juga bisa disesuaikan dengan tinggi dan lebar sesuai bentuk dan ukuran badan pasien.
Baut pengunci pada poros alat pun didesain secara khusus agar lebar poros dapat diatur sesuai lebar badan pasien. Desain ini sekaligus memungkinkan untuk menambah gaya kompresi dari paku ke arah sakroiliak (tulang panggul belakang).
Keunggulan
Ismail mengatakan, sejumlah keunggulan dari alat fiksasi C-clamp modifikasi ini antara lain, mudah diproduksi pada skala industri karena desain dari alat dibuat secara sederhana. Bahan bakunya bisa diperoleh dari dalam negeri. Meski begitu, alat yang telah dimodifikasi ini tetap memiliki kemampuan dan kualitas yang baik dalam mempertahankan stabilitas kesi posterior pelvis yang terjadi.
”Fiksasi C-clamp ini juga dapat digunakan untuk fiksasi patah tulang pelvis bagian posterior yang sering menimbulkan kematian akibat kehilangan banyak darah,” tuturnya.
Alat fiksasi pelvis modifikasi C-clamp telah mendapat paten dari Kementerian Hukum dan HAM pada 2011. Pengembangan dan pengujian terus dilakukan setelah paten didapatkan. Pada 2018, pengujian dilakukan pada 26 subyek. Dari pengujian tersebut terbukti alat C-clamp modifikasi ini dapat mereparasi fraktur pelvis lesi posterior dari pasien. Dalam pengujian itu juga tidak ditemukan mortalitas awal maupun lanjut selama perawatan di rumah sakit.
Harga dari alat ini juga lebih terjangkau dibandingkan dengan alat C-clamp invensi Ganz. Alat C-clamp invensi Ganz bisa didapatkan dengan biaya Rp 500 juta, sedangkan C-clamp modifikasi yang dikembangkan Ismail memiliki harga sekitar Rp 15 juta. Dengan harga yang terjangkau tersebut diharapkan akses di masyarakat bisa lebih mudah sehingga penggunaannya pun bisa semakin luas.
Saat ini alat fiksasi pelvis modifikasi C-clamp telah mendapatkan izin edar dan diproduksi di tingkat industri melalui PT Eka Ormed Indonesia. Distribusinya juga cukup luas di sejumlah daerah, meliputi Jakarta, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Malang, dan Klaten. Alat ini juga sudah masuk dalam e-katalog dan dapat digunakan untuk pelayanan bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menuturkan, inovasi pelvis C-clamp merupakan salah satu upaya untuk mendukung penguatan ketahanan alat kesehatan dan farmasi di Indonesia. Melalui inovasi ini diharapkan ada lebih banyak inovasi lain di bidang kedokteran yang bisa dihasilkan oleh peneliti dari dalam negeri.
Pemerintah pun akan terus mendorong inovasi melalui transformasi kesehatan pilar ketiga, yaitu transformasi pada sistem ketahanan kesehatan. Itu dilakukan antara lain, dengan mendorong kemandirian farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
”Ketersediaan alat kesehatan produksi dalam negeri merupakan salah satu komponen penting bagi ketahanan kesehatan bangsa. Dengan inovasi yang dihasilkan ini, pemerintah pun akan bantu memasarkan sehingga produk ini bisa dipakai di seluruh Indonesia, terutama karena TKDN (tingkat komponen dalam negeri)-nya sangat tinggi,” ujar Dante.