Selain stigma dari masyarakat, pasien tuberkulosis khawatir jika dirinya menularkan penyakit ke orang lain. Fase pengobatan yang panjang turut menyisakan bayang-bayang ketakutan.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·7 menit baca
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Paran Sarimita Winarni (40), sukarelawan pendamping pasien tuberkulosis, tengah mendengarkan keluh kesah salah seorang pasien dan menasihatinya di Poliklinik Tuberkulosis Resisten Obat Rumah Sakit Umum Daerah Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis (23/3/2023).
Satu dasawarsa lalu, Paran Sarimita Winarni (40) berhasil menuntaskan pengobatan tuberkulosis resisten obat atau TBC-RO hingga akhirnya ia dinyatakan negatif. Hasil negatif itu tak lepas dari puluhan ribu butir obat yang dikonsumsinya dalam 600 hari. Meski kini Paran sudah tidak mengonsumsi obat, pahitnya masa-masa berobat masih terasa di kesehariannya.
Di atas kursi roda, salah seorang pasien berusia paruh baya mendatangi Poliklinik TBC-RO Rumah Sakit Umum Daerah Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis (23/3/2023) sore, untuk mengambil obat. Sebelum perempuan itu meninggalkan poliklinik, Paran menghampirinya dan berpesan, ”Minum obatnya jangan sampai telat, ya, Bu. Kalau telat, nanti Ibu harus mengulangi lagi dari awal. Pokoknya, minum obat itu selalu di waktu yang sama.”
Bentuk perhatian Paran tak lepas dari pengalamannya ketika masih bergulat dengan kondisi yang sulit ia terima, tepatnya 12 tahun silam. Di lorong tunggu RS Persahabatan, Jakarta Timur, sepucuk surat berisi hasil diagnosis dokter menggetarkan hati Paran. Hasil pemeriksaan yang menunjukkan ia positif terpapar TBC-RO seakan petir di siang bolong.
Kasus TBC-RO terjadi akibat infeksi kuman atau bakteri TBC yang telah kebal terhadap obat TBC lini pertama atau obat biasa sehingga harus dikombinasikan dengan obat anti-TBC lini kedua dengan jangka waktu lebih lama. Terdapat dua tahapan pengobatan TB kebal obat, yakni tahap jangka pendek dan jangka panjang.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Paran Sarimita Winarni (40), penyintas tuberkulosis kebal obat, menceritakan pengalamannya bergulat dengan penyakit yang kental dengan stigma dari masyarakat di Rumah Sakit Umum Daerah Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis (23/3/2023).
Tahap jangka pendek berlangsung selama 4-6 bulan dan tahap lanjutan selama 5 bulan. Pada tahap ini, pasien menerima obat suntik setiap hari selama tujuh hari yang kemudian dilanjutkan dengan obat minum tanpa disertai obat suntik. Tahap jangka panjang merupakan pengobatan TB Pre XDR/XDR atau TB RR/MDR dengan lama pengobatan minimal 18 bulan. Terdapat dua tahapan dalam pengobatan jangka panjang, yakni tahap awal dan tahap lanjutan.
Pada tahap awal, pasien mengonsumsi obat setiap hari selama tujuh hari dan obat suntik selama lima hari seminggu minimal dilakukan delapan bulan. Lalu, pada tahap lanjutan, pasien mengonsumsi obat yang diminum tanpa obat suntik dengan ketentuan diminum di setiap waktu yang sama.
Penanganan kurang tepat
Menurut dokter yang menangani, Paran mengidap TBC kebal obat akibat mendapatkan penanganan kurang tepat oleh dokter yang menanganinya sebelumnya. Pada tahun 2008, Paran mendatangi klinik setelah mengalami beberapa gejala TBC, seperti sesak napas, batuk tak berkesudahan, berkeringat setiap malam, dan berkurangnya nafsu makan.
Setelah mendapatkan penanganan dan sejumlah obat, kondisi Paran perlahan membaik hingga ia pun dinyatakan sembuh. Setahun berlalu, gejala-gejala TBC kembali dialami Paran yang kemudian memaksanya kembali berobat ke klinik tersebut.
”Diagnosisnya hanya berdasarkan hasil rontgen dan dokter bilang itu hanya flek. Lalu, waktu berobat yang kedua, dokter memberi obat suntik, obat racikan, dan obat TBC dengan dosis dua kali lipat. Semua pengobatan itu habis Rp 8 juta, tetapi ujung-ujungnya malah semakin parah,” tutur Paran sembari melepas kacamatanya.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Anak salah satu pasien membawa berkas dokumen seusai orangtuanya memeriksakan diri di Poliklinik Tuberkulosis Resisten Obat Rumah Sakit Umum Daerah Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis (23/3/2023).
Beberapa gejala yang dialami Paran itu seperti batuk berdarah dan mimisan yang disertai dengan kondisi fisik yang terus menurun. Dengan kondisi tersebut, akhirnya Paran berobat ke puskesmas lantaran sudah tidak ada lagi uang untuk berobat. Selama berobat di puskesmas, Paran memperoleh 60 kali suntikan streptomycin.
Namun, pengobatan di puskesmas tidak membuahkan hasil dan justru menunjukkan potensi resisten obat sehingga Paran dirujuk ke RS Umum Pusat Persahabatan, Jakarta. Hasil diagnosis di RS Persahabatan kemudian mengantarkan Paran pada pengobatan selama 600 hari. Pada masa itu, Paran harus mengonsumsi 15 jenis butir obat padat dan satu suntikan dalam satu waktu.
”Begitu melihat hasil diagnosis, dunia seperti runtuh rasanya. Saya tidak bisa menerima hasil itu begitu saja. Apalagi, saat itu stigma negatif dari masyarakat sangat melekat kepada pengidap TBC. Belum lagi, pengobatan yang lama dengan berbagai efek sampingnya,” ucap Paran.
Rasanya lega kalau pasien yang saya dampingi bisa tuntas pengobatannya dan dinyatakan sembuh. Mereka (para pengidap TBC) hanya butuh dukungan, baik dari keluarga, teman, maupun lingkungan sosialnya.
Dosis obat yang semakin besar membuat Paran merasakan sejumlah efek samping, seperti mual, pusing, lemas, dan nyeri. Hal paling melegakan bagi Paran adalah ketika ia berhasil menahan rasa mualnya sehingga obat yang ia minum tidak keluar dan berbagai efek samping pun menghilang. Jika obat itu sampai dimuntahkan, itu artinya Paran harus kembali mengonsumsi obat dan menahannya lagi.
Selama 20 bulan menjalani pengobatan, Paran lebih sering menghabiskan waktu di dalam rumah. Dibandingkan dengan kehilangan pekerjaan, perasaan takut jika TBC-nya menular ke orang lain justru lebih besar. Satu momen yang hingga kini terngiang di benak Paran ialah ketika ia menerima hadiah dari saudaranya berupa peralatan makan pribadi.
Namun, semua itu berhasil dilalui Paran berkat dukungan dari keluarga serta orang-orang terdekatnya. Perjuangan melewati malam-malam itu menyisakan satu tanda di wajah Paran, yakni kantung matanya yang menghitam. Selama menjalani pengobatan, efek samping obat dan pikirannya sendiri membuatnya hanya beristirahat tiga jam sehari.
”Bahkan, saya pernah teriak-teriak karena begitu terbangun, ternyata waktu minum obat sudah lewat. Padahal, sudah dinyatakan sembuh atau hasil tes saya negatif. Lalu, setiap melihat tempat-tempat berobat, baru sampai pintu gerbangnya saja sudah lemas dan rasanya badan tidak sehat,” tuturnya.
Kini, Paran telah tergabung dalam kelompok sukarelawan yang mendampingi para pasien TBC, yakni Yayasan Pejuang Tangguh (Peta). Satu bulan seusai dinyatakan sembuh, Paran langsung diminta untuk bergabung ke yayasan berbasis penyintas yang ingin memberi dukungan kepada mereka yang masih berjuang.
”Rasanya lega kalau pasien yang saya dampingi bisa tuntas pengobatannya dan dinyatakan sembuh. Mereka (para pengidap TBC) hanya butuh dukungan, baik dari keluarga, teman, maupun lingkungan sosialnya. Stigma negatif soal TBC itu harus dihapus karena TBC bisa disembuhkan dan dicegah,” lanjutnya.
Berdasarkan Laporan Global TBC tahun 2021, dari sekitar 824.000 kasus TBC yang diperkirakan ada di Indonesia, pasien yang berhasil ditemukan, diobati, dan dilaporkan ke dalam sistem informasi nasional belum mencapai separuhnya, yakni 393.323 kasus. Padahal, Indonesia memiliki visi pada 2030 untuk mengeliminasi TBC dengan target 65 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 6 per 100.000 penduduk.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga bersiap menjalani proses rontgen paru dalam kegiatan penapisan tuberkulosis (TBC) di kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). TBC merupakan penyakit yang membutuhkan proses dan waktu berkembang yang cukup lama sehingga potensi penularan semakin luas.
Untuk mencapai target tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah memastikan tiap kasus terlaporkan dan tertangani dengan baik. Namun adanya stigma negatif di masyarakat jadi salah satu faktor penghambat.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan menyebut tingkat keberhasilan pengobatan TBC sensitif obat di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 85 persen. Sementara untuk pengobatan TBC resisten obat pada tahun yang sama mencapai 55 persen.
”Edukasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TBC karena pengobatannya lama. Kalau TB SO (sensitif terhadap obat lini pertama) itu 6 bulan minimal, sedangkan TB RO minimal 1 tahun,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi dalam keterangan resmi Kemenkes, Jumat (17/3/2023).
Dokter spesialis paru dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Erlina Burhan, menyampaikan, TBC adalah penyakit akibat kuman Mycobacterium tuberculosis yang bisa disembuhkan. Dalam masa pengobatan, seorang pasien TBC perlu mendapat pendampingan dan dukungan sehingga dapat menuntaskannya.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Erlina Burhan
”Banyak sekali perkumpulan pasien yang sembuh dan memberi dukungan satu sama lain. Jadi, penting untuk pasien TBC bisa mencari komunitas pejuang TBC sehingga bisa menceritakan apa yang ia khawatirkan dan tidak merasa sendiri,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Penyakit TBC terjadi bukan karena kutukan, dan setelah sembuh, mereka dapat beraktivitas seperti semula. Oleh sebab itu, selama masa penyembuhan, pasien harus rutin minum obat dan menjaga pola hidup sehat. Obat TBC diciptakan khusus untuk membunuh dan menekan kuman TBC. Penentuan waktu penyembuhan atau pengobatan telah diperhitungkan sebelumnya.
Masyarakat perlu memahami bahwa kuman TBC dapat mati melalui pengobatan rutin. Apabila pengobatan dilakukan secara tidak rutin, justru akan membuat kuman menjadi kebal obat dan risiko penularan di masyarakat menjadi lebih tinggi. ”Pemberantasan TBC untuk kepentingan bersama. Bukan hanya demi kesembuhan pasien semata, melainkan juga untuk masyarakat sehingga masyarakat juga berperan dalam kesembuhan pasien,” lanjut Erlina.
Paran dan sejumlah pasien lainnya berhasil melalui masa pengobatan. Mereka dinyatakan sembuh berdasarkan hasil cek dahak dan rontgen yang menunjukkan hasil negatif. Namun, bayang-bayang selama menjalani masa pengobatan masih melekat di benak para penyintas.