Waktu ibadah dalam Islam, termasuk shalat dan puasa, ditentukan oleh posisi geografis di Bumi dan posisi astronomis Matahari dan Bulan. Namun, ketentuan itu menjadi tidak relevan saat manusia mulai merambah luar angkasa.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·7 menit baca
Umat Islam diwajibkan shalat lima kali dalam sehari-semalam. Selama bulan Ramadhan, mereka juga diwajibkan berpuasa sejak terbitnya fajar hingga Matahari terbenam atau dari subuh sampai maghrib. Namun, saat berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), jadwal dan waktu ibadah itu menjadi kacau karena antariksawan di ISS akan mengalami 16 kali Matahari terbit dan terbenam dalam 24 jam.
Dari lebih 600 orang yang sudah pernah berada di luar angkasa, baik antariksawan atau turis, jumlah umat Islam yang pernah ikut dalam berbagai program luar angkasa itu baru kurang dari 2 persen. Seiring kemajuan ekonomi negara-negara Islam dan diversifikasi program luar angkasa yang dijalankan Amerika Serikat dan Rusia, jumlah antariksawan muslim diyakini akan terus bertambah mengingat 1 dari 4 penduduk Bumi adalah Muslim.
Orang Islam pertama yang berada di luar angkasa adalah Sultan bin Salman Al Saud (66) dari Arab Saudi yang meluncur pada 17 Juni 1985 dengan pesawat ulang alik Discovery untuk misi selama tujuh hari. Putra Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud itu juga menjadi orang Arab dan anggota kerajaan pertama yang ikut dalam program luar angkasa.
Sementara saat ini, seperti dikutip Space, 23 Maret 2023, orang Islam yang saat ini sedang berada di ISS adalah Sultan Al Neyadi (41) dari Uni Emirat Arab. Ia tergabung dalam misi Crew-6 yang meluncur menggunakan wahana Crew Dragon milik SpaceX pada 2 Maret 2023 dan merapat di ISS sehari kemudian. Antariksawan kedua UEA itu akan bertugas di ISS hingga enam bulan ke depan.
Saat antariksawan Muslim tersebut ke luar angkasa, persoalan mendasar yang sering muncul adalah bagaimana cara mereka beribadah terutama shalat lima waktu. Di Bumi, waktu sholat ditentukan berdasar posisi atau gerak Matahari di setiap lokasi. Sedangkan waktu memulai bulan (month) dalam kalender Islam, ditentukan oleh ketampakan sabit Bulan (moon) pertama sesudah Bulan mati.
Semua aturan waktu ibadah itu menjadi tidak relevan dan sulit diterapkan saat manusia berada di luar angkasa. Secara astronomis, seperti ditulis Kompas, 17 Juli 2013, waktu subuh di Indonesia dimulai saat Matahari berada pada ketinggian 20 derajat di bawah ufuk, Dzuhur terjadi 2 menit selepas Matahari tepat berada di atas kepala, dan Maghrib saat tinggi Matahari mencapai 1 derajat di bawah ufuk.
Sulitnya penerapan waktu ibadah di ISS itu terjadi karena ISS bergerak mengorbit Bumi pada ketinggian antara 413 kilometer sampai 422 km. Wahana yang dihuni sejak tahun 2000 itu melaju dengan kecepatan 27.600 km per jam atau 7,66 km per detik sehingga ISS hanya butuh 93 menit untuk satu kali mengelilingi Bumi. Konsekuensinya, dalam 24 jam, ISS bisa 15 kali-16 kali mengelilingi Bumi sehingga antariksawan di ISS akan melihat Matahari terbit dan terbenam antara 15 kali-16 kali dalam sehari.
Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional, Thomas Djamaluddin, Kamis (23/3/2023), mengatakan, saat berada di ISS, lapisan udara menjadi sangat tipis. Akibatnya, ”hamburan cahaya Matahari hampir tidak ada sehingga cahaya fajar dan senja menjadi sulit dikenali dan prosesnya pun dari fajar hingga Matahari terbit menjadi sangat cepat,” katanya.
Terbatasnya hamburan cahaya Matahari itu membuat pengamat di ISS juga bisa melihat Matahari dan bintang terlihat bersamaan. Sebaliknya di Bumi, kuatnya hamburan cahaya Matahari membuat cahaya bintang tidak bisa diamati saat siang hari. Bahkan, cahaya Bulan yang terlihat saat hari terang pun tampak lebih pucat.
Jadi, hanya perlu diingat tiga waktu, yaitu saat fajar terbit untuk shalat Subuh, siang hari setelah Matahari lewat di atas kepala untuk shalat Dzuhur dan Ashar, dan selepas Matahari terbenam untuk shalat Maghrib dan Isya.
Kondisi itu membuat Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), semacam Majelis Ulama Indonesia, mengeluarkan sejumlah panduan ibadah di luar angkasa saat antariksawan Malaysia Sheikh Muszaphar Shukor meluncur ke luar angkasa pada 10 Oktober 2007. Muszaphar meluncur ke ISS menggunakan wahana Soyuz TMA-11 milik Rusia dari Bandar Antariksa Baikonur di Kazkahstan.
Dalam fatwanya, Jakim mengatakan, shalat bisa dilakukan dengan mengikuti waktu di tempat peluncuran dilakukan. Dalam kasus Muszaphar yang meluncur dari Kazakhstan, maka bisa menggunakan waktu shalat di Kazakhstan. Sementara dalam kasus Al Neyadi yang meluncur dari Bandar Antariksa Kennedy, Florida, AS, maka menggunakan jadwal shalat di Florida.
