Tutupan Hutan Ideal di Tiap Wilayah Lebih dari 30 Persen
Setiap wilayah perlu memperluas area tutupan hutannya lebih dari 30 persen untuk menurunkan potensi kerusakan lingkungan dan bencana hidrometeorologi. Tutupan hutan yang masih ada harus dijaga agar tidak dikonversi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
DANIAL ADE KURNIAWAN
Kondisi Sungai Jeneberang di bagian terlihat banyaknya sedimentasi dengan material batu dan pasir di Gowa, Minggu (3/2/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya area tutupan hutan di setiap wilayah menjadi salah satu penyebab masalah lingkungan termasuk bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. Setiap wilayah perlu memperluas area tutupan hutannya lebih dari 30 persen untuk menurunkan potensi kerusakan lingkungan dan bencana.
Guru Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Padjadjaran Chay Asdak mengemukakan, banyak hasil riset menunjukkan bahwa hutan memang efektif dalam proses hidrologi. Kerapatan tutupan lahan atau hutan juga dapat mengurangi sedimentasi dan memperbaiki kualitas air lebih dari 90 persen.
Selain itu, struktur dan fungsi ekosistem hutan termasuk mempertahankan penyangga riparian juga berperan penting menurunkan limpasan(run off) dan intrusi air laut. Dampak ini termasuk meningkatkan infiltrasi atau aliran air ke tanah dan mencegah sedimentasi.
Seberapa pun sisa luas atau persentase tutupan hutan ini tetap harus dipertahankan dan dicegah agar tidak dikonversi.
”Bila tutupan hutan dikurangi dari 30 persen menjadi 20 persen, maka fluktuasinya akan meningkat. Jadi, apa pun jenis vegetasinya akan mengurangi energi kinetik yang menyebabkan terjadinya erosi ataupun banjir,” ujarnya saat diskusi media dalam rangka memperingati Hari Hutan Internasional di Jakarta, Senin (20/3/2023).
Menurut Chay, hasil kajian lain menunjukkan, potensi sedimentasi masih tinggi pada wilayah dengan tutupan hutan 30 persen. Sementara untuk mencegah sedimentasi, idealnya tutupan hutan di setiap wilayah harus lebih dari 40 persen. Di sisi lain, wilayah yang berpotensi menjaga tutupan hutan harus diidentifikasi.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Guru Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Padjadjaran Chay Asdak dalam acara diskusi media di Jakarta, Senin (20/3/2023).
Aturan untuk menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas DAS sebelumnya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, ketentuan ini dihapus dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maupun Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Cipta Kerja.
Chay menyadari bahwa tidak semua wilayah di Indonesia khususnya di Jawa memiliki persentase tutupan hutan di atas 30 persen akibat pembangunan dan alih fungsi lahan yang sangat masif sejak puluhan tahun lalu. Namun, seberapa pun sisa luas atau persentase tutupan hutan ini tetap harus dipertahankan dan dicegah agar tidak dikonversi.
Selain penguatan kebijakan, Chay menekankan bahwa upaya meningkatkan tutupan kawasan hutan juga sangat bergantung terhadap masyarakat. Akan tetapi, masyarakat terlebih dahulu harus terus digencarkan pemahamannya tentang keuntungan yang bisa mereka dapatkan. Khususnya aspek ekonomi yang didapat melalui penanaman pohon maupun restorasi ekosistem.
Chay memandang bahwa selama ini masyarakat tidak banyak terlibat dalam upaya konservasi maupun restorasi ekosistem karena mereka tidak melihat adanya keuntungan dari program tersebut. Padahal, masyarakat atau petani sebenarnya bisa melakukan sistem agroforestri maupun penanaman pohon untuk restorasi.
”Berbagai skema insentif untuk masyarakat harus terus dilakukan, termasuk salah satunya memperluas tutupan lahan meskipun lahan tersebut bukan kawasan hutan. Bila hal ini tidak dilakukan, luas tutupan hutan akan tetap di bawah persentase 30 persen,” tuturnya.
Tidak dapat dipulihkan
Dosen Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta Agus Setyarso mengatakan, hasil studi yang dilakukannya 10 tahun lalu menunjukkan bahwa seluruh DAS di Jawa sudah tidak dapat dipulihkan fungsinya seperti sedia kala. Upaya yang bisa dilakukan saat ini hanya dapat mengurangi tingkat akselerasi kerusakan DAS tersebut.
”Untuk wilayah lain di luar Jawa masih mungkin bisa dipulihkan fungsinya. Di Jawa, lanskap DAS sudah dekat dengan permukiman. Jadi, DAS ini tidak mungkin dipulihkan karena sangat sulit mengusir penduduk untuk tidak bermukim di area tersebut,” katanya.
Selain itu, Agus juga memandang bahwa sinergi dan koordinasi lintas sektor belum sepenuhnya terwujud dalam upaya tata kelola hutan yang berkelanjutan. Sinergi dan koordinasi ini bahkan tidak pernah diukur dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Oleh karena itu, tata kelola kehutanan harus benar-benar tersampaikan ke tingkat tapak.
”Menjaga tutupan hutan, daerah aliran sungai, dan stabilitas keanekaragaman hayati sebagian besar itu cost center (memerlukan pembiayaan). Jadi, masyarakat yang sudah berupaya menjaga tutupan hutan harusnya diberikan insentif. Pemberian insentif bagi masyarakat yang melakukan konservasi ini juga dijamin oleh Undang-Undang Kehutanan,” ujarnya.