Memupuk Cara Berpikir Kritis agar Anak Tidak Krisis
Di era kecerdasan buatan, kemampuan berpikir kritis dibutuhkan agar manusia tak terjebak pada cara berpikir instan. Di sisi lain, adanya kecerdasan buatan dapat membantu manusia untuk mengembangkan berbagai potensinya.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berpikir kritis menjadi modal bagi generasi penerus untuk dapat beradaptasi di tengah gencarnya perkembangan teknologi. Pola asuh orangtua akan menentukan arah perkembangan kognisi anak, salah satunya pembentukan pola berpikir kritis.
Perkembangan teknologi saat ini telah sampai pada tahap artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, salah satunya ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI. Segala pertanyaan yang diajukan akan dijawab oleh ChatGPT berdasarkan data yang terhimpun dengan bahasa yang tersusun seolah seperti ditulis oleh manusia.
”Di masa transisi kemampuan kecerdasan buatan yang membuat sebagian besar pekerjaan manusia tergantikan, kita perlu mengasuh diri serta buah hati agar bisa relevan dan adaptif. Penting bagi kita untuk memastikan perkembangan teknologi dapat menambah sisi kemanusiaan dan potensi kecerdasan anak dengan cara yang ideal,” kata pengajar di Universitas Multimedia Nusantara Ingki Rinaldi dalam webinar bertajuk ”Parenting di Era Revolusi AI” di Jakarta, Minggu (26/3/2023).
Manusia diharapakan bisa memanfaatkan perkembangan teknologi tersebut sehingga dapat mengembangkan potensinya yang tidak terbatas. Namun, perlu diingat bahwa ChatGPT dan kecerdasan buatan sejenis bukanlah pemegang otoritas pengetahuan.
Peneliti dan Co-Founder Kudu Data Digital Irendra Radjawali menyampaikan, kecerdasan buatan seperti ChatGPT merupakan buatan manusia yang memiliki batasan tertentu. Salah satunya, kecerdasan buatan hanya menjalankan perintah tanpa memiliki perasaan atau melibatkan emosi.
”Sepintar-pintarnya sebuah teknologi, itu tetaplah buatan. Di balik semua teknologi, selalu ada peran manusia yang tidak terbatas,” kata Irendra.
Ajak mereka bermain dengan kecerdasan buatan. Teknologi itu bisa membantu mereka dalam berkreasi, seperti membuat lagu, menciptakan cerpen, dan menggambar.
Oleh sebab itu, kemampuan berpikir kritis dibutuhkan di tengah era kecerdasan buatan ini. Syarat utama berpikir kritis ialah mengetahui akar permasalahan yang terjadi di dunia nyata sehari-hari.
Untuk menumbuhkan cara berpikir kritis, orangtua perlu membimbing anak dengan mengedepankan penjelasan dari penyebab terjadinya sesuatu atau dengan bertanya kenapa bisa seperti itu. Di tengah perkembangan teknologi ini, kecerdasan buatan dapat menjadi sarana untuk membantu orangtua dalam membimbing buah hati.
”Kecerdasan buatan dapat membantu kita menyelesaikan masalah sehari-hari. Persoalan yang sekarang kita hadapi justru bukan pada kecerdasan buatan atau ChatGPT, melainkan adalah pola berpikir instan. Perlu diperhatikan bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil,” ujar Irendra.
Di tengah kemudahan untuk mengakses berbagai informasi, orangtua berperan untuk membimbing anak agar tidak mudah terjebak dalam pola berpikir instan. CEO dan Co-Founder Clevio Coder Camp Fransiska Oetami mengatakan, sebaiknya anak sudah mulai dibiasakan untuk mengekspresikan atau berpendapat mengenai apa yang ia pelajari atau dapatkan.
”Levelnya perlu ditingkatkan lagi. Dulu, mungkin kita hanya dituntut untuk mengumpulkan informasi, tapi di tahap berikutnya adalah bagaimana kita dapat memahami sebuah informasi. Teknologi hanya sebagai sarana yang tidak bisa begitu saja kita terima mentah-mentah,” kata Oetami.
Tantangan saat ini adalah segala informasi yang dibutuhkan telah tersedia di berbagai platform teknologi. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap anak bukan lagi perihal sejauh mana anak menghafal atau menghimpun berbagai informasi, melainkan sejauh mana anak dapat mengekspresikan diri atau menceritakan suatu peristiwa.
Di sisi lain, tolok ukur kemampuan di bidang literasi tidak hanya soal teknis membaca dan menulis semata. Pemahaman akan isi bacaan dan mengolah informasi yang didapat merupakan aspek penting yang harus dimiliki anak.
Founder Clevio Coder Camp Aranggi Soemardjan menambahkan, kecerdasan buatan tidak dapat menggantikan peran orangtua dalam mengasuh anak. ChatGPT sebagai produk dari kecerdasan buatan dapat menjadi sarana berdiskusi dan berinteraksi antara orangtua dengan anak.
”Ajak mereka bermain dengan kecerdasan buatan. Teknologi itu bisa membantu mereka dalam berkreasi seperti membuat lagu, menciptakan cerpen, dan menggambar,” tutur Aranggi.
Menurut Oetami, perkembangan teknologi akan turut memberikan berbagai masalah dan tantangan baru kepada generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, sebagai orangtua, kita harus membekali anak dengan cara berpikir kritis, karakter yang baik, dan menjadi manusia yang lebih baik.
”Supaya nanti apa pun perangkat yang ada di masa depan, bisa digunakan dengan baik dan untuk kebaikan. Kita sebagai orangtua bisa memanfaatkan kecerdasan buatan dengan belajar bersama anak kita. Ajak mereka untuk bercerita dengan kita, mintalah pendapat mereka, dan perbanyak interaksi mereka,” ucapnya.