Jika memungkinkan, shalat dilakukan dengan menghadap Mekkah. Namun, jika sulit karena ISS bergerak sangat cepat, cukup dengan menghadap Bumi atau menghadap mana saja. Kalau shalat tidak bisa dilakukan berdiri, bisa dengan duduk, berbaring miring ke kanan, berbaring telentang, hingga dengan isyarat kelopak mata.
Di ISS, posisi berdiri tegak dengan telapak kaki menjejak lantai seperti di Bumi sulit diperoleh. Dalam gravitasi mikro, tubuh akan melayang-layang dalam arah yang tidak pasti. Kesulitan itu pula yang diceritakan Sultan bin Salman dalam bukunya, Seven Days in Space (2019), yang terbit 35 tahun setelah penerbangannya. Untuk itu, ia mengikat kakinya saat shalat dengan pengikat khusus hingga tubuhnya bisa berdiri tegak.
Berbagai gerakan shalat lain seperti rukuk atau sujud juga lebih sulit dilakukan. “Sujud tidak mungkin dilakukan karena menyebabkan pusing,” kata Sultan bin Salman seperti dikutip kantor berita Turki, Anadolu, 30 April 2020. Sujud yang bisa dilakukan hanyalah menundukkan kepala dengan gerakan semirip mungkin dengan sujud dan tentu tidak sesempurna seperti sujud yang dilakukan di muka Bumi.
Tata cara shalat di ISS ini mirip dengan shalat di pesawat atau mereka yang memiliki halangan atau sakit. Bedanya, kalau di pesawat masih bisa diperkirakan waktu siang dan malam atau posisi Mataharinya, baik dengan melihat jendela pesawat langsung atau menggunakan waktu dan posisi pesawat dalam peta penerbangan yang biasanya tersedia dalam penerbangan jarak jauh.
Karena antariksawan atau penumpang pesawat bisa dikategorikan sebagai musafir atau orang yang sedang dalam perjalnan, kata Djamaluddin, mereka diberi keringanan dengan menggabungkan waktu dua waktu shalat, yaitu Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Untuk shalat yang terdiri atas empat rakaat, yaitu Dzuhur, Ashar, dan Isya, bisa diringkas menjadi dua rakaat.
“Jadi hanya perlu diingat tiga waktu, yaitu saat fajar terbit untuk shalat Subuh, siang hari setelah Matahari lewat di atas kepala untuk shalat Dzuhur dan Ashar, dan selepas Matahari terbenam untuk shalat Maghrib dan Isya,” katanya.
Ditunda
Jika shalat lima waktu di luar angkasa tidak bisa ditunda, tetapi hanya bisa diringkas, untuk puasa Ramadhan bisa ditunda dan diganti setelah bulan Ramadhan selesai atau sesudah kembali ke Bumi. Keringanan untuk menunda puasa ini sebenarnya juga berlaku untuk umat Islam di Bumi yang tengah melakukan perjalanan jarak jauh atau sedang sakit selama Ramadhan.
Sesuai aturan, seorang antariksawan dijadwalkan makan tiga kali sehari selama berada di luar angkasa. Sultan bin Salman pernah mencoba berpuasa di luar angkasa dan ternyata memang jauh lebih menantang dibandingkan puasa di Bumi. Ketika itu, dia meluncur pada hari ke-29 Ramadhan dan pesawat ulang alik Discovery terbang pada ketinggian 387 km.
Meski mufti Arab Saudi atau ulama yang berwenang mengeluarkan fatwa saat itu, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, telah membolehkan Sultan bin Salman untuk tidak berpuasa Ramadhan, dia ingin membuktikan apa yang terjadi pada tubuh saat berpuasa di luar angkasa.
Hasilnya, puasa Ramadhan di hari pertama peluncurannya itu membuatnya merasa lelah karena kurang tidur. Tidur nyenyak memang lebih sulit didapat di lingkungan dengan gravitasi mikro. Selain itu, dia juga merasa kehausan akibat kehilangan banyak cairan. Namun, dia berhasil menyelesaikan puasanya dengan mengacu waktu puasa di Florida dengan menu buka puasa ayam asam manis.
Sebagai seorang musafir, penundaan kewajiban untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan selama di luar angkasa itu juga berlaku bagi Al Neyadi. “Jika puasa itu bisa membahayakan misi atau membahayakan awak penerbangan yang lain, antariksawan diizinkan untuk makan makanan yang cukup demi menjaga kecukupan nutrisi dan cairan,” katanya seperti dikutip CNN, 22 Maret 2023.
Namun, dalam taklimat medianya di Houston, AS, pada 25 Januari 2023, seperti dikutip Space, 21 Februari 2023, Al Neyadi mengatakan, jika memiliki kesempatan berpuasa di bulan Ramadhan, dia tentu tidak ingin kehilangan kesempatan tersebut. Terlebih, sejumlah studi juga menunjukkan puasa itu menyehatkan. “Kita tunggu saja nanti,” katanya.
Namun, seperti disampaikan Muszaphar sebelum meluncur, seperti dikutip dalam tulisan Muslim in Outer Space di situs Sekolah Teologi Harvard, AS, 2018, prioritas utama yang dilakukan antariksawan adalah melakukan berbagai eksperimen selama misi.
Panduan ibadah di luar angkasa, baik shalat maupun puasa, disusun bukan untuk membebani antariksawan, melainkan membantu mereka agar bisa berkonsentrasi penuh dengan tugas yang dibebankan selama misi. Selain itu, panduan diberikan untuk memberi ketenangan psikologis sehingga antariksawan tetap bisa menjalankan keyakinan agamanya meski berada di tempat yang tidak biasa.