Kewenangan IDI Dinilai Terlalu Besar dalam UU Kesehatan
Ikatan Dokter Indonesia dinilai terlalu memonopoli praktik kedokteran dengan berdasarkan pada undang-undang kesehatan yang lama. Maka, perlu RUU Kesehatan untuk menyesuaikan dengan kondisi dunia kesehatan saat ini.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia dinilai terlalu memonopoli dalam dunia kesehatan nasional dari hulu sampai ke hilir dan dilindungi oleh undang-undang. Mulai dari pembentukan kolegium kedokteran hingga menerbitkan surat izin praktik hanya bisa dilakukan oleh IDI. Rancangan Undang-Undang Kesehatan diharapkan bisa mengembalikan tugas itu ke negara.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam dalam forum dengar pendapat RUU Kesehatan yang digelar RSUP Persahabatan dan Kementerian Kesehatan, Senin (27/3/2023). Menurut Judilherry, kewenangan IDI terlalu banyak dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Padahal, banyak hal yang tidak relevan untuk diurus oleh organisasi profesi seperti IDI.
Misalnya, Pasal 1 Angka 13 berbunyi pembentukan kolegium kedokteran Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi (IDI). Menurut Judilherry, hal itu tak relevan karena kolegium mengurus pendidikan kedokteran, bukan profesi dan pelayanan kedokteran.
Kemudian, dia juga menyoroti keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang sarat konflik kepentingan. Seharusnya, KKI dibentuk oleh panitia seleksi (pansel) bentukan pemerintah atau DPR, seperti memilih komisioner Komisi Pemilihan Umum atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
IDI punya kewenangan itu karena UU, kalau kita bersepakat tidak boleh ada organisasi yang punya ’kekuatan super’ seperti itu maka harus diatur kembali.
”Ini tidak bisa digabung, kolegium itu harus terpisah dan independen, jadi check and balance dengan IDI. Lalu KKI, bagaimana mungkin mereka yang diregulasi oleh KKI lalu merangkap menjadi KKI. Kami ingin anggota KKI dipilih pansel independen yang dibentuk menteri atau presiden, seperti KPU, KPK, atau Komisi Yudisial,” kata Judilherry.
Dalam UU Praktik Kedokteran, KKI terdiri dari unsur kedokteran dari IDI (2 orang), kolegium (1 orang), Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (1 orang), Asosiasi RS Pendidikan Indonesia (1 orang), dan Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi masing-masing 1 orang.
Selain itu, dia menyoroti program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) yang diselenggarakan, diakreditasi, dan dinilai oleh IDI tanpa pengawasan KKI. Hal itu tertuang dalam Pasal 28 Ayat 1 UU Praktik Kedokteran.
”IDI juga dapat kewenangan mengeluarkan rekomendasi untuk mendapatkan surat izin praktik (Pasal 38 Ayat 1 Huruf c). Maaf saja ini, tidak ada di dunia ini organisasi profesi memberikan rekomendasi, izin praktik itu haknya pemerintah di mana-mana,” kata Wakil Ketua Dewan Penasihat Pengurus Besar IDI 2012-2015 tersebut.
”Jadi, IDI telah memonopoli kehidupan kedokteran dari hulu sampai ke hilir,” ucapnya.
Judilherry meminta RUU Kesehatan yang tengah dibahas pemerintah saat ini mengembalikan sederet kewenangan tersebut sesuai porsinya. Kewenangan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan harus lebih besar dari organisasi profesi.
Keanggotaan dokter dalam satu organisasi profesi seharusnya tidak bersifat wajib, tetapi sukarela. IDI juga diminta untuk transparan terhadap laporan keuangannya sebagai pertanggungjawaban organisasi profesi yang mengumpulkan dana dari anggota.
Sejumlah pemikiran ini sudah diperjuangkan Judilherry dengan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 2017. Namun, putusan MK menolak sebagian besar permohonannya, kecuali menerima pelarangan pengurus organisasi profesi merangkap jabatan sebagai komisioner Konsil Kedokteran Indonesia.
Tidak memonopoli
Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) PB IDI Beni Satria membantah tudingan itu. Mereka beralasan tidak memonopoli, tetapi hanya menjalankan amanat UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. PB IDI akan sangat terbuka terhadap semua masukan dalam perumusan UU dengan metode omnibus law ini.
”Pemerintah boleh mengambil peran di sana untuk mengawasi penyelenggaraan. RUU Kesehatan ini harus menjadi UU yang berlaku bukan hanya untuk profesi, melainkan harus memberikan perlindungan kepada masyarakat dan orang-orang yang memberikan pelayanan kesehatan,” kata Beni.
Ahli hukum administrasi negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hari Prasetiyo, pun menilai, IDI tidak memonopoli, tetapi hanya menjalankan amanat undang-undang. Maka, pemerintah dan DPR yang membuat RUU Kesehatan ini harus benar-benar menyaring aspirasi dari berbagai pihak dan membuat UU yang berorientasi pada kepentingan publik.
”IDI punya kewenangan itu karena UU, kalau kita bersepakat tidak boleh ada organisasi yang punya ’kekuatan super’ seperti itu maka harus diatur kembali. RUU ini agak bermasalah karena sudah benar mengatur kewenangan organisasi profesi tetapi di penjelasan disebut lagi nama organisasinya,” kata Hari.
Hal-hal ini akan terus dibahas oleh Kemenkes sebagai koordinator penyusunan RUU Kesehatan dan dimasukkan dalam daftar inventarisasi masalah hingga Juni 2023. RUU yang terdiri atas 478 pasal dengan metode omnibus law ini setidaknya akan mencabut sembilan undang-undang serta mengubah empat undang-undang terkait kesehatan.
UU yang dicabut adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2009 tentang Kesehatan, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan UU No 4/2019 tentang Kebidanan. Selain itu, RUU Kesehatan juga akan mengubah empat undang-undang, yakni UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan, RUU ini berdasarkan pada tujuan untuk mengatasi masalah seperti kurangnya dokter umum dan dokter spesialis, pemerataan tenaga kesehatan yang masih sulit, gizi buruk, serta layanan kesehatan yang tidak sesuai.
”Kita tidak mungkin bisa berlari melakukan transformasi tanpa adanya wewenang yang diberikan kepada pemerintah sesuai undang-undang. Inilah sebabnya pemerintah memastikan UU yang akan kami susun bersama DPR harus memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan dengan negara hadir dan bertanggung jawab memenuhi layanan kesehatan,” kata Budi.
Selain peserta yang diundang pemerintah dalam forum resmi, Kemenkes juga membuka ruang bagi masyarakat umum untuk menyampaikan aspirasi terkait penyusunan RUU Kesehatan. Aspirasi bisa disampaikan secara daring melalui laman partisipasisehat.kemkes.go.id.