Total pembiayaan energi baru terbarukan dan konservasi energi baru mencapai Rp 23,6 triliun atau baru sekitar 38,94 persen dari target. Pembiayaan energi terbarukan perlu didorong.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Sejumlah aktivis dari Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Jaringan Advokasi Tambang menggelar aksi damai dengan membentangkan spanduk untuk mendesak pemerintah menggunakan energi baru terbarukan di tempat bongkar muat batubara PLTU I di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Minggu (15/5).
JAKARTA, KOMPAS — Upaya Indonesia untuk mengurangi emisi karbon pada sektor energi dinilai masih belum optimal. Mitigasi terhadap perubahan iklim dapat didorong melalui pembiayaan hijau agar target baru yang telah dirilis oleh Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC dapat tercapai.
Sektor energi menjadi penyumbang terbesar atas peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) selama beberapa tahun terakhir. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Inventarisasi GRK dan Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi (MPV) Tahun 2020 menyebut, kegiatan pengadaan energi serta penggunaan energi telah menyumbang 638.808 giga gram CO2 dari total emisi sebesar 1.866.552 giga gram CO2 pada 2019.
Peneliti Iklim dan Energi Meiliana Auranda mengatakan, emisi GRK telah menyumbang pemanasan suhu permukaan global sebesar 1 derajat celsius hingga 2 derajat celsius. Oleh sebab itu, IPCC meminta kepada semua negara untuk mengurangi separuh emisi GRK yang dihasilkan agar kenaikan suhu tidak melebihi 1,5 derajat celsius.
”Indonesia tidak konsisten terhadap komitmen batas kenaikan suhu 1,5 derajat celsius sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Paris. Kapasitas batubara telah menyumbang 61 persen pembangkit listrik dan diproyeksikan dapat terus meningkat sampai tahun 2027 serta akan mencapai 64 persen pada tahun 2030,” ujar Meiliana dalam webinar bertajuk ”Merespons IPCC AR 6 Synthesis Report: Indonesia Harus Mengambil Langkah” yang diadakan oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
TANGKAPAN LAYAR
Para pembicara webinar bertajuk Merespons IPCC AR 6 Synthesis Report: Indonesia Harus Mengambil Langkah yang diadakan oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Di sisi lain, potensi energi terbarukan di Indonesia masih belum dimanfaatkan dengan optimal. Pada 2021, energi terbarukan baru menyumbang sebesar 13,5 persen dari bauran pembangkit listrik.
Padahal, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 disebutkan, energi terbarukan ditargetkan dapat mencapai 23 persen dari bauran pembangkit listrik pada 2025. Dengan demikian, selama dua tahun ke depan Indonesia haru menutup gap sebesar 9,5 persen atau sekitar 4,25 persen setiap tahunnya.
Agar target pemanfaatan bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia tercapai, pembiayaan hijau di bidang energi terbarukan perlu didorong. Peneliti keuangan iklim dan energi, Lilia Purnamawati, menyampaikan, bank-bank badan usaha milik negara sebagai lembaga jasa keuangan (LJK) dan salah satu pemegang saham pemerintah di Indonesia diharapkan menjadi katalisator dalam peningkatan pembiayaan proyek hijau.
Keuangan global saat ini tidak cukup cepat untuk mengatasi perubahan iklim, terlebih di negara-negara berkembang. Aliran dana untuk mengurangi dampak iklim masih kurang di segala sektor dan wilayah.
”Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang memudahkan para LJK dan investor untuk membiayai proyek hijau. Meningkatnya kemampuan pembiayaan hijau pada energi terbarukan dapat mempercepat proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” ucap Lilia.
Namun, pembiayaan hijau di Indonesia belum mencapai target. Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia tahun 2022, jumlah pembiayaan EBT dan konservasi energi (EBTKE) hanya mencapai Rp 23,6 triliun atau baru sekitar 38,94 persen dari target, yakni Rp 60,61 triliun.
Kemudian, pemerintah menurunkan target pembiayaan EBTKE tahun 2023, yakni menjadi Rp 27,6 triliun. Meski target diturunkan, kata Lilia, Indonesia harus tetap meningkatkan investasi energi terbarukan agar target bauran EBT di Indonesia tahun 2025 tercapai.
”Keuangan global saat ini tidak cukup cepat untuk mengatasi perubahan iklim, terlebih di negara-negara berkembang. Aliran dana untuk mengurangi dampak iklim masih kurang di segala sektor dan wilayah. Di sisi lain, aliran dana publik dan swasta untuk bahan bakar fosil justru lebih besar daripada untuk mitigasi perubahan iklim,” tutur Lilia melanjutkan.
Sebelumnya, IPCC merilis laporannya mengenai kondisi iklim secara global. Dalam laporan tersebut, IPCC turut menargetkan pengurangan emisi selama 2023 sampai 2050 secara bertahap.
Pada 2030, emisi ditargetkan turun sebesar 48 persen. Target pengurangan emisi kemudian ditingkatkan lagi sebesar 65 persen pada 2035.
Selanjutnya, IPCC kembali meningkatkan target pengurangan emisi, yakni sebesar 80 persen pada 2040. Lalu, pada 2050, semua negara harus mengurangi emisi hingga 99 persen sehingga bumi terhindar dari kenaikan suhu dan krisis iklim yang semakin parah.
Terdapat beberapa dampak dari perubahan iklim, salah satunya adalah memengaruhi sistem atmosfer sehingga menyebabkan pemanasan global. Meiliana menjelaskan, pemanasan global mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrem, seperti hujan deras dan banjir yang dapat terjadi 1,2 hingga 9 kali lebih sering.
PETRUS RADITYA MAHENDRA YASA
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah beserta komunitas membentangkan poster berisi kritikan kepada pemerintah tentang persoalan lingkungan di Tambakrejo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (5/11/2021).
”Saat bumi memanas, terhitung setiap 1 derajat celsius pemanasan akan menambah 7 persen kelembaban. Bertambahnya kelembaban itu berkontribusi pada curah hujan yang lebih tinggi,” tutur Meiliana.
Juru kampanye kebijakan biodiversitas AEER menambahkan, kenaikan suhu secara global akan turut berdampak pada keanekaragaman hayati. Hilangnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran dapat mengurangi sumber daya dan peran lingkungan sehingga berakibat kenaikan suhu sampai 3 derajat celsius.
”Respons spesies flora dan fauna terhadap peningkatan curah hujan dan perubahan suhu dapat memengaruhi keberlangsungan hidup mereka. Penggunaan bahan bakar fosil, seperti batubara, perlu dihentikan untuk mencegah kehilangan biodiversitas akibat perubahan iklim,” tutur Angga.