Peneliti di Amerika Serikat telah menemukan cara untuk menentukan jenis kelamin bayi dengan peluang sukses 80 persen. Namun, temuan ini memicu kontroversi etik.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Perawat mengontrol bayi yang baru lahir di ruang bayi Rumah Sakit Ibu dan Anak Tambak, Jakarta, Senin (20/4/2020). Baik bayi maupun perawat mengenakan pelindung wajah (face shield). Kebijakan internal pemasangan pelindung wajah pada bayi yang baru lahir ini dilakukan untuk meminimalkan bayi terpapar virus korona baru melalui droplet.
JAKARTA, KOMPAS — Pasangan yang menjalani perawatan kesuburan kini dapat memilih jenis kelamin bayi mereka dengan peluang keberhasilan 80 persen melalui penyortiran sperma. Sekalipun secara teknis penentuan jenis kelamin ini terbukti cukup akurat dan aman, temuan terbaru ini memicu kontroversi etik.
Teknik penyortiran sperma telah dicoba dan ditawarkan sebelumnya. Namun, penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Plos One pada 22 Maret 2023 menunjukkan, prosedur baru yang memisahkan sel sperma berdasarkan berat terbukti jauh lebih akurat dan aman.
Dalam riset tersebut, lebih dari 1.300 pasangan menjalani teknik penyortiran sperma menggunakan gradien kepadatan multilayer. Hal itu bertujuan agar partikel dengan ukuran berbeda bisa memisahkan diri berdasarkan berat.
”Sperma yang mengandung kromosom X (wanita) sedikit lebih berat daripada sperma yang mengandung kromosom Y (pria),” kata penulis studi ini, Gianpiero Palermo, profesor embriologi dalam kebidanan dan ginekologi di Weill Cornell Medicine di New York City.
Menurut Palermo, dalam teknik baru ini, peneliti membiarkan sperma berenang ke media padat. ”Ini konsep yang sangat sederhana: sperma yang lebih ringan naik ke atas, sedangkan sperma yang lebih berat menuju ke bawah,” tuturnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Petugas Rumah Sakit Ibu dan Anak Tambak, Menteng, Jakarta, sedang merawat dan memantau kondisi bayi yang baru lahir, Selasa (15/11/2022). Jumlah manusia Bumi pada 15 November 2022 ini genap mencapai 8 miliar jiwa.
Selanjutnya, peneliti memilih sperma dan menyuntikkannya ke pusat sel telur. Ini merupakan prosedur yang dikenal sebagai injeksi sperma intracytoplasmic (ICSI). Embrio menjalani pengujian genetik praimplantasi untuk menyaring kelainan kromosom atau jenis kelamin.
Sebagian besar pasangan dalam penelitian ini tidak memiliki preferensi mengenai jenis kelamin anak mereka. Namun, di antara 105 pasangan, 59 menginginkan anak perempuan dan 46 menginginkan anak laki-laki.
Pasangan yang menjalani perawatan kesuburan sering mengetahui jenis kelamin embrio sebelum ditanamkan.
Dari pasangan yang menginginkan keturunan perempuan, 79 persen dari embrio yang diuji adalah perempuan. Dari pasangan yang menginginkan laki-laki, hampir 80 persen dari embrio mereka adalah laki-laki.
Setiap pasangan yang dirawat di tempat praktik Palermo ditawarkan layanan ini sebagai bagian dari protokol penelitian. Dalam kelompok studi, menurut Palermo, kesehatan anak-anak yang dilahirkan dengan pendekatan ini sejauh ini baik-baik saja. Tidak ada keterlambatan perkembangan yang terlihat pada usia tiga tahun pemantauan.
Kedepan, menurut dia, prosedur ini juga bisa membantu pasangan yang tidak membutuhkan perawatan kesuburan. ”Pasangan yang menjalani perawatan kesuburan sering mengetahui jenis kelamin embrio sebelum ditanamkan,” ujar Palermo.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Petugas Rumah Sakit Ibu dan Anak Tambak, Menteng, Jakarta, sedang merawat dan memantau kondisi bayi yang baru lahir, Selasa (15/11/2022). Riset terbaru menunjukkan teknologi kedokteran memungkinkan pasangan suami-istri memilih jenis kelamin bayi mereka.
Masalah etis
Ada banyak alasan sebuah keluarga dapat mempertimbangkan pemilihan jenis kelamin, termasuk keseimbangan keluarga atau menghindari penyakit bawaan yang dikaitkan dengan jenis kelamin tertentu. Misalnya, hemofilia adalah kelainan perdarahan bawaan yang terutama menyerang laki-laki.
Meski demikian, menurut Arthur Caplan, ahli bioetika dan pendiri divisi etika medis di NYU Grossman School of Medicine di New York City, sebagaimana dilaporkan Medicalxpress.com, ada pertimbangan etis yang harus diperhitungkan dalam pemilihan jenis kelamin calon janin.
”Survei dan studi menunjukkan bahwa secara umum publik menyetujui gagasan keseimbangan keluarga,” kata Caplan, yang tidak memiliki kaitan dengan studi tersebut. Hal ini mungkin berarti memilih anak laki-laki jika sebuah keluarga sudah memiliki tiga anak perempuan.
Ada alasan lain yang sah untuk memilih jenis kelamin, termasuk menghindari penyakit terkait jenis kelamin. ”Ketika teknologi menjadi lebih baik dan lebih baik, pilihan untuk menawarkan dan menjual (pemilihan jenis kelamin) semakin kuat,” ujarnya menambahkan.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Bayi yang baru dilahirkan berada di ruang bayi di Rumah Sakit Ibu dan Anak Kendangsari, Surabaya, Jumat (11/11). Banyak warga memilih tanggal unik, yaitu 11-11-2011 untuk menikah ataupun melahirkan. Hingga pukul 13.00, Rumah Sakit Ibu dan Anak Kendangsari Surabaya kebanjiran order persalinan dengan 14 bayi yang lahir di tanggal tersebut melalui proses operasi sectio caesar atau bedah.
Pasangan dapat memilih sifat anak mereka, termasuk tinggi badan, warna mata, kekuatan, atau orientasi seksual. ”Pemilihan jenis kelamin juga bisa menciptakan ketidakseimbangan dalam masyarakat dan pergeseran rasio populasi bisa menjadi masalah nyata,” kata Caplan.