Kasus mutilasi terjadi berentetan karena pelaku terpantik oleh pemberitaan di media, seperti kasus mutilasi di Bekasi, Bogor, dan Sleman yang terjadi dalam waktu berdekatan awal tahun ini.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Warga mendorong peti berisi jenazah Ayu Indraswari (34) dari rumah duka di Kampung Suryoputran, Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (20/3/2023) sore. Pada Minggu (19/3/2023) malam, jenazah Ayu ditemukan dalam kondisi termutilasi di sebuah penginapan di Kabupaten Sleman, DIY.
JAKARTA, KOMPAS — Kabar peristiwa pembunuhan hingga mutilasi bisa memantik orang dengan kondisi psikologis yang rentan untuk melakukan hal serupa. Perlu kebijakan redaksi yang ketat sebelum menerbitkan pemberitaan terkait kriminalitas yang berpotensi meluas.
Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) Reni Kusumowardhani mengatakan, fenomena peristiwa mutilasi biasanya terjadi berturut-turut. Meski tidak saling terkait, setiap pelaku bisa meniru secara langsung atau tidak dari rincian peristiwa mutilasi yang dijabarkan oleh media.
Misalnya, dalam tiga bulan terakhir masyarakat digegerkan dengan peristiwa mutilasi di Tambun, Bekasi, pada Januari 2023, lalu Gunung Sindur, Bogor, dan Sleman, DI Yogyakarta, pada Maret 2023. Motifnya beragam, mulai seksual, dendam, hingga ekonomi. Namun, tujuan ketiganya sama, memutilasi korban untuk menghilangkan jejak pembunuhan.
”Kita perlu berhati-hati dalam menyampaikan peristiwa mutilasi. Jadi bagi orang-orang yang sudah punya intensi, dendam, atau masalah justru akan menjadi ide untuk merencanakan tindak kriminal melalui pemberitaan,” kata Reni, Kamis (23/3/2023).
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Warga melayat di rumah duka Ayu Indraswari (34) di Kampung Suryoputran, Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (20/3/2023) sore. Pada Minggu (19/3/2023) malam, jenazah Ayu ditemukan dalam kondisi termutilasi di sebuah penginapan di Kabupaten Sleman, DIY.
Selain tiga kasus terbaru, tindakan meniru atau belajar dari kejahatan orang lain, yang lebih populer dengan sebutan copycat, pernah dilakukan oleh Sri Haryati pada September 2008. Kala itu, dia membunuh suaminya yang bekerja sebagai sopir bus dengan meniru Ferry Idham Henyansyah alias Ryan Jombang pada Juli 2008 yang memutilasi korban.
Psikolog forensik dari Universitas Gadjah Mada, Koentjoro, menambahkan, dalam banyak kasus pelaku pembunuh yang diikuti mutilasi dilakukan secara spontan saat berada di bawah tekanan untuk menutupi tindak kriminal. Dalam kondisi seperti itu dengan kecerdasan emosional yang rendah, pelaku takut terjerat hukum sehingga membuat tidak mampu memahami dan mengendalikan dirinya.
Bagi orang-orang yang sudah punya intensi, dendam, atau masalah justru akan menjadi ide untuk merencanakan tindak kriminal melalui pemberitaan.
”Ada persamaan antara kasus Sri Haryati dan kasus di Sleman ini, pelaku masing-masing memotong menjadi kecil dalam puluhan bagian. Bedanya kasus Sri itu didasari oleh dendam terhadap suaminya, kalau yang di Sleman ini kebutuhan ekonomi dijerat pinjaman online. Ini ada proses belajar sehingga tidak perlu digambarkan secara detail peristiwa sadisme itu,” kata Koentjoro.
Sekretaris Jenderal Serikat Perusahaan Pers Asmono Wikan, Rabu (11/9/2019), dalam diskusi tentang RKUHP, di Jakarta.
Ada pula pelaku yang memang sudah merencanakan pembunuhan lalu menghapus jejak dengan memutilasi korban. Praktik mutilasi saat ini juga tidak terbatas pada faktor gangguan kejiwaan pelaku.
Oleh karena itu, anggota Dewan Pers, Asmono Wikan, mengimbau media massa untuk tidak mereproduksi sadisme yang dilakukan oleh pelaku mutilasi. Fakta-fakta peristiwa yang disampaikan pihak kepolisian atau saksi-saksi sebaiknya disaring terlebih dahulu lalu dikemas dengan bahasa yang mencerahkan.
Asmono menegaskan pentingnya peran ruang redaksi untuk menjadi penjaga gerbang sebelum menayangkan berita sadisme. Redaksi harus mengedepankan kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur penulisan berita sadisme daripada sekadar mencari sensasi.
”Pelaku sadisme memang tidak bisa kita toleransi, tetapi media tidak harus mengharu biru publik dengan gambaran yang konkret tentang kejahatan itu, selain itu juga harus berempati kepada korban. Jadi peran ruang redaksi sangat penting,” kata Asmono.
Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia Reni Kusumowardhani hadir dalam jumpa pers rilis hasil penyelidikan kematian misterius satu keluarga di Kalideres di gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (9/12/2022).
Para pelaku mutilasi, lanjut Reni Kusumowardhani, perlu perhatian khusus selama menjalani masa tahanan. Risiko untuk mengulangi perbuatan kejinya lagi sangat besar ketika terpantik. Oleh karena itu, para hakim yang memutuskan hukuman juga harus memperhatikan aspek psikologis pelaku.
”Ada yang menyesal, ada yang tidak menyesal, ini berbeda kondisi psikologisnya. Orang yang tidak menyesal ini lebih berbahaya, ada kecenderungan tinggi untuk kembali melakukannya,” ucap Reni.
Pelaku mutilasi bisa terancam pasal berlapis Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dan Pasal 365 Ayat (3) KUHP tentang Pencurian. Ancaman terberat dari pasal tersebut adalah hukuman mati